[caption caption=" https://id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Tjahaja_Purnama"][/caption]
[caption caption="https://id.wikipedia.org/wiki/Donald_Trump"]
Ada dua tokoh yang saya soroti saat ini, pertama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, calon gubernur DKI untuk periode kedua kalinya, dan kedua ialah Donald Trump, calon presiden Amerika Serikat.
Membandingkan kedua tokoh tersebut tidaklah adil, karena beda taraf dan kelas. Yang satu taraf lokal dan kelas regional, sedangkan satunya adalah taraf internasional dan kelas utama atau VIP. Tapi yang menarik di sini adalah cara keduanya “berkampanye” untuk mendapatkan posisi.
Pertama dari pihak Ahok, calon gubernur DKI, ibukota negara Republik Indonesia. Saat ini Ahok adalah sang petahana, sedang menjabat sebagai gubernur, menggantikan posisi Jokowi yang sudah ”naik kelas” menjadi seorang presiden, “penguasa” negeri ini.
Karena Ahok masih menjabat sebagai gubernur, ia tidak terlalu beban dalam mengkampanyekan dirinya. Dia membuktikan dengan hasil kerja. Jakarta dibenahi ke arah yang lebih baik, walaupun belum semua, karena itu butuh waktu. Birokrasi diatur sedemikian rupa agar semua satuan kerja di bawahnya bekerja dengan baik untuk melayani masyarakat dengan baik dan benar. Yang salah dibina, yang nakal dihukum dengan cara dimutasikan bahkan dipecat. Ahok menggunakan sistem “Reward and Punishment”. Yang kerjanya baik, dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi, dan tentunya dengan tanggung jawag yang lebih besar.
Dari sisi kemanusiaan, Ahok “memanusiakan” warga Jakarta. Kita bisa melihat bagaimana warga pinggiran yang dulu tinggal di daerah kumuh langganan banjir, sekarang bisa tinggal di rumah susun yang cukup “mewah”. Permukiman kotor dan kumuh direlokasi dan diubah menjadi taman, lokasi bermain, dan ruang terbuka hijau (RTH) yang nyaman. Lokasi prostitusi dibersihkan dan dijadikan tempat yang layak dan bersih dari hal-hal negatif. Penghuni kawasan prostitusi (maaf, para PSK) pun dibina dan di”manusia”kan agar kelak menjadi manusia yang berguna. Mereka disediakan rumah susun sebagai pengganti hunian mereka yang kena gusur.
Ahok juga memberangkatkan haji (umrah) para marbot (pekerja di masjid), membangun masjid di balaikota yang tidak dilakukan oleh gubernur sebelumya, memberikan zakat pada saat Idul Fitri. Padahal Ahok bukanlah seorang Muslim, dan bukan pula seorang pribumi asli Indonesia. Ahok adalah seorang pemimpin daerah yang mayoritasnya adalah Muslim.
Dari kesemuanya itu, kelemahan Ahok hanya satu. Dia suka bicara kasar, tanpa tedeng aling-aling. Kerap disebutkan kurang santun. Padahal sebagai orang timur harusnya Ahok dapat mengendalikan diri dan menjunjung tinggi adat ketimuran. Tapi ya sudahlah, yang penting adalah hasilnya.
Menjelang pemilihan gubernur DKI ini, banyak saingan yang juga mencalonkan diri menjadi gubernur. Entah apa tujuan dan motivasi mereka mencalonkan diri menjadi gubernur, padahal kita semua tidak tahu apa prestasi yang sudah mereka lakukan, minimal bagi warga Jakarta. Yang saya tahu, mereka bersatu sepakat ingin menjadi gubernur karena satu hal, “ASAL BUKAN AHOK!” Itu saja. Mereka menyerang Ahok dengan berbagai isu, terutama SARA dan nada-nada negatif lainnya.
Semuanya mengandung kebencian kepada seorang Ahok yang bagi mereka adalah kafir yang tidak layak memimpin Jakarta. Sebaliknya, bagi Ahok, ketika ditanya soal banyaknya pesaing, ia hanya menjawab, “Baguslah semakin banyak pesaing semakin baik bagi demokrasi.” Saya belum pernah mendengar Ahok melontarkan kata-kata SARA kepada para pesaingnya. Jangan-jangan Ahok malah mendoakan para pesaingnya agar menang, jika memang Tuhan menhendaki. Insya Allah!