Mohon tunggu...
ratna jaya kusumawati
ratna jaya kusumawati Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Internal adalah Kunci DPD Didengar Rakyat

2 Juli 2015   12:03 Diperbarui: 2 Juli 2015   12:11 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang ada di benak Anda jika mendengar kata DPD? Pernahkan Anda menyimak sebuah tulisan di gedung MPR/DPR/DPD di Jakarta, bahwa terdapat Dewan Perwakilan Daerah di tulisna paling bawah? 

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) memang masih terkesan asing di sebagian telinga orang Indonesia, bahkan terkesan disamakan dengan DPR ataupun Pemda. Namun perlu diketahui, bahwa DPD telah ada sejak 1 Oktober 2004. Sebelum tahun 2004, DPD memang disebut dengan istilah Utusan Daerah yang merupakan lembaga tinggi negara dimana anggotanya dari perwakilan setiap propinsi yang dipilih melalui Pemilu.

Dengan kelahiran DPD di Indonesia 11 tahun silam, bertujuan untuk mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi sistem perwakilan bikameral dimana terdiri atas DPR sebagai representasi politik dan DPD sebagai representasi regional. Dengan adanya sistem parlemen bikameral, maka proses legilasi dapat diselenggarakan dengan sistem double check (check and balances). DPD diharapkan mampu memperbaiki hubungan kerja dan penyaluran kepentingan antara pusat dan daerah, sehingga kesenjangan dapat diminimalisir. Hal ini didasari dari luasnya daerah Indonesia dengan distribusi penduduk yang tidak merata antar daerah.  

Kehadiran DPD perlu dicermati bahwa DPD adlaah representasi wilayah propinsi sehingga jumlah anggota DPD dari setiap propinsi ada sebanyak 4 orang. Sehingga setiap propinsi di Indonesia akan mendapatkan kursi DPD sebanyak 4 kursi tanpa memandang luas daerah maupun jumlah kepadatan penduduknya. Di samping itu, apabila anggota DPR berasal dari partai, berbeda dengan anggota DPD yang berasal dari non partisan independen yang bertujuan untuk menyuarakan daerah propinsinya masing-masing. 

Dalam praktek kerjanya, seakan DPD tidak mempunya 'gigi' karena adanya keterbatasan wewenang. Seperti misalnya dalam UU Susduk pasal 42, yang membatasi fungsi DPD untuk dapat terlibat dalam proses pembuatan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya, serta UU yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 

Inilah saatnya DPD unjuk 'gigi', saatnya DPD didengar. Kumandangkan DPD sehingga seluruh rakyat Indonesia paham dan mengenal DPD. Lahirnya DPD RI juga menjadi suatu semangat masyarakat Indonesia di daerah yang mana selama ini daerahnya seakan 'tenggelam' di antara kemodernitasan bangunan ibukota. Ada secercah harapan akan kepentingna daerahnya dapat diangkat ke nasional sehingga terjadilah pemerataan pembangunan yang berujung pada pemerataan ekonomi. 

Sudah 11 tahun perjalan DPD, sudah saatnya bagi DPD didengar masyarakat Indonesia. Rakyat perlu dirangkul untuk dilakukan pemahaman mengenai fungsi dari kehadiran DPD di Indonesia. Membangun komunikasi dengan rakyat sangat mutlak diperlukan naik melalui media online maupun offline. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa sangat sedikit masyarakat yang 'ngeh' soal dan bahasa politik. Penyederhanaan dan menggunakan bahasa awam tentu akan sangat menguntungkan bagi rakyat untuk mengenal lebih dalma mengenai DPD. Tidak hanya sekedar memasang banner atau spanduk berisi foto, namun dilengkapi dengan informasi apa itu sesungguhnya DPD. 

DPD juga harus punya 'taring' dalam hal bersuara dan mengambil keputusan sehingga DPD akan menjadi suatu lembaga yang independen dan mencerminkan propinsi. 

Semoga DPD dapat selalu merepresentasikan propinsinya masing-masing sehingga didapatkan pemerataan dan mengatasi ketimpangan. Kita semua adalah NKRI, yang telah tersatukan dalam Pancasila. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun