Banyak yang menyayangkan keputusan saya untuk meninggalkan karir yang sedang bagus-bagusnya. Ya, mungkin karir saya sedang bagus, tapi bagus-bagusnya? Entahlah. Karena bagi saya bagus ya bagus. Bagus-bagusnya? Seperti apa itu contohnya?
Sebagai birokrat, pejabat, memiliki karir yang bagus memang penting. Tapi skala prioritas kepentingan itu berbeda bagi setiap orang.Â
Tentu saja menyenangkan hidup sebagai seorang pejabat dengan begitu banyak fasilitas dinas. Tidak ada keraguan dalam menjawab pertanyaan karib kerabat, "kerja di mana sekarang? Menjabat apa sekarang ?" Dulu dengan ringan saya bisa menjawab "camat", atau "kabag". Mereka pun akan meng-"ooo" dengan cepat.
Beberapa bulan terakhir saya agak sulit menjawab itu. Mungkin karena masih menyesuaikan diri dengan jalan yang saya pilih. Saya jawab developer, belum meyakinkan. Saya jawab jualan, kok sepertinya mereka mengernyitkan dahi dan segera berlalu. Mungkin karena prestise pekerjaan yang saya lakukan untuk menafkahi keluarga saya, tidak seperti sebelumnya.
Ketika saya menjawab dagang, jualan, mungkin terkesan sama dengan jualan gorengan atau jualan kantong plastik di telinga mereka. Tapi ya kenyataannya memang begitu. Sama persis. Apa yang dilakukan tukang gorengan di gerobak pinggir jalan itu, atau penjual kantong plastik di pasar Ulak Karang itu, sama dengan yang saya lakukan. Bedanya mungkin hanya di barang dagangannya saja.
Saya besar dari keluarga pedagang. Bukan besar dari keluarga pejabat. Ibu saya pernah menjual lontong di Sumatera Plaza yang dulunya ada toko bukunya. Ayah saya juga penjual kopi pada masa mudanya, menjual bahan bangunan di paruh bayanya. Jadi darah dagang saya turun dari mereka.
Perbedaan jawaban "kabag" dengan "jualan" hanya ada pada bunyinya. Secara filosofis keduanya sama. Sebuah pekerjaan untuk menghidupi diri dan keluarga. Tapi bunyinya itu mengeluarkan resonansi yang berbeda di telinga orang yang mendengar. Mayoritas mereka sepertinya lebih puas ketika mendengar jawaban "kabag". Tidak seperti saya.
Saya sangat menghargai orang yang memilih berdagang ini. Bagi saya mereka sepertinya adalah orang-orang yang mencari berkah. Setidaknya itu pendapat saya. Bagi saya, mereka memang orang-orang yang ingin kaya. Karena bukankah 9 dari 10 pintu rezeki itu ada di berdagang?Â
Oleh karena itu, seringkali ketika kerabat saya membuka suatu usaha, saya usahakan saya adalah orang pertama yang akan membeli produknya. Selain karena saya mungkin memang membutuhkan barang yang mereka jual, di atas itu saya ingin menunjukan bahwa sebagai teman, saya mendukung usahanya itu.
Suatu ketika teman saya membuka bisnis burger. Saya bahkan sudah datang sebelum kedainya buka. Karena ternyata kedainya baru buka keesokan harinya. Karena itu tadi, saya ingin menunjukan dukungan terhadap usahanya itu.
Jack Ma sempat mengatakan jangan jual produk ke temanmu, karena mayoritas yang ada di pikiran mereka adalah berapa keuntungan yang kamu ambil dari mereka. Itu memang pemikiran yang kejam. Tapi hal semacam itu memang terjadi. Lagipula itu adalah pengalaman pribadinya, yang juga pengalaman banyak pedagang lain.
Jadilah seorang pedagang yang jujur dan sukses, karena kelak kesuksesanmu itu akan membuat banyak orang ingin mengenalmu. Dan mereka akan melihatmu dengan sebuah penghormatan yang besar. Dan itu pantas, karena itu semua berkat usaha dan doamu. Atau jadilah pejabat, mereka juga akan menghormatimu. Walau sebenarnya kualitas otakmu jauh di bawah kualitas jabatanmu. Mungkin orang-orang itu tidak tahu. Tapi tentu saja kamu tahu itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H