Singgah sebentar untuk menemui Ayah dan beberapa orang tua saya di sebuah komplek cluster yang cukup ternama di kota ini, Padang. Karena waktu saya tiba sudah menjelang maghrib, maka saya menyempatkan diri untuk shalat berjemaah di mushalla kecil namun rapi. Mushalla ini terletak di tengah komplek, bersebelahan dengan lapangan tenis yang pada masa jayanya didatangi banyak orang, terutama pada sore hari.
Saya diminta menjadi imam oleh beberapa orang tua yang hadir maghrib berjemaah itu. Bukan orang yang asing bagi saya. Sebagian besar mereka adalah tetangga dan kerabat orang tua saya. Mereka sendiri pun dari dulunya sudah seperti orang tua saya sendiri. Mereka pun menganggap saya seperti anaknya sendiri. Mereka mengenal saya sejak saya masih SD.
Setelah selesai melaksanakan kewajiban saya, saya bergegas memasang sepatu. Saya ingin pulang sebelum jalanan menjadi terlalu ramai. Karena hari ini malam minggu.Â
Ketika memasang sepatu, sesosok laki-laki berdiri di hadapan saya dan bertanya, " Tommy kan ?" Spontan saya mendongakan kepala dan menjawab "iya" sambil berusaha mengenali yang bertanya ini. "Dandi !" Ucapnya sambil mengacungkan tangan untuk bersalaman. "Astaga !" Balas saya.
Entah sudah berapa lama saya tidak bertemu dengannya. Mungkin sudah sekitar 15-20 tahun. Bahkan saya sempat berpikir tidak akan bertemu dengannya lagi. Dia teman saya di komplek itu. Dia teman main bola saya. Introvert tapi center back yang handal. Dia gagah. Putih. Gaya jalannya khas.Â
Masih seperti dulu ketika kami menuju usia belasan. Saya menyadari itu ketika melihat ia berjalan menuju rumahnya. Saya ingin mencatat nomor teleponnya, tapi handphone saya ketinggalan.
Dia dan keluarganya pindah ke Jakarta setelah gempa besar melanda Kota Padang. Sayangnya saya lupa gempa yang mana. Yang jelas sejak saat itu, kami tidak pernah bertemu lagi, sampai malam ini. Dia anak yang kuat. Tak perlu saya ceritakan bagaimana kuatnya dia. Yang jelas dia lebih kuat daripada saya. Seperti yang saya katakan sebelumnya, dia tertutup, tapi dengan saya cukup akrab.
Saya teringat setiap kami akan bertanding sepakbola dengan anak sebelah, saya dan pemain lainnya selalu harap-harap cemas apakah dia akan diizinkan bermain oleh orang tuanya.Â
Karena dia tidak terlalu sering bisa mendapatkan izin itu. Kegiatan sekolah dan lesnya banyak sekali. Begitu dia tidak mendapatkan izin itu, saya hanya akan geleng-geleng kepala.Â
Mengetahui akan ada lubang besar yang harus ditambal di sektor pertahanan. Dan memang seringkali, jika dia tidak bermain, kami kebobolan lebih dari yang seharusnya.
Mengejutkan saya berjumpa dia lagi. Mengejutkan bagaimana waktu membawa kami menuju jalan masing-masing, untuk kemudian bertemu kembali di sebuah maghrib. Mungkin saya akan menyempatkan diri untuk meminta nomor teleponnya besok. Atau mungkin kami akan kembali bertemu beberapa belas atau puluh tahun lagi. Entah siapa yang tahu.
Jika ada yang ingin tahu seperti apa rupanya ? Seperti apa permainan sepakbolanya ? Ada yang tahu Christian Panucci ? Dia seperti itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H