Mohon tunggu...
Tommy TRD
Tommy TRD Mohon Tunggu... Penulis - Just a Writer...

Jumpa juga di @tommytrd

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

ASN Tidak Boleh Jemput Anak di Jam Kerja, Serius?

14 Desember 2019   18:10 Diperbarui: 15 Desember 2019   15:06 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu Pemerintah Kabupaten, tepat di Blitar, Jawa Timur, kabarnya telah mengeluarkan sebuah aturan yang melarang ASN untuk menjemput anak sekolah pada jam kerja, dan membawa anak ke kantor. 

Bagi yang tetap menjemput anaknya dalam jam kerja akan mendapatkan sanksi berupa pemotongan tunjangan. Dalam sudut pandang penegakan disiplin mungkin hal ini memang benar untuk dilakukan.

Namun, dari sudut pandang bahwa seorang ASN pun juga adalah orang tua, akan menjadi kontroversi sendiri.

Entah apa ada hubungannya dengan menjemput anak dengan produktifitas kerja atau tidak. Tetapi beberapa instansi atau pemerintah daerah mungkin berpikir kedua hal itu memiliki hubungan yang kuat. 

Bagi saya pribadi, hal ini cukup menganggu alur berpikir. Karena bagi saya produktifitas lebih bergantung kepada passion, kenyamanan dan kemerdekaan dalam bekerja. 

Bukan karena meninggalkan anak saya di sekolah untuk dijemput pembantu atau diantar dengan bis. Hal itu tidak menambah kinerja saya. Malah mungkin cenderung membuat saya muak dengan pekerjaan saya. Lagipula berapa persen ASN yang mampu menyewa jasa pengasuh anak?

Profesi apapun seharusnya tidak memiliki hak untuk mencampuri sebuah hubungan orang tua dan anak. Saya rasa itu ada dalam dua ranah yang berbeda. 

Saya pernah melihat sebuah kantor yang beberapa pegawainya malah membawa anaknya ke kantor. Saya tanyakan kepada bos di kantor itu, apa itu menjadi masalah baginya ? Ia malah menjawab tidak. 

Hal itu bagus bagi produktifitas pegawainya yang juga seorang ibu itu. Dan lebih daripada itu, ia tidak perlu harus merasa berdosa karena membatasi waktu seorang Ibu dengan anaknya yang masih balita ujarnya. 

Dan memang kantor ini bukan kantor pemerintah. Melainkan sebuah kantor perusahaan swasta yang produktifitas dan profitnya tinggi.

Jika menjemput anak akan menghadapi pemotongan tunjangan, berapa orang yang akan lebih memilih rupiah dibandingkan waktu bersama anaknya? Sesungguhnya ini pertanyaan yang menggelikan. 

Karena dua hal itu sama sekali tidak sebanding. Berapa banyak orang yang lebih memilih kehilangan seorang anak dibandingkan kehilangan pekerjaan? Saya pribadi lebih memilih kehilangan pekerjaan semacam itu jika dibandingkan harus kehilangan anak saya.

Tumbuh besar di keluarga yang bergerak di bidang swasta membuat saya menyadari, bahwa yang terpenting dalam memaksimalkan sebuah potensi yang dimiliki oleh seorang karyawan adalah memberikan respek dan hormat terhadap semua aspek kehidupannya yang anda ketahui, serta koreksi yang pantas terhadap hasil karyanya. 

Bukan dengan memperlakukannya seperti robot dengan berbagai program yang ditanamkan di dalam prosesornya, serta dengan berbagai macam aturan yang tidak bisa diterima oleh akal paling gila sekalipun. 

Cukup manusiakan manusia yang bekerja untuk anda. Maka ke puncak tertinggi sekalipun anda akan diantarkannya. Namun jika anda memperlakukan mereka seperti robot, tidak ada jurang yang terlalu dalam bagi mereka untuk menyeret anda.

Saya termasuk seorang pimpinan yang keras (setidaknya banyak orang mengatakan begitu), tapi toh tidak sampai membuat batasan dengan anak buah saya yang ingin bercerita atau berkeluh kesah dengan saya. 

Karena bagi saya, selain sebagai anak buah saya, mereka juga adalah seorang manusia. Seorang orang tua bagi anak-anaknya. Saya mengetahui bahwa mereka bekerja untuk anak, istri dan keluarga mereka. 

Dan saya tidak akan membalikan prinsip itu, bahwa pekerjaan malah membuat mereka lalai terhadap anak istrinya. Setidaknya itu prinsip saya. Baik sebagai seorang manusia, ataupun sebagai seorang pimpinan unit kerja.

Bagi saya pribadi, mereka boleh mengambil semua tunjangan, gaji, jabatan bahkan semua atribut pegawai yang melekat pada diri saya. Tapi tidak satu hal pun yang akan menghalangi saya bersikap dan bertindak layaknya seorang Ayah bagi anak-anak saya.

Karena di atas semua capaian karir itu, di atas semuanya, saya adalah seorang Ayah ! Saya akan lebih senang dan bangga mendapatkan predikat Ayah Terbaik di mata anak-anak saya, dibandingkan penghargaan Best Employee in History sekalipun. 

Saya mungkin gagal melaksanakan perintah, tapi saya tidak boleh gagal sebagai seorang Ayah. Sila mereka ambil semua (ujar teman saya dari Malaysia).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun