Mohon tunggu...
Tommy Jomecho
Tommy Jomecho Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi. Desainer. Penulis. Gamer.

Manusia, dosa dan hijrah. Tempatnya salah, tempatnya dosa. Mencoba berbenah, mencoba berubah. Bisa! Allahuakbar!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Coretan Soal Corona

20 Maret 2020   21:35 Diperbarui: 20 Maret 2020   21:42 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita sangka kita sudah kuat, kita kira kita sudah maju. Hari ini, dari kasus corona, kita belajar 1 hal: kita masih seperti yang dulu; lambat, minim, rendah.

Kini, korban terus berjatuhan. Rasio korban meninggal kian melonjak. Tenaga kesehatan mulai kewalahan. Mengapa? Kita belum siap. Sebab kita belum siap hadapi corona.

Antisipasi minim. Pendeteksian buruk. Diperingatkan 'ngeyel'. Sombong. Padahal sumber daya terbatas. Faskes terbatas. Uang 'gak' banyak. Apa-apa terbatas. Hanya bualan saja yang tak terbatas.

Sekarang wabah meluas. Lalu kita memilih rapid test sebagai langkah pembatasan. Entah dimana, bagaimana, lalu berapa? Rapid test masih belum terlalu jelas. Apa pun itu, ini hanya pendeteksian untuk menentukan langkah selanjutnya bukan mengobati.

Pilihan lainnya: lockdown. Sepertinya, kita 'gak' siap untuk ini. Belum lockdown saja, rupiah sudah ambruk. Belum resiko lainnya. Soal keamanan dan ketahanan nasional misalnya.

Lalu mengapa kita gelabakan? Tidak siap hadapi wabah ini?

Sebab kita belum benar-benar maju. Fondasi kita rapuh. Dalam segala aspek. Sedari dulu, kita belum benar-benar bersatu melawan ketertinggalan. Bahkan selepas orde baru. Kita hanya sibuk memikirkan kepentingan pribadi dan golongan. Sibuk memperkaya diri. Sibuk pamer. Sibuk cari perhatian atasan. Takut kehilangan jabatan.

Dan akhirnya, kerja serampangan. Korupsi jalan terus. Penegakan hukum lemah. Partai-partai kebanyakan 'kotor'. Berlanjut dan berdampak pada lambatnya perekonomian yang inklusif. Senjangnya keadilan. Buruknya layanan publik. Pendidikan mahal, kesehatan mahal, loker susah.

Di sisi lain, pemodal diberi karpet merah. Welcome to asing. Yang melarat justru dipepet dari berbagai penjuru; baik dari aspek pendapatan, maupun aspek kebebasan sipil; kian terkekang dan takut bersuara.

Tidak solid. Tidak bersatu. Tidak kompak. Tidak maju. Tidak benar-benar maju.

Sekarang, nasi sudah jadi bubur. Suka tidak suka, kita dalam masa sulit. Ini harusnya jadi momentum untuk bersatu. Lupakan ego sektoral, ego pribadi. Jangan coba-coba merasa gagah atau mencoba peruntungan dengan pandemi ini. Saatnya kompak. Kaya miskin, tua muda, pejabat rakyat, semuanya mari berkontribusi. Sekecil apapun itu.

Belajar dari Italia, negara yang benar-benar maju saja kewalahan jika tanpa persiapan. Apalagi kita yang belum benar-benar maju.

Untuk itu, mari kita patuh dan disiplin terhadap instruksi pemerintah. Tinggal di rumah aja! Jangan keluyuran dulu. Setidaknya sampai akhir Mei 2020.

Jangan terlalu pede. Kita 'gak' sekuat itu. Kita 'gak' semaju itu. Jadi yuk stay at home. Ini cara terbaik kita untuk sama-sama keluar dari masa sulit. Jangan ngeyel!

Semoga masa sulit ini segera berakhir dan kita dapat mengambil hikmahnya. Kita juga berdoa, semoga ke depan, Indonesia benar-benar menjadi negara kuat dan maju. Negara yang diisi pemimpin amanah, yang kesehariannya sibuk memikirkan nasib rakyatnya. Bukan sebaliknya, negara yang dipenuhi pemimpin yang justru membuat rakyat berkata: tak habis pikir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun