Ada banyak negara hebat yang dapat dijadikan rujukan membangun sepak bola. Salah satunya Islandia, negara mini yang baru saja mempermalukan Timnas Kita dengan skor telak, 1-4. Tampil apik, tim berjuluk Strakarnir Okkar (our boys) tersebut sukses 'menampar' pipi Pak Jokowi dan petinggi PSSI, kiri dan kanan.
Islandia bukanlah negara besar. Luasnya tak sampai 6 persen negara kita. Penduduknya? Apalagi, hanya 338 ribu jiwa. Jika saja Stadion GBK menambah kapasitas kursinya 3x lagi, niscaya seluruh penduduk Islandia bisa merayakan kemenangan timnya dan berpesta bersama di SUGBK.
Bahkan percayalah, negara beribu kota Reykjavik ini tak akan mau adu jotos dengan Indonesia, sebab masing-masing mereka akan berhadapan dengan 750 orang lebih. Bisa dibayangkan betapa mengerikannya bogem sebanyak itu. Padahal, duel dengan Om Limbad saja, Gudmundsson belum tentu menang.
Meski mini, Islandia tak bisa dianggap enteng. 'Lah' buktinya tadi malam. Setelah sebelumnya Indonesia Selection dibenamkan dengan skor 0-6, Timnas yang digadang bakal menjadi juara Asian Games pun babak belur dihajar Gudmundsson dkk. Padahal mereka tak memiliki stadion megah sekelas SUGBK, yang diklaim salah satu terbaik dunia. Bahkan, konon katanya, jika seluruh stadion di Islandia digabungkan belum juga menyamai GBK.
Sekali lagi, Islandia memberi pelajaran penting bahwa kualitas tak semata ditentukan kuantitas. Negara boleh sempit, tapi soal kualitas, tunggu dulu. Menembus putaran final piala dunia menjadi bukti valid betapa kuantitas penduduk tak berarti apa-apa. Sepak bola hanya butuh 11 orang, dan Islandia tak membutuhkan penduduk hingga ratusan juta untuk meracik tim sepak bola berkelas dunia.
Lalu apa rahasia Islandia? Kualitas sumber daya manusianya! Salah satu indikator penting yang menjadi komponen penghitung kualitas manusia adalah pendapatan. Meski berpenduduk kurang dari se-per-empat persen penduduk Indonesia, tapi GDP per kapita Islandia 16 kali lebih besar. Untuk diketahui, GDP per kapita per tahun negara kita hanya 48 juta rupiah. Selain itu, ekonomi Islandia tumbuh amat kencang, hingga 7,4 persen. Sedang kita mencapai 5,02 persen saja, susahnya minta kawin, sampai saling sikut.
Indikator lainnya adalah angka harapan hidup. Semakin tinggi harapan hidup penduduk di suatu negara dipandang sebagai pertanda membaiknya kualitas kesehatan. Di Islandia, harapan hidup penduduknyanya lebih 80 tahun. Artinya, sejak lahir, orang-orang Islandia akan hidup setidaknya 80 tahun. Sementara kita, rata-rata bertahan hingga usia 70 tahun saja.
Ya, sejahtera lahir dan batin, itulah kunci kerasnya tamparan Gudmundsson dkk tadi malam. Sesuatu yang tak dimiliki Indonesia, negara yang mengaku kaya, tapi masih berkelindan dengan kemiskinan dan kesenjangan. Kendati demikian, pada praktiknya, hipotesis ini terbantahkan dengan kerap majunya negara-negara Afrika ke pentas dunia. Pantai Gading, salah satunya.
Lalu apa? Penulis amat yakin, mereka bukanlah negara yang merasa cepat puas, negara yang ketika tim sepak bolanya menang dirayakan tujuh hari tujuh malam. Ketika ada yang mencetak gol, besoknya beriklan. Padahal belum pun mengangkat tropi. Sebaliknya, mereka adalah pekerja keras, ulet dan tak lekas berpuas diri.
Hal lain, mereka sepertinya bukanlah tipe negara yang di setiap sendi kehidupan dipenuhi manusia gila harta dan kuasa. Lebih-lebih dalam bidang olahraga. Sayangnya, hal tersebut tak serupa di Indonesia. Di sini, setiap helaan nafas kehidupan tercemar politik. Setiap denyut aliran uang negara tersendat koruptor. Bahkan, sepak bola yang semestinya jauh dari manusia busuk, nyatanya menjadi sarang koruptor dan politikus. Ah sudahlah...
Selamat dan terima kasih Islandia, semoga melangkah jauh di Piala Dunia 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H