Mohon tunggu...
Tommy Jomecho
Tommy Jomecho Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi. Desainer. Penulis. Gamer.

Manusia, dosa dan hijrah. Tempatnya salah, tempatnya dosa. Mencoba berbenah, mencoba berubah. Bisa! Allahuakbar!

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ketimpangan Kian Kentara

10 Desember 2017   18:36 Diperbarui: 10 Desember 2017   19:28 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika tujuan akhir pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan, Indonesia sudah on the track. Terbukti dengan menurunnya jumlah penduduk miskin yang cukup berarti satu dekade terakhir. Pada kurun waktu tersebut, tak kurang 9 juta penduduk yang tenggelam di bawah garis kemiskinan berhasil diselamatkan. Kendati demikian, ada persoalan lain yang juga membutuhkan perhatian serius, dialah ketimpangan pendapatan.

Di saat perang melawan kemiskinan berkecamuk, musuh lain bernama ketimpangan pun kian menakutkan. Alih-alih mengatasinya, kesenjangan justru semakin menjadi. Sejak 2002, indeks gini meningkat 0,052 poin menjadi 0,393 di tahun 2017. Kenaikan hampir terjadi di semua provinsi. Praktis hanya Sumatera barat dan Kepulauan Riau yang berhasil membendungnya.

Merangkaknya indeks gini satu dekade belakangan tentu mengkhawatirkan. Hal tersebut mengindikasikan melebarnya jarak antara Si Kaya dan Si Miskin. Jika tak pandai mengelola, bukan tak mungkin jurang pemisah semakin dalam dan mengancam stabilitas sosial.

Daya Beli Tertekan

Isu penurunan daya beli belum menunjukkan tanda mereda. Perang opini dua pihak berseberangan masih kerap menghiasi lini masa media. Corak pendapat yang dilontarkan pun cukup beragam, bergantung posisi dan kepentingannya masing-masing. Sungguh tak dapat dikilah, isi melesunya daya beli rentan digoreng oleh berbagai pihak.

Kendati klaim penurunan daya beli dimentahkan dengan sejumlah alasan, tapi daya beli tertekan ditengarai benar adanya. Kepala Badan Pusat Statistik Kecuk Suhariyanto dalam sebuah kesempatan membenarkan adanya indikasi daya beli lapis bawah tertekan.  Tanda-tanda yang disebutkan ialah menurunnya upah buruh riil dan Nilai Tukar petani (NTP) beberapa waktu terakhir. Selain itu, terkoreksinya kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 55,68 persen pada triwulan III-2017 dari sebelumnya 55,88 persen di triwulan III-2016 seakan menguatkannya.

Jamak diketahui, kalangan bawah di bumi pertiwi ini didominasi oleh petani dan buruh tani. Lebih dari separuh penduduk miskin adalah petani dan sekitar 65,62 persennya tinggal di perdesaan (Susenas, 2016).

Ironisnya, peranan sektor pertanian terhadap PDB kian menciut. Tahun 2000 misalnya, kontribusi sektor pertanian masih menyentuh angka 17,23 persen. Hampir dua dekade berselang, kontribusinya berkurang menjadi 13,45 persen. Imbasnya, tenaga kerja di sektor pertanian menurun tajam dari 42,05 persen di tahun 2006 menjadi 31,86 persen di tahun 2017.

Hasil Sensus Pertanian 2013 juga memberi gambaran serupa. Sejak 2003 hingga 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian menurun hingga 5,10 juta rumah tangga atau 16,32 persen. Yang mengkhawatirkan tentu saja menurunnya jumlah rumah tangga petani gurem --petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektar---hingga mencapai 26,15 persen. Sementara di sisi lain, jumlah perusahaan pertanian justru tumbuh hampir 4 persen.

Terkini, usaha pertanian semakin melesu. Indikasi tersebut dapat dilihat dari merosotnya Nilai Tukar Petani (NTP) lima tahun belakangan. Sejak 2012 lalu, NTP melorot hingga 3,59 persen menjadi 101,65 pada tahun 2016. Meski masih di atas 100, tetapi surplus petani semakin menipis.

Singkat kata, petani kian terjepit. Utamanya petani berlahan sempit dengan akses modal terbatas. Derita semakin pahit ketika biaya hidup membumbung tinggi menyusul pengurangan subsidi BBM, penyesuaian tarif listrik dan kelangkaan bahan bakar gas. Karenanya, sangat perlu kiranya mewaspadai kondisi ekonomi kelompok menengah bawah, khususnya para petani kecil. Jika tak membaik, sangat mungkin kondisi tersebut menyeret mereka ke palung terdalam kemiskinan. Ketimpangan pun kian kentara.

Melindungi Lapis Bawah

Petani, perdesaan dan kemiskinan seakan tak dapat dipisah-pisahkan. Tiga hal tersebut kental dengan ketertinggalan dan kemelaratan. Karenanya, mengentaskan kemiskinan dan mamangkas ketimpangan akan senantiasa berkutat di sana. Apapun kebijakan yang menyasarnya, pastilah disebut pro poor.

Kita pantas optimis sebab pengentasan kemiskinan dan ketimpangan sudah menjadi agenda prioritas pemerintah. Presiden Jokowi beserta jajaran terus membuat terobosan guna memangkas ketimpangan yang ada. Terbaru, presiden meluncurkan Kebijakan Pemerataan Ekonomi (KPE) mendampingi program perlindungan sosial yang sedari dulu.  

Tidak ada yang salah dengan rupa-rupa program tersebut. Yang perlu dibenahi adalah akurasi sasaran dan keutuhannya, utamanya program perlindungan sosial. Jika saja basis data terpadu rumah tangga yang menjadi sasaran 'dipelihara', tentu soal akurasi penyalurannya dapat digaransi. Pekerjaan selanjutnya adalah memastikan keutuhan dan pemanfaatan 'permen' tersebut agar tepat guna.

Perhatian ekstra perlu tercurah pada pelaksanaan dana desa. Petunjuk berikut pengawasannya harus dibenahi agar gelontoran rupiah tersebut tak berujung sia-sia. Sebab, jika dikelola dengan tepat, dana desa adalah instrumen terbaik untuk menekan jumlah penduduk miskin dan mengurangi ketimpangan sejauh ini. Alasannya, desa merupakan lumbung kemiskinan. Di negara ini, sekitar 17,10 juta jiwa atau 60 persen lebih penduduk miskin ada di perdesaan.

Hal penting lain adalah kesungguhan penegakan hukum. Masyarakat lelah dengan adegan 'maruk' yang diperagakan akhir-akhir ini. Perampasan hak rakyat hanya akan membuat jurang semakin dalam. Bukan hanya kerugian materil, masyarakat juga menanggung kerugian nonmateril. Lebih dari 88 juta generasi milenial --generasi kelahiran '80-an hingga 2000-an-- ikut menyaksikan adegan tersebut. Bayangkan jika apa yang mereka tonton hari ini menjadi tuntunan di kemudian hari. Indonesia akan terbenam dalam pusaran kemiskinan dan ketimpangan selama-lamanya.

 Terakhir, diperlukan sentuhan regulasi penguasa untuk memastikan pasar bersaing sehat. Investasi asing memang diperlukan, tapi juga harus ditelaah mendalam. Kita tidak menginginkan pemodal, terlebih asing, mencaplok lahan atau pasar warga yang hidupnya getir tanpa konvensasi jangka panjang. Jika ini terjadi maka rakyat membutuhkan kehadiran pemerintah. Perlindungan yang adil serta jaminan persaingan berimbang sangat diperlukan agar jurang ketimpangan tidak semakin dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun