Mohon tunggu...
Tommy Darmawan
Tommy Darmawan Mohon Tunggu... -

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lebih Baik Saling Menyalahkan atau Menyalahkan Diri Sendiri (?)

2 Oktober 2015   00:39 Diperbarui: 2 Oktober 2015   00:39 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumlah kepercayaan akan semakin menipis dirasakan seseorang semakin senja umur mereka. Pengalaman demi pengalaman didapat, sedikit yang dapat mencermikan sebuah realita dimana manusia jaman sekarang memiliki integritas dan loyalitas terhadap sesamanya. Saling menyalahkan maupun Menyalahkan diri sendiri menjadi suatu pilihan dalam menyelesaikan suatu permasalahan. akan tetapi bagaimana seharusnya kita memandang sebuah resiko dari sebuah musibah yang kita terima?

Di kepala ini terdapat banyak sekali pertanyaan dan teka teki, sulit diuraian dengan kata dan tidak tahu harus mulai darimana. Kita tinggal di negeri yang terlalu banyak membebani masyarakatnya dengan ketidakpastian. Menyebabkan opini masyarakat terhadap para Pejabat Senayan mengalir ke sebuah muara ketidakjelasan kepada masa depan warganya. Kita hidup bukan hanyak sekedar untuk mencari sesuap nasi, sebuah bilik untuk berteduh, atau sehelai kain untuk menutupi diri saja, akan tetapi jaman telah membawa kita menuju kehidupan yang jauh lebih kompleks dimana kita harus menentukan sikap dan arahan hidup, serta "bagian" atau sisi mana yang kita dukung untuk menciptakan sebuah tatanan hidup yang ideal menurut versi kita masing-masing.

Kembali ke permulaan, pengalaman membawa saya pada sebuah situasi yang memojokkan pihak tidak terkait dalam suatu musibah. Membawa persahabatan dan kekeluargaan sebagai tameng utama bagi pelaku, segala hal dilakukan untuk memuluskan kepentingan pribadi dan sebagian orang. Kepentingan ini ternyata merugikan banyak orang lain serta diluar pengetahuan sang pelaku, telah melanggar sebuah tatanan hukum. Pihak tidak terkait ikut merasakan pahitnya ketidakadilan di mata hukum, yang selalu tertutup dan hanya bisa merasakan dan menimbang opini, pendapat, fakta (?) yang muncul kepermukaan sebagai retorika dalam dialog tak berujung.

Rasa bersalah seseorang luntur akibat tingginya ego individu
Persahabatan pecah akibat kepentingan yang tidak sejalan
Kekeluargaan merupakan topeng atau kedok semata dalam memuluskan urusan pribadi

Hingga pada akhirnya, hanya si mulut besar yang akan dianggap sebagai fakta. asumsi publik dipermainkan, suara lantang dan tegas menjadi tanda segala yang keluar dari mulutnya adalah fakta dan kebenaran. Bahasa dan teknik beretorika menjadi kemampuan utama aktor dalam bersikap. Memburamkan fakta dan fiksi yang tipis bedanya.

Sebuah kejadian tidak dapat terulang, namun ingatan dan memori tersimpan, bahkan dapat dibuat serta dimanipulasi dan direkayasa. Kejadian tidak dapat dimunculkan kembali kecuali terdapat mesin waktu atau alat super canggih seperti pada film Deja Vu (2006, Tony Scoot). Fakta terpenjara dalam masa lalu, sedangkan fiksi terkurung di dalam otak kita. lebih mudah mengeluarkan fiksi dibandingkan fakta, terpenjara di masa lalu.

Hanya bahasa yang dapat mengekspresikan, menggambarkan, serta menceritakan kejadian yang telah terjadi di masa lampau.
Namun perlu diingat, banyak celah, persepsi, asumsi, miskomunikasi dalam sebuah bahasa, terlebih apabila fokus pada tatanan frasa apalagi kalimat, makna ganda dari konotatif, denotatif, majas; multitasfir sangat amat mungkin terjadi dapan dapat menimbulkan perbedaan.

Dinilai banyak ruginya, lebih baik kita salahkan diri sendiri, sisihkan ego dengan mengakui segala ketidaktahuan, kesalahan, kekurangan kita. Hanya Tuhan yang sempurna. Dibalik semua kekurangan yang kita miliki, Tuhan punya cerita dan jalan tersendiri layaknya arsitek hidup kita, tergambar dengan cukup menarik pada sebuah film Adjustmen Bereau (2011, George Nolfi). sehingga, tidak bermaksud memaksa maupun mengarahkan pembaca dalam bersikap, namun dilihat dari efek yang telah dirasakan, alangkah lebih indahnya bumi kita bila dipenuhi manusia yang selalu rendah diri, terbuka akan kritik dan saran, agar tercapai peradaban yang saling bertoleransi satu sama lain diselimuti kedamaian tanpa batas atas setiap perbedaan yang kita miliki tanpa memandang dan mendasarkan pemikiran kita pada politik, ekonomi, kekuasaan, uang, dan sebagainya.

Semarang, 2 Oktober 2015
-AMDG-

 

Tulisan pertama penulis, mohon maaf bila masih sangat banyak kesalahan yang ada dalam tulisan di atas, kritik dan saran para pembaca sekalian sangatlah membantu. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun