Sebagai seorang reporter, sudah ada beberapa kali saya mengikuti yang namanya sidang. Saya masih ingat, pertama kali, saya meliput sidang putusan di Jakarta Utara. Yang ke-2 adalah ketika sidang soal peristiwa Tanjung Priok. Selain dua kasus itu, saya jarang sekali namanya masuk dalam ruang sidang.
Dan sebuah pengalaman baru menghampiri saya ketika saya datang ke sidang Gugatan Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
HTI menggugat pemerintah, karena Badan Hukum mereka dicabut oleh pemerintah. Sidangnya berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Tempat sidangnya di Gedung PTUN yang berada di Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Utara.
Lokasi ini tidak sulit saya temui karena berada tidak jauh dari Kantor Walikota Jakarta Utara. Ruang sidang ada di Ruang Kartika. Sebelum masuk ke ruang sidang, saya harus melewati pemeriksaan oleh polisi.
Saya hadir jam 8.00 tapi sidang baru dimulai sekitar jam 09.15. Sidang kali ini untuk mendengarkan keterangan saksi. Ada tiga orang saksi yang diajukan oleh Penggugat. Mereka adalah Noviar Badirani, Akhlunazar Hatala, Muhammad Umar Al-Khatiri.
Ketika Hakim ketua membuka sidang, kuasa hukum penggugat maupun tergugat menambahkan bukti-bukti baru ke majelis hakim. Kuasa hukum tergugat yang beranggotakan Hafzan Taher, I Wayan Sudirta, Teguh Samudera, Achmad Budi Prayoga, Ridwan Darmawan, menyerahkan bukti kepada hakim. Ada 59 bukti baru.
Saksi kemudian dipanggil dan diminta KTP nya oleh hakim untuk ditanyakan keaslian identitas mereka. Seusai ditanya satu-satu, kemudian saksi diambil sumpahnya.
Setelah Noviar, yang ditanyai keterangannya adalah Al-Khatiri dan selanjutnya Hatala. Hatala menjadi yang terakhir dari pemeriksaan saksi.
Kurang lebih jam 12.00 sidang selesai. Majelis hakim mengatakan akan ada lanjutan sidang pada pekan depan dengan menghadirkan tiga saksi fakta dan satu saksi ahli.