MAMA DAN AMBISI
Untuk kesekian kalinya kami mengganti mobil kami dengan mobil baru, kali ini papa membayar mobil seharga 650 juta rupiah, mobil baru yang berkelas. Kami sekeluarga, papa, mama, aku dan adikku mencoba mobil itu dengan berkeliling di jalan tol pada malam hari.
“Lumayanlah bagus mobil ini. Tapi nanti kalau ada uang lagi, kita beli mobil seperti mobilnya Sari itu, Pa. Bagus, keren banget. Harganya 1 M lebih sedikit. Kurang ingat aku berapa harga tepatnya.” Ujar mama di tengah jalan. Kami yang ada di dalam mobil hanya diam saja, tak jelas apakah kami sedang menikmati jalanan dengan mobil baru ini, atau kami semua hanya jenuh menanggapi kata-kata mama.
“Bagaimana pelajaran fisikamu, Ir? Sudah ada kemajuan belum? Masakan kamu kalah sama Ridwan, si culun itu sih? Belajar yang benerlah, Ir, jangan buat mama malu. Itu anak-anak teman-teman mama pintar-pintar semua, dapat beasiswalah, sering juara kelaslah, pernah menang kejuaraan matematikalah… Ini, kalian berdua nih, bisanya hanya nangkring di 5 besar. Kapan ranking satunya?” Kembali mama berseloroh.
“Irma! Reza! Denger nggak sih mama ngomong?” Tanya mama lagi. Sementara kami yang ditanya hanya diam saja. Enggan sekali menjawab.
“Pa, aku mau ganti handphone-ku, Pa. Ada model baru kemarin aku lihat Dani punya bagus tuh. Layarnya lebar dan mudah dipakai.” Mama masih berbicara.
“Baru bulan lalu mama ganti handphone, sudah mau beli lagi? Buat apa?” Tanya papa.
“Ya, kalau ada yang lebih bagus, ikuti jamanlah, Pa.” Jawab mama.
“Ah! Nggak perlu yang begitu-begitu, Ma. Handphone yang sekarang masih bagus kok.” Kata papa tidak setuju.
“Kalau papa mau pakai handphone jelek, ya terserah aja. Mama sih mau ganti.” Segera mama menjawab. Kemudian papa-mama kembali diam. Kasihan Papa, kataku dalam hati, bahkan setelah mampu membeli mobil 650 juta ini, tampaknya mama tidak terlalu menghargainya.
“Bagus kok, Pa, mobil barunya. Pilihan papa nggak salah deh!” Tiba-tiba Irma memecah keheningan.
“Ya lumayanlah… Tapi mama sih naksir banget mobilnya tante Sari.” Mama menimpali, padahal maksud Irma tidak berbicara dengan mama.
“Ah! Mama… Nanti kalau papa sudah bisa beli mobil kayak mobil tante Sari, terus papa disuruh beli mobil mana lagi? Mama sih, nggak pernah ada puasnya.” Aku menjawab segera dengan sindirian. Itulah mamaku yang tak pernah puas. Di mata mama, tidak ada yang benar-benar bagus ataupun baik untuk disyukuri.
“Yah! Selama masih hidup, nggak apa kok kita tetap mau memperoleh hal yang lebih baik lagi. Itu supaya hidup kita terus meningkat. Loh! Apa kamu mau naik mobil ini sampai tua?” Tanya mama mulai meninggi nadanya.
“Mobil ini nih, ma, tidak semua orang bisa beli. Banyak yang tidak bisa beli. Paling tidak, kita harus bersyukur karena kita bisa beli mobil ini.” Sahut papa.
“Ah! Kalian sama saja semua! Kalian sendiri kan juga suka kalau naik mobil bagus, punya barang-barang baru. Coba kalau bukan mama yang suruh beli mobil ini, mana bisa kalian naik mobil ini kan? Kalau mama tidak ingin mobil seperti mobil tante Sari, barangkali kalian juga tidak akan bisa naik mobil seperti itu nantinya.” Sahut mama ketus. Suasana di dalam mobil menjadi tegang.
“Apa yang akan membuat mama benar-benar bahagia?” Tanya Irma adikku. Aku tahu sedari tadi Irma sebenarnya mencoba untuk menyenangkan hati papa. Papa yang sudah bekerja keras, seharusnyalah kami keluarganya menghargai hasil jerih payahnya, bukan selalu menganggapnya tidak cukup baik karena yang lebih baik sudah harus dikejar.
“Waktu aku ranking 20-an, mama paksa aku belajar. Ketika sudah 10 besar, mama suruh aku belajar lagi supaya ranking 1. Yang kutakutkan, jika aku sudah ranking 1, aku harus bagaimana lagi, ma?” Tanya Irma tiba-tiba emosinya meninggi.
“Pokoknya, selama kita hidup, kita harus selalu capai yang terbaik.” Jawab mama.
“Masalahnya, aku tidak pernah bisa merasa baik buat mama.” Kata Irma jujur.
“Kapankah kita akan bersyukur untuk apa yang kita dapat?” Tanya papa.
“Bersyukur itu hanya untuk orang yang berpuas diri. Hidup ini terlalu singkat untuk berpuas diri!” Sahut mama.
“Bersyukur bukan berpuas diri, Ma. Bersyukur itu berterimakasih kepada Tuhan dan itu akan memberikan banyak kedamaian di dalam hidup kita.” Sahut papa.
“Ah! Terlalu banyak teori!” Ujar mama.
Perdebatan dengan mama tentang bersyukur ini sering sekali terjadi. Jika terjadi perdebatan, papa selalu memilih diam, Irma beberapa kali cukup berani melawan tapi akan berakhir diam juga memendam kesal, sedangkan aku? Aku hanya ingin segera menyelesaikan sekolahku agar bisa berada jauh dari mamaku. Kami bertiga lelah menghadapi segudang ambisi mama. Sungguh, tanpa rasa syukur, tak akan ada kedamaian. Dan tanpa kedamaian, keluarga bukanlah tempat berkumpul yang nyaman… Ajar kami bersyukur, ya Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H