Mohon tunggu...
Tommy Hutomo
Tommy Hutomo Mohon Tunggu... Administrasi - Pekerja Lepas

pembaca kompas, tinggal di jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Candi Dasa : Antara Pura, Bukit dan Mr. Joonk

23 Oktober 2015   17:23 Diperbarui: 23 Oktober 2015   17:23 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Paparan Danau dan Laut dari puncak bukit"][/caption]Foto diatas telah tersimpan dan menjadi gambar layar depan di ponsel saya hampir selama satu tahun. Saya memfotonya dari ponsel murah, yang kini hampir tidak ada harganya, tepat setelah tercebur air dan berhasil dikeringkan. Entahlah, ada perasaan tenang dan rindu kembali kesana. Menaiki anak tangga curam mencapai atas bukit, bersama umat Hindu yang hendak sembayang, untuk sekedar memandang kejauhan. Sebuah kolam air tawar luas yang bersisihan dengan bibir pantai.

Tempat itu bernama Candi Dasa.

Tentu tidak setenar Pantai Kuta, Tanah Lot atau bahkan Ubud. Untuk mencapainya, jika anda berkunjung ke Bali dengan mendarat di Bandara Ngurah Rai, perlu menempuh perjalanan ke Kabupaten Karanasem. Dibutuhkan waktu sekitar 3 jam dengan menggunakan kendaraan pribadi. Daerah ini masih sepi, kering dan agak tandus. Tidak banyak turis asing dan domestik berlalu-lalang disini. Beberapa tempat menginap untuk backpacker tersedia disini, cukup murah jika anda bandingkan dengan daerah Kuta. Untuk anda yang melek gps lokasinya di 8°30'40"S   115°34'13"E.

Titik paling menarik dari daerah ini tentu pura diatas bukit, yang mungkin menyumang nama Candi Dasa. Sewaktu saya ke sana, pura ini dalam tahap renovasi besar. Hasil percakapan dengan penduduk sekitar, pura tersebut termasuk Pura Puseh. Pura adat desa setempat. Oke, karena hanya melihat alat berat yang sedang merapikan tanah, saya memutuskan menyeberang jalan. Menuju kola air tawar diseberang jalan, kata kerennya lagoon.

Kolam sedalam 2 meter itu banyak dihuni ikan mujahir. Iseng saya ngobrol dengan pemancing disitu. Ternyata bukan penduduk asli Bali, namun dari kota Pacitan di Jawa Timur. Pemancing yang sehari-hari sebagai supir truk itu sudah mendapatkan setengah ember kecil ikan mujahir dengan umpan lumut hijau.

Kuliah Hidup dari Mr. Joonk

Capek berbincang ala warung kopi, saya memutuskan menaiki tangga dan mencapai puncak bukit. Untung tangga yang saya pijak tidak terlalu curam. Cukup tinggi, hingga nafas ngos-ngosan. Namun semua terbayar dengan pemandangan indah dari punak bukit. Dari sini saya membayangkan bagaimana kolam tirta ganga yang kemarin saya hampiri berasal. Sebuah kolam air tawar dengan lokasi persis di tepi pantai.

Tidak terasa beberapa jam saya disini. Saya memutuskan turun.Tepat disamping anak tangga terakhir, disebelah sebuah warung saya menjumpai seorang bule berumur menatap ramah. Karena haus dan membutuhkan asupan kopi, saya memutuskan untuk menghampiri warung itu sekaligus menghampiri sang bule.

Percakapan kami menarik. Setelah bertukar nama dan lokasi tinggal, obrolan semakin cari.

"Aku kesini untuk mati" katanya dengan Bahasa Indonesia terpatah-patah. "Sudah banyak tempat aku hampiri, dan ribuan orang aku temui. Aku lelah." Aku terdiam menyimak kata-katanya.

"Aku menghabiskan umurku sebagai tentara, namun tidak berperang. Aku menyiapkan makanan dan pebekalan dikapal perang Kerajaan Belanda. Dari situ aku bertualang ke penjuru dunia."

"Kau bisa menyebutku seorang chef, berpengalaman mengolah makanan"

"Oh, ya aku suka nasi goreng. Apa itu di nasi goreng dengan daging kambing uhhh......sedap"

Aku menangkap maksudnya. Tentu nasi goreng dengan irisan daging kambing dan minyak samin di daerah kebon sirih yang dia maksud.

"Tidak punya siapa-siapa aku bertualang di pulau ini. Dulu aku tinggal di Ubud, namun semakin hari semakin ramai saja disitu. Berisik. Maka aku memustuskan untuk pergi."

"Sampailah aku disini. Tempat ini bagus untukku menghabiskan umur."

"Owww, haloo. Ini anjingku". Matanya berbinar sambil tangganya mengelus seekor anjing berbulu hitam yang menghampiri kami. Aku membuang muka. Tidak tega menatap yang ada didepanku. Seekor anjing kumal, dengan kudis disekujur badannya dan berbau menyengat seolah bahagia bertemu rekannya.

"Anjing ini hampir mati tertabrak mobil. Aku memberinya air dan makan, lalu dia sembuh. Dia tak akan mau dipanggil oleh orang selain aku" katanya sambil terus mengusap kepala anjing itu. Aku menunduk, perasaanku campur aduk. Entahlah.

"Sudah malam. Pulanglah. Basuh badanmu dan istirahat, kau tentunya lelah seharian menjelajah daerah ini" pungkasnya sambil tertatih-tatih bangkit dari kursi. Berjalan pelan ia kearah warung. Diikuti anjingnya.

Aku terdiam.

Pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun