Sambil tangan menyentuh dinding liang lahat, aku merapal doa, agar Allah SWT mengampuni dosa-dosanya, melipatgandakan pahala amalnya, melapangkan kuburnya dan menjauhkannya dari siksa kubur. Aku berbisik pada bumi, terimalah jasad adikku.
Suasana tiba-tiba terasa sunyi. Hiruk pikuk orang yang mengantar, sirna. Hanya aku, liang lahat, dan jenazah adikku. Waktu terasa membeku. Rasanya ingin selamanya.
“Pamit ya Bhim. Baik-baik ya di sana. Salam kagem Bapak,” bisikku sambil menepuk-nepuk jenazah, sebelum jenazah ditutup papan, dan kemudian tanah. Air mata menetes jatuh.…
Setelah makam ditutup rapih dengan tanah, dan nisan dipasang, orang-orang pun beranjak pergi. Aku memilih tinggal. Rasanya enggan pergi.
Ternyata tiga putra almarhum juga belum pulang. Mereka memeluk erat-erat, menangis dalam diam. Ayah mereka membesarkan mereka dengan baik, menyekolahkan di tempat yang baik, mengajar mengaji, dan menyalurkan hobi catur mereka menjadi prestasi.“Iya Pakde,” kata mereka lirih setelah aku ingatkan agar terus mengirim doa pada Ayah mereka, bersekolah dengan baik dan terus berprestasi. Di keheningan makam, isak tangis mereka yang lirih terasa menyayat.
Salah satu amanat almarhum yang harus segera ditunaikan adalah menyunat si bungsu. Sudah lama ia mau disunat, tapi dia mau menunggu libur dan menunggu Eyang serta Pakdenya hadir. Sekarang ia libur. Eyang dan Pakdenya hadir. Tapi Abhi (ayah)-nya mendahului berpulang ke Rahmatullah.
Bismillah ya Nak..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H