Studi kasus terkini di Indonesia yang berkaitan dengan politik sebagai dualitas kepentingan adalah kasus revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) tahun 2019. Revisi UU KPK ini dilakukan oleh DPR RI dengan alasan untuk meningkatkan kinerja, kewenangan, dan kemandirian KPK. Namun, revisi UU KPK ini menuai banyak kritik dan protes dari berbagai pihak, terutama dari masyarakat sipil, aktivis, akademisi, dan mahasiswa. Mereka berpendapat bahwa revisi UU KPK ini justru melemahkan, mengintervensi, dan mengkriminalisasi KPK. Mereka berpendapat bahwa revisi UU KPK ini bertentangan dengan kepentingan publik, yaitu pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan reformasi birokrasi. Mereka berpendapat bahwa revisi UU KPK ini menguntungkan kepentingan pribadi, yaitu kepentingan politik, ekonomi, dan kekuasaan dari para elit politik, pejabat, dan pengusaha yang terlibat dalam praktik korupsi. Mereka berpendapat bahwa revisi UU KPK ini merupakan bentuk dari politik transaksional, oportunis, dan pragmatis yang mengorbankan nilai-nilai demokrasi, moralitas, dan kesejahteraan rakyat.
Plato, Locke, dan Habermas mungkin akan memiliki pandangan yang berbeda tentang kasus revisi UU KPK ini. Plato mungkin akan berpendapat bahwa revisi UU KPK ini adalah contoh dari degenerasi politik, yaitu peralihan dari negara ideal yang dipimpin oleh filsuf menjadi negara tirani yang dipimpin oleh orang-orang yang haus kekuasaan. Plato mungkin akan berpendapat bahwa revisi UU KPK ini harus ditolak dan diganti dengan sistem politik yang berdasarkan pada kebajikan, pengetahuan, dan keadilan. Locke mungkin akan berpendapat bahwa revisi UU KPK ini adalah contoh dari pelanggaran hak alamiah, yaitu hak hidup, kebebasan, dan properti dari rakyat. Locke mungkin akan berpendapat bahwa revisi UU KPK ini harus ditentang dan diubah dengan sistem politik yang berdasarkan pada kontrak sosial, pemisahan kekuasaan, dan hak asasi manusia. Habermas mungkin akan berpendapat bahwa revisi UU KPK ini adalah contoh dari komunikasi tidak rasional, yaitu komunikasi yang didasarkan pada kekuasaan, manipulasi, dan emosi, bukan pada argumen, bukti, dan logika. Habermas mungkin akan berpendapat bahwa revisi UU KPK ini harus dikritisi dan direvisi dengan sistem politik yang berdasarkan pada tindak komunikatif, ruang publik, dan demokrasi deliberatif.
Demikian artikel yang dibuat tentang analisis politik sebagai dualitas kepentingan dengan tinjauan filsafat politik dari Plato hingga Habermas. Semoga artikel ini dapat memberikan wawasan dan inspirasi bagi pembaca. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H