Mohon tunggu...
Tomi Nugraha
Tomi Nugraha Mohon Tunggu... Guru -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memuliakan Wanita Melebihi Hukum Adat

25 Februari 2019   10:38 Diperbarui: 25 Februari 2019   14:57 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kehidupan perempuan dalam dua budaya yakni Minang dan Banten memiliki persamaan dalam melindungi wanita. Budaya Minangkabau sangat melindungi perempuan dan  menjungjung tinggi derajat wanita dengan budaya matrilinealnya. 

Begitu pula dengan budaya tabu perempuan Banten yang menunjukan bahwa adat sangat melindungi dan menjaga wanita. Perlindungan terhadap wanita merupakan bentuk kesadaran budaya Indonesia menyadari kelemahan wanita yang harus dilindungi oleh adat.

Adat merupakan  aturan yang  lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala.  Arti lain dari adat yakni cara atau kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan atau dapat  pula diartikan  sebagai  wujud gagasan kebudayaan yang  terdiri atas nilai-nilai budaya, norma hukum,  dan aturan  yang  satu dengan  lainnya  yang berkaitan menjadi suatu sistem. 

Pewarisan adat dari generasi ke generasi merupakan suatu hal yang mendasari bahwa aturan adat tidak akan pernah terputus bagai mata rantai yang terus terhubung dari masa ke masa sampai sekarang. Adat istiadat di Indonesia banyak sekali yang menunjukan kepeduliannya terhadap perempuan. Salah-satunya kebudayaan dari masayarakat Minangkabau dan Banten.

Perlindungan dan menjaga wanita agar bisa hidup dengan senang dan sejahtera telah mendeskripsikan bentuk kepedulian adat yang amat menjaga kehidupan wanita di dunia ini.

Budaya Matrilineal

Budaya Matrilineal bisa kita temui dari berbagai novel-novel asal Minang. Salah-satunya novel legendaris karya Buya HAMKA yakni Tenggealamanya Kapal Van Der Wijkc. Novel ini telah mendeskripsikan budaya matrilineal wanita Minang.  Novel ini berkisah tentang  perjalanan  hidup seorang  anak muda  bernama Zainuddin.  

Zainuddin  merupakan keturunan  Pandekar Sutan  dari  negeri Padang. Zainuddin  tidak dianggap  memiliki  darah keturunan Padang, melainkan berdarah Bugis Makassar,  tempat ia dilahirkan,  sebab  ayah Zainuddin  tidak  beristri dengan orang yang berasal  dari suku yang sama.  

Di negeri  Padang, Zainuddin  bertemu  dengan seorang gadis  Batipuh  yang bernama  Hayati.  Zainuddin dan Hayati  menjalin cinta,  namun cinta antara Zainuddin dan Hayati ditentang keras oleh keluarga Hayati yang merupakan  kepala adat  di  Batipuh, Keluarga  hayati tidak menyetujui  hubungan mereka sebab Zainuddin merupakan  seorang anak  pisang.  

Zainuddin tidak dapat  menikahi  Hayati lantaran  Hayati  keturunan bangsawan asli dari negeri Padang. Hayati dinikahkan oleh keluarganya dengan Azis dari Padang Panjang. Pernikahan  tersebut membuat  Zainuddin  kecewa dengan adat  yang tetap kokoh di desa Batipuh, yang tidak dapat mengkhendaki keinginan Zainuddin untuk beristri  Hayati. Zainuddin  pun  bertekad merubah hidupnya dan pergi merantau ke Batavia (Jakarta) dan ia menjadi orang sukses disana.

Dari  penggalan cerita di atas,  terlihat kekokohan budaya  Minangkabau  di desa  Batipuh  yang digambarkan  pengarang dalam novel Tenggelamnya Kapal  Van Der Wijck.  Budaya  Minangkabau adalah budaya  yang bersifat  keibuan  (matrilineal),  dengan harta dan  tanah  diwariskan dari  ibu  kepada anak perempuan,  sementara  urusan agama  dan  politik merupakan urusan kaum laki-laki  (walaupun setengah wanita turut memainkan peranan penting dalam bidang tersebut).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun