Indikasi tersebut juga menguat ketika kita membaca laporan “Preparatory Survey on Patimban Port Development Project in The Republic of Indonesia – final report”. Di dalam bab 2 di laporan tersebut, disebut bahwa sebagai salah satu alasan perlunya Pelabuhan Patimban adalah karena perusahaan-perusahaan otomotif Jepang telah banyak berinvestasi untuk mengembangkan kapasitas produksi:
In recent years, major Japanese automakers have invested several billions of Japanese Yen in new plant development to expand production capacity. New plants are constructed in Karawang and Purwakarta
Laporan tersebut juga memuat peta lokasi berbagai industrial estate di Jabodetabek dan Karawang, yang tampak dipenuhi dengan investasi Jepang.
Indonesia, bagi Jepang adalah partner penting dalam industri otomotif yang harus diamankan walau dengan harga yang mahal. Dalam percobaan dan peresmian pelabuhan pada November dan Desember kemarin, beberapa produsen mobil asal Jepang juga turut hadir. Ada pesan seolah-olah si pemilik pekerjaan ingin melihat hasil kerja anak-buahnya.
Maka kita jadi tak heran, jika Jepang jor-joran mengucurkan dana ke berbagai proyek di Tanah Air. Dalam kasus Patimban, Jepang malah hadir sejak awal pada kegiatan pra-studi kelayakan, studi kelayakan, hingga detail desain. Pelabuhan Patimban, yang hanya ‘beberapa langkah’ dari Bekasi dan Karawang, akan menjadi ‘halaman belakang’ bagi pabrik-pabrik otomotif Jepang. Harapannya jualan mobil dan motor pabrikan Negeri Sakura akan semakin mulus.
Masih terjajah
Negeri ini punya visi infrastruktur yang ambisius, terlebih sejak presiden baru terpilih pada 2014. Ongkos membangunnya tentu tidak murah, tidak semua bisa diambilkan dari kantong APBN. Pemerintah mesti memutar otak lebih keras. Jika ada yang menawarkan bantuan, maka itu jelas angin segar. Dalam kasus Pelabuhan Patimban, kedatangan dana dari asing pun langsung disambut dengan karpet merah. Pemerintah seolah tak peduli, apakah ‘makan siang’ tersebut akan lebih banyak untung atau buntung.
Dalam rangka mengongkosi pelabuhan Patimban, 79% dana disediakan oleh JICA dan sisanya ditambal oleh APBN. Dana dari JICA tersebut berupa pinjaman sangat lunak dengan bunga hanya 0,1% dengan tenor 40 tahun. Berkat pinjaman tersebut, keekonomian proyek Patimban pun terkerek drastis. Biaya modal tertimbang (weighted average capital cost/ WACC), dalam laporan “Preparatory Survey”, disebut ada di angka 1,68%. Sebuah angka yang istimewa bagi proyek infrastruktur[23]. Setelah kelayakan ekonominya dirasa jelas pada 2016 lalu, detail desain dan konstruksinya pun langsung tancap gas.
Dihitung-hitung, Jepang sebenarnya menikmati sederet servis plus plus dari sajian proyek Pelabuhan Patimban. Pertama, laba konstruksi yang dinikmati oleh kontraktornya memang tidak kecil. Itu pun tidak hanya konstruksi fasilitas pelabuhan saja, namun juga termasuk jalan akses pelabuhan. Jepang juga menikmati ‘bagi hasil’ dari bunga pinjaman.
Selain itu, campur tangan perusahaan Jepang dalam operasi pelabuhan juga pasti cuan yang tak kalah gurih. Keuntungan lainnya, manusia-manusia Jepang menikmati pembelajaran bermutu dengan terjun langsung dalam membuat studi kelayakan, detail design, hingga konstruksinya. Kemudian, yang paling penting, industri otomotif Jepang akan semakin tancap gas, semakin menguasai pangsa pasar Indonesia dan dunia.