Sederet proyek ambisius pemerintah juga kemudian dibantu oleh Pemerintah Jepang. Di Jabodetabek, jejak-jejak bantuan Jepang begitu solid, seperti pada proyek mass rapid transit (MRT), jalan layang, sistem anti banjir, dan jalan tol. Di Sumatera, sentuhan dana dari Jepang hadir di pembangunan sekitar 2100 km Jalan Lintas Utara dan Selatan[11].
Peran JICA juga melekat di dunia pendidikan Indonesia. Pengembangan kampus-kampus besar di Indonesia pada tahun 1990an adalah buah tangan JICA. Di ITB dan UGM, ada pembangunan gedung-gedung megah, taman indah, dan peralatan laboratorium yang juga bantuan dari JICA.
Dalam bidang sosial, JICA pernah hadir dalam program Keluarga Berencana di tahun 1960an. Besarnya bantuan tersebut membuat hubungan Indonesia-Jepang terus terbina.
Dalam laporan The Overseas Economic Cooperation Fund (OECF), Indonesia merupakan negara resipien ODA terbesar dari tahun 1966 hingga 1992. Di sisi lain, Jepang merupakan pemberi pendonor bilateral terbesar bagi Indonesia, mencapai 62% dari total pinjaman hingga 1991 (Wie, 1994)[12].
Bantuan-bantuan luar negeri tersebut tidak bisa dipandang dengan naif sebagai perilaku altruistik. Hasegawa (1975), sekubu dengan Nester (1992) and Carnoy (1974), berpendapat bahwa bantuan luar negeri cenderung digunakan untuk memperkuat kepentingan negara pemberi bantuan. Menurutnya, ada 5 macam kepentingan yang digandeng oleh ODA Jepang, yakni (dalam Bahri, 2010):
(1) to spur the process of Japanese reconstruction and economic growth; (2) to establish diplomatic relations between Japan and neighboring countries; (3) to maintain political, economic, and social systems, and stabilise policies that are beneficial to Japan in countries that receive Japanese aid; (4) to raise per capita income in Japan through the commercial flow back to Japan from foreign aid projects; and (5) to assert Japan’s influence and leadership in both regional and global communities[13]. (“nomor 5: untuk menekankan pengaruh dan kepemimpinan Jepang dalam kancah regional dan global”)
Hubungan Jepang-Indonesia, misalnya, tampak dalam urusan perdagangan. Jepang merupakan salah satu tujuan ekspor terbesar batubara Indonesia. Porsinya mencapai 30% dari total ekspor 500 juta ton per tahun[14]. Beragam komoditas penting dari Indonesia juga diekspor ke Jepang tiap tahunnya. Jepang menduduki urutan ketiga negara tujuan ekspor, dengan nilai 13,75 miliar dollar AS pada 2019[15].
Investasi Jepang boleh dibilang termasuk yang tertinggi di Indonesia. Negeri matahari terbit rutin menduduki posisi empat besar sebagai negara asal penanam modal di Republik ini. Hanya pada tahun-tahun belakangan, posisi Negeri Sakura tergeser oleh Negeri Tirai Bambu (Gambar 1).
Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) pada 2017, merek-merek Jepang menguasai 98% pasar mobil di Indonesia. Dari 1,079 juta penjualan mobil pada 2017, sebanyak 1,060 juta adalah merek Jepang[16]. Di Indonesia, 8 besar merek mobil terlaris adalah berlabel Jepang[17]. Untuk sepeda motor, data pada semester I 2018 misalnya, sepuluh besar penjualan didominasi model dan merek Jepang dengan total 1,41 juta unit[18].
Sejak awal, ide pembangunan pelabuhan Patimban adalah ide dari pemerintah Jepang [19]. Negeri Sakura tersebut berkepentingan untuk mendukung berbagai industri dari negerinya, terutama industri otomotif, yang banyak bermarkas di Bekasi dan Karawang (Gambar 2).