Mohon tunggu...
Muhammad Fatkhurrozi
Muhammad Fatkhurrozi Mohon Tunggu... Insinyur - fantashiru fil ardh

Pengamat politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cuma 'Mimpi' Khilafah

24 April 2017   20:44 Diperbarui: 25 April 2017   15:00 7173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara sederhana, perjuangan kelompok 1 adalah perjuangan untuk menarik sebanyak mungkin orang di kelompok selain 1 (terlebih kelompok 5 dan 4 yang saat ini begitu berkuasa) dengan merubah pola pikirnya dan kemudian dapat digolongkan menjadi kelompok 1 atau minimal kelompok 2. Perubahan pola pikir tersebut diusahakan dalam bentuk dakwah pemikiran berupa diskusi atau kontak. Di sinilah mengapa aktifitas kontak individu oleh pengemban ide dengan ‘mangsa’ dakwah mengambil peran sentral dalam perubahan kesadaran umum. Di tengah usaha tersebut nantinya (tidak semua individu di kelompok 5 dapat ‘dihijrahkan’), pada level tertentu, akan mencapai suatu titik dimana kesadaran umum tersebut bertemu sebuah persimpangan jalan. Masyarakat, dengan segenap kesadaran, akan sampai pada pilihan “mempertahankan sistem yang ada” atau “mengambil sistem yang baru”.

Kecenderungan tersebut makin hari makin kentara. Hal ini bisa dirasakan, bahwa iklim ke-syari’ah-an semakin hari semakin mengental di masyarakat kita. Temuan Wahid Institute –terlepas motif politik di belakangnya- pada pertengahan Februari 2017, didapat bahwa 60 persen responden pelajar rohis setuju berjihad di wilayah konflik. Sedangkan 37 persen sangat setuju dan 41 persen responden setuju seharusnya umat Islam bergabung dalam satu kesatuan kekhalifahan. Survei Pew Research pada 2011 mengungkap bahwa 72% persen Muslim Indonesia mendukung hukum Islam sebagai hukum resmi negara ini. Di perguruan tinggi, ITB misalnya, survei pada penghujung 2014 didapat bahwa hanya 6% yang tidak setuju khilafah.

Time will tell

Jika kita mau sedikit belajar sejarah, sebenarnya pergiliran kekuasaan bahkan pergantian corak suatu masyarakat adalah sebuah kemestian yang tidak terhindarkan. Kerajaan Prancis habis akibat revolusi pada 1789. Kekaisaran Tsar di Rusia pernah benar-benar tumbang lalu berganti menjadi negara komunis Soviet pada 1917. Hindia Belanda pun berrevolusi menjadi Indonesia pada 1945 (yang baru diakui oleh Kerajaan Belanda pada 1949). Dan masih banyak contoh lainnya.

Manusia selalu mencari jalan untuk tegaknya keadilan menurut apa yang relevan pada saat itu. Artinya, sistem apa yang diterapkan dalam suatu masyarakat itu adalah hasil situasi politik. Jika situasi politik memungkinkan, maka tidak hanya pergantian orang saja, bahkan pergantian sistem pun dianggap relevan.

Dulu, ketika era 1910an, mungkin tidak terpikir oleh HOS Cokroaminoto bahwa ide “zelfbestuur” (kedaulatan sendiri) akan menginspirasi pemuda-pemuda untuk berjuang melepaskan diri dari Pemerintahan Belanda. Ide untuk merdeka terus bergulir dengan berdirinya berbagai wadah perjuangan pemuda yang melahirkan sosok-sosok seperti Soekarno, M. Hatta, M. Natsir, dan sebagainya. Perjuangan itu pun kemudian menemukan momennya pada 1945. Pertanyaannya, apakah generasi Cokroaminoto telah memprediksi bahwa ide perjuangannya akan membawa perubahan besar bagi bumi Nusantara di 30 tahun ke depan?

Untuk memprediksi kemungkinan suatu tantanan masyarakat yang benar-benar baru akan lahir tidak bisa digunakan asumsi-asumsi yang terjadi pada zamannya. Harus digunakan suatu predictive modelling yang dapat menjadi landasan asumsi untuk memperkirakan kondisi di masa depan. Jika hari ini para pejuang khilafah itu belum didukung –bahkan sekedar didengar- oleh para pembesar-pembesar ummat, namun tidak bisa dikatakan bahwa kondisi tersebut akan terus berlangsung dan khilafah tidak mungkin tegak. Namun jika kita melihat trennya (walau perkembangannya amat lambat) bukan tidak mungkin bahwa para pembesar-pembesar ummat itu suatu saat akan condong pada ide khilafah.

Jika mau sedikit kritis, pembesar-pembesar ummat yang duduk di berbagai posisi penting hari ini –yang masih cenderung pada kelompok 4 dan 5- itu adalah para penikmat bangku kuliah di tahun 70an-80an. Itu adalah zaman dimana “dakwah Islam transnasional” belum ditemui di kampus-kampus. Mereka adalah hasil didikan rezim yang cenderung represif terhadap Islam saat itu. Namun kondisinya jauh berbeda bila membandingkan mereka dengan intelektual muda yang hari ini mulai berderap menduduki posisi-posisi penting di negeri ini. Saat ini misalnya, kita merasakan bahwa kehadiran dosen-dosen muda di kampus-kampus negeri maupun swasta, memang lebih relijius. Mereka adalah produk kampus era 90an hingga 2000an yang mana dakwah kampus sudah mulai terbuka dengan berbagai macam ide-ide Islam revivalis. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang termasuk diantara para pejuang khilafah. Maka melihat kondisi 10 hingga 20 tahun ke depan, bukan tidak mungkin jika para pembesar-pembesar di negeri ini adalah mereka-mereka yang pernah hadir di suatu forum yang berbicara soal khilafah.

---

Wapres Jusuf Kalla, pada pertengahan Agustus 2016, mengungkapkan bahwa nilai-nilai yang terkandung UUD 1945 bukan sesuatu yang sakral. Ia mengatakan, sejak Indonesia berdiri hingga saat ini, setidaknya pemerintah telah menjalankan tujuh UUD. Perubahan tersebut, kata dia, juga berimplikasi terhadap perubahan sistem kenegaraan. Perubahan itu mulai dari sistem negara kesatuan dengan presidensil, federal, parlementer liberal, dan kembali lagi ke presidensil. "Ini juga menandakan bahwa bangsa ini sangat dinamis. Sama dengan bangsa-bangsa lain bahwa UUD dibuat sesuai kebutuhan pada saat itu," kata Kalla.

Dengan merenungi fakta-fakta serta kata-kata pak wapres di atas, akan kita dapati bahwa sebenarnya perubahan suatu negara menjadi bentuk yang sama sekali baru adalah sesuatu yang lumrah. Jika suatu saat masyarakat menilai bahwa khilafah adalah ide yang relevan dan dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan bangsa yang terlampau rumit, maka kehadirannya bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun