Mohon tunggu...
Muhammad Fatkhurrozi
Muhammad Fatkhurrozi Mohon Tunggu... Insinyur - fantashiru fil ardh

Pengamat politik

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Hizbut Tahrir Menolak Pemimpin Kafir; Siapa yang Diusung?

28 Agustus 2016   21:36 Diperbarui: 28 Agustus 2016   21:59 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hizbut Tahrir Indonesia, sebuah gerakan politik ekstra-parlemen (yang merupakan representasi dari Hizbut Tahrir internasional), punya sikap tegas terhadap situasi politik jelang Pilkada Jakarta 2017. Mereka menyerukan untuk menolak pemimpin kafir dalam kontes pemilihan gubernur DKI 5 tahunan itu. Siapa pemimpin kafir yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Ahok.

Sikap tersebut tentu sudah bisa ditebak, mengingat identitasnya sebagai sebuah gerakan politik Islamis revivalis yang juga fundamentalis. Tapi di sini kita tidak berbicara panjang lebar mengenai halal-haramnya pemimpin kafir dalam pandangan Islam –karena memang tidak ada ruang diskusi di sini (yakni jelas-jelas haram <- pake bold biar greget :D). Kita juga tidak berbicara bagaimana peta kekuatan politik menjelang Pilkada DKI 2017 (karena memang penulis bukan ahli di bidang itu :D). Di ruang kompasiana yang terbatas ini akan dipaparkan sebuah analisis terhadap sikap HTI yang bisa dibilang selalu butuh kecermatan khusus. Yang jelas, analisis ini tidak mewakili sikap HTI apalagi HTs –Hary Tanoesudibjo-, hehe.  

Pertama-tama sekali, perlu diluruskan bahwa HTI sebagai gerakan yang “takfiri-demokrasi” memang tidak mengharamkan Pemilu, Pilkada, dan pesta coblosan lainnya. Mereka menganggap itu semua adalah mubah(boleh), karena memang sifatnya sebagai cara/ uslub belaka untuk memilih pemimpin. Yang mereka tolak adalah aktifitasnya setelah terpilih dari pesta coblosan tadi. Bila seorang legislatif berhasil duduk di parlemen, maka aktifitas melegislasi hukum di parlemen lah yang “diharamkan” oleh kawan-kawan HTI. Karena faktanya, aktifitas legislasi di parlemen dilakukan dengan landasan akal manusia –walau berlabel “wakil rakyat”- dan mencampakkan sumber-sumber hukum Islam (Qur’an dan Sunnah). Itulah inti dari ajaran demokrasi. HTI memang tidak pernah memobilisasi kader-kadernya untuk golput apalagi memasang spanduk “menerima serangan fajar”, hehe. Sikap HTI –juga HT- selama ini jelas, mereka hanya menyarankan anggota-anggotanya untuk cermat dalam mencoblos, yakni coblos yang memperjuangkan kepentingan Islam.

Tapi sikap tersebut sering dinilai tidak masuk akal oleh beberapa orang, terutama oleh kelompok Islam-parlemen, mengingat HTI selama ini tidak pernah mengusung dan menyokong calon muslim dari kubu muslim. HTI bahkan sangat keras kritiknya terhadap parpol Islam parlemen bahwa yang mereka perjuangkan adalah sesuatu yang jauh dari jalan kebangkitan Islam (referensi yang cukup bagus bisa klik ini). Dalam konteks Pilkada DKI, bagaimana bisa, menolak pemimpin kafir tetapi tidak mengusung 1 calon muslim yang nantinya diharapkan mengalahkan Ahok?

Menurut penulis, begini, masalah ini harus kita dudukkan dengan melihat kembali bagaimana metode HTI untuk mewujudkan cita-cita kebangkitan Islam. Yang jelas, HTI –juga HT- mengambil jalan sesuai yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Jalan itu adalah jalan yang jauh dari “nikmatnya demokrasi”. Jalan tersebut sarat dengan kerja-kerja serius menyadarkan ummat mengenai pentingnya penerapan ber-Islam secara kaffah.

Dalam konteks Pilkada DKI –juga Pemilu dan Pilkada lainnya-, HTI percaya, bahwa menaikkan calon untuk memenangi Pilkada tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas. Terpilihnya pemimpin yang soleh di tengah “sistem yang tidak soleh” tidak akan membawa banyak perubahan yang islami di masyarakat. Kita melihat, di beberapa daerah yang walikota/ gubernurnya dari partai Islam pun tidak lantas membuat daerah itu jadi mudah untuk diterapkan sekedar Perda Syariah (penulis tidak berekspektekasi untuk syariah secara total). Bahkan, pada ekstensi yang lebih luas, kemenangan kubu muslim di pesta demokrasi seringkali dianulir oleh kamar kekuasaan yang lebih tinggi. Kasus partai Refah di Turki (1997), juga FIS di Aljazair (1991), termasuk Mursi di Mesir (2013) harusnya sudah cukup menjadi pelajaran, bahwa perubahan Islam bukanlah diperjuangkan dengan cara-cara instan ala pesta coblosan.

Naiknya pemimpin (eksekutif) dari hasil Pemilu/ Pilkada juga ternyata menyisakan persoalan serius, yakni soal sistem apa yang digunakan nanti setelah terpilih. Di tengah tatanan masyarakat yang belum islami seperti sekarang ini, jelas tidak ada ruang bagi pemimpin islami –yang bahkan seorang hafidz sekalipun- untuk bisa memaksakan agenda islaminya di tengah-tengah masyarakat.

Sejatinya, yang dicoba diketengahkan oleh kawan-kawan HTI adalah sebuah jalan perjuangan yang memang sesuai dengan level perubahan yang diinginkan. Bila ingin mengganti sistem, maka jalan yang pantas ditempuh adalah usaha penyadaran masyarakat melalui dakwah ideologis. Penyadaran dilakukan baik ke level akar rumput maupun ke level elit. Kerja ini akan terus berlangsung baik saat musim Pilkada atau tidak. Dan kita melihat, tren opini masyarakat ke arah Islam dari hari ke hari semakin positif. Artinya, penyadaran yang selama ini dilakukan tidak mengenal “kurva turun” seperti perjuangan jalur Pemilu (yang perolehan suaranya boleh tinggi dan kadang boleh turun). Perjuangan ekstra-parlemen tersebut hanya mengenal “perlambatan” atau “percepatan”.

Dulu Rasul berdakwah di Makkah selama 13 tahun hanya berhasil merekrut sekitar 100 orang. Namun beliau tidak menyerah. Berbagai suku dan kabilah di jazirah beliau datangi untuk didakwahi. Sejarah kemudian akhirnya mencatat bahwa Madinah sebagai tempat peradaban Islam pertama yang didalamnya diterapkan suatu tatanan Islam dengan Rasul sebagai pemimpin. Dakwah di Madinah yang dilakukan sekitar setahun itu memang mengganti tatanan masyarakat lama menjadi tatanan yang benar-benar baru melalui penyadaran elit dan akar rumput.

Trying to sum up, sikap HTI dalam Pilkada DKI ini memang di satu sisi tidak ingin dimenangi oleh pemimpin kafir, namun perjuangannya bukanlah perjuangan “asal bukan si itu”, melainkan perjuangan penyadaran untuk mengganti tatanan masyarakat yang ada. Bukan perjuangan “bagaimana memenangkan kontesnya”, tapi bagaimana agar kontes serupa tidak diikuti oleh orang-orang yang jelas bermasalah.

Sehingga soal siapa yang diusung HTI dalam Pilkada DKI ini memang masih misterus (penulis mohon maaf belum bisa memberikan jawaban :D). Tapi, yang terpenting bukan tentang siapa calon yang diusung, tapi tentang sudah tepatkah jalur perubahan yang ditempuh. Apakah kita turut serta mengokohkan sistem yang memberi potensi kafir berkuasa ini, ataukah kita menjadi bagian dari orang-orang yang berusaha mengakhirinya. Wallahua’lam. []

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun