Mohon tunggu...
Agustinus Sipayung
Agustinus Sipayung Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang konsultan di bidang pertanian

Blog ini saya khususnya untuk menceritakan orang-orang yang sangat menginspirasi saya oleh karena perannya terhadap masyarakat dan kemajuan bangsa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ketika Presiden Jokowi "Hampir Kalah" karena Perkebunan

3 Mei 2019   07:12 Diperbarui: 5 Mei 2019   08:54 1371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Hasil perhitungan cepat dari sejumlah lembaga menunjukkan jika pasangan  Jokowi Ma'ruf meraih kemenangan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Namun berdasarkan hasil quick count yang sama kita bisa saksikan penurunan suara dan kekalahan pasangan tersebut di sejumlah provinsi. Menurut hemat saya ini perlu menjadi bahan evaluasi yang bisa jadi cerminan kebijakan pemerintah yang tidak efektif. 

Lazimnya inkumben dengan berbagai program yang sudah dijalan seharusnya bisa memenangkan suara dalam angka yang signifikan. Seperti halnya Presiden SBY yang bisa meraih suara hingga 60,8 % pada pemilu 2009.  Menariknya, kantung-kantung kemenangan Presiden Jokowi Widodo pada tahun 2014 seperti  Sumatera Selatan,  Riau, Sulawesi  Selatan dan Sulawesi Tenggara saat ini berbalik memenangkan pasangan Prabowo.

Tentu banyak hal yang membuat pasangan  Jokowi Ma'ruf  gagal meraih  kemenangan di Provinsi tersebut. Namun tidak bisa kita pungkiri beberapa wilayah tersebut merupakan sentra perkebunan, sub sektor pertanian penghasil devisa terbesar untuk Indonesia saat ini yang juga berjasa menyediakan lapangan pekerjaan bagi puluhan juta rakyat Indonesia.  Sebut saja Riau yang identik dengan kelapa sawit. Sumatera Selatan dengan karetnya. Lalu Aceh dengan kopinya.  Sementara di Kalimantan, Kalimantan Selatan merupakan sentra karet, pasangan Jokowi Mah'ruf mengalami kekalahan di provinsi ini. Demikian juga di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang dikenal dengan sentra kakao dan kelapa.

Jika Anda menyimak diskusi berbagai grup perkebunan di media sosial, para petani cenderung menyerang dan mengkritik pemerintah. Salah satu pemicunya adalah anjloknya harga sejumlah komoditas perkebunan. Harga kelapa, kelapa sawit, karet, lada dan  sejumlah komoditas lainnya mengalami penurunan. Tentu pemerintah bisa berdalih itu dampak pasar global. 

Namun jatuhnya harga lokal sesungguhnya hanya nenjadi pemicu. Reaksi negatif masyarakat terhadap pemerintah jauh berakar dari dari persepsi bahwa kabinet yang dipimpin Presiden Jokowi mengabaikan perkebunan. Bagaimana tidak? Pernah suatu ketika APBN Kementan untuk perkebunan hanya Rp. 500 Milyar se Indonesia untuk penanganan berbagai komoditas.  Pemerintah berarguman ingin fokus pada padi, jagung dan kedelai (pajale) dulu lalu mengurusi yang lain termasuk perkebunan. Statement ini berhembus jauh hingga ke masyarakat. Sehingga kemudian di kalangan planter muncul candaan bahwa Kementerian yang mengurusi pertanian telah berubah Kementerian Pajale. 

Nah persepsi negatif di atas semakin diperkuat dengan kenyataan banyak Dinas-Dinas perkebunan yang dihilangkan atau dengan bahasa yang agak lunak dileburkan. Sehingga tidak perlu heran jika Provinsi pemilik perkebunan kelapa sawit terluas seperti Riau tidak memiliki Dinas Perkebunan yang berdiri sendiri.  Minimnya anggaran yang masuk ke Dinas Perkebunan, yang memang dikondisikan demikian, membuat para penguasa daerah menilai jika sub sektor perkebunan tidak penting, meskipun nyata-nyatanya perkebunan menjadi fondasi ekonomi bagi masyarakatnya.  Lalu tenaga penyuluh perkebunan juga sama minimnya dengan anggaran untuk sub sektor perkebunan.  

Lalu untuk kelapa sawit, pasca diskusi yang alot secara internal, pemerintah sepakat mengalokasikan dana untuk mereplanting kelapa sawit dengan luasan signifikan sejak 2017 yakni 20 ribu ha, naik secara drastis hingga 185 ribu ha pada tahun 2018 dan puncaknya tahun ini dialokasikan dana untuk mereplanting hingga 200 ribu ha.  Namun lagi-lagi petani merasa pemerintah hanya memberikan harapan indah. Pasalnya mendapatkan dana ini tidak mudah. Terlalu banyak lembaga yang menangani proyek ini  dan prosesnya berbelit-belit.  Sehingga lagi-lagi, muncul anggapan dari kutipan ekspor CPO ini sesungguhnya lebih dinikmati  produsen biodiesel dari pada petani. 

Perubahan Paradigma

Saya bisa pastikan pemerintahan Presiden Jokowi sangat perduli dengan perkebunan dan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Mengingat kontribusi sub sektor ini terhadap perekonomi nasional. Hanya dalam implementasinya, kebijakan yang diambil membuat masyarakat menafsirkan sebaliknya. 

Barangkali inilah saatnya mengevaluasi pola kebijakan di periode sebelumnya. Pengembangan dan pembinaan perkebunan harus berjalan secara berkesinambungan dan harus ada keadilan dalam pembinaan komoditas. Kebijakan yang hanya menjadikan penanganan perkebunan menunggu masalah pangan selesai adalah paradigm yang tidak tepat. Kementerian Pertanian harus menjadi Kementerian semua komoditas unggulan.

Lalu pertanyaannya bagaimana soal keterbatasan anggaran. Kan mustahil semua komoditas dapat ditangani dengan baik? Kembali lagi soal mindset. Menangani perkebunan berbeda dengan pangan.  Perkebunan berorientasi pasar global yang harganya dapat saja selangit. Sementara komoditas pangan pemerintah harus berjibaku menjaga harga untuk tetap stabil ketika biaya produksi meningkat. Tanpa adanya subsidi pemerintah dan bantuan yang masif maka pengembangan tanaman pangan tidak menggairahkan.

Menangani perkebunan mungkin tidak membutuhkan anggaran sebesar pangan. Namun juga tidak dengan angka yang minimalis seperti beberapa tahun belakangan ini. Pasalnya spirit pengelolaan perkebunan hanyalah bersifat stimulasi dan membutuhkan model pengembangan yang efektif. Seperti halnya kelapa sawit. Sejak era reformasi perkebunan rakyat tumbuh hingga jutaan ha dalam 2 dekade dengan sedikit bantuan pemerintah, karena pola dan sistem yang dibangun memberikan insentif bagi masyarakat mengembangkan perkebunan. Kondisi perkebunan yang kita banggakan saat ini tidak lepas dari berbagai pola yang dikembangkan puluhan tahun lalu seperti pola UPP, PIR BUN, KIMBUN dsbnya. Sejak dulu kecerdasan para pengambil kebijakan di bidang perkebunan diukur bukan dari banyaknya anggaran yang digelontorkan namun dari pola yang dikembangkan dan berhasil. 

Menariknya, terkait sumber pendanaan, Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan telah mengamanatkan tentang penghimpunan dana yang dapat dikembalikan kepada pengembangan komoditas. Sehingga pendanaan seharusnya bukan masalah.  Namun butuh kemauan pemerintah untuk mengimplementasikan hal tersebut.  

Jadi membangun perkebunan sesungguhnya hanya membutuhkan sedikit keperdulian dari pemerintah  dengan perspektif jika perkebunan itu penting. Sementara yang terjadi saat ini perhatian pemerintah hanya fokus pada pangan, sementara anggaran minim yang tersedia untuk sub sektor perkebunan disalurkan begitu saja dengan sekedar membagikan sarana pupuk, bibit tanpa dan menjadikan pemerintah muncul sebagai Megaloman. Jelas pendekatan ini kurang tepat dalam menangani perkebunan. Pembangunan perkebunan tidak bisa berlangsung secara instan dan membutuhkan upaya penguatan melalui strategi 1) Pengembangan kemitraan, 2) Pengembangan kawasan dan 3) Pengembangan kelembagaan petani

Namun kembali lagi berinvestasi pada aspek ini mungkin tidak bernilai secara politis karena terlihat tidak segera. Butuh waktu merasakan efeknya mungkin setelah rezim berlalu. Cilakanya  dengan dana terbatas lalu pemerintah memilih untuk fokus pada beberapa komoditas. Sebut saja 7 komoditas, kopi, kakao, pala, lada, cengkeh dan kelapa. Lalu bagaimana dengan teh, nilam, vanili dsbnya? Padahal komoditas tersebut juga memiliki potensi meningkatkan devisa negara jika ditangani dengan baik. Jadi menurut saya, fokus pada beberapa komoditas biar hasilnya "nendang", adalah paradigm yang keliru. 

Ketika kita hanya fokus pada beberapa komoditas dalam konteks bagi-bagi bantuan, saya bisa pastikan tidak akan membawa kita pada hasil apa-apa. Namun saat ketika kita lalai memperhatikan beberapa komoditas semacam atsiri, mente, teh dengan dalih tidak prioritas, maka dalam 3 sampai dengan 5 tahun berikutnya komoditas tersebut sudah terlanjur porak poranda, ketika pemerintah baru mulai memberikan memperhatikan.

Membangun perkebunan bukan layaknya tukang reparasi. Menyelesaikan satu masalah lalu berpindah kepada yang lain. Seorang yang menangani perkebunan harus mampu  ber-aksi bak seorang composer. Ia harus memastikan semua alat musik mengeluarkan suara terbaik secara harmoni. 

Ketika pemerintah abai pada sub sektor perkebunan, atau menyisihkan sedikit energi untuk  menangani perkebunan, dan memilih pendekatan grasak-grusuk dalam mengembangkan perkebunan, maka dampaknya serius. Resiko terburuknya goncangan fondasi ekonomi. Pangan adalah komoditas politis. Namun perkebunan adalah komoditas ekonomi. Mengurusi pangan dengan serius membuat masyarakat bisa membeli kebutuhan pokok, namun mengurus perkebunan dengan baik akan membuat masyarakat punya uang untuk membeli makanan. 

Selain itu ada alasan lain mengapa perkebunan harus ditangani dengan serius. Ingat perkebunan merupakan arena pertarungan kekuatan ekonomi global. Ketika berpikir secara sederhana dalam menanganinya maka kekuatan besar itu akan menghancurkan dan menguasai aset kita yang berharga ini.  Jadi ketika Anda dengan naif menyatakan bisa menyelesaikan masalah perkebunan dengan mudah, saat Anda belum memahami kompleksitasnya, maka itu diibaratkan orang bodoh yang melajukan kendaraannya dengan cepat di medan yang tidak ia kenali dan dianggap jalanan lurus dan mulus.

Jadi kembali lagi, kekalahan pasangan Jokowi Ma'ruf di sejumlah Provinsi sentra perkebunan seharusnya menjadi catatan dalam perbaikan kebijakan terkait sub perkebunan.  Perkebunan harus menjadi prioritas.  Pemerintah harus hadir melalui kebijakan yang oleh para pelaku perkebunan merupakan bentuk keberpihakan. Di sisi lain pemerintah harus hindari penyusunan kebijakan yang sembrono, sekedar cepat dan cepat. Namun akhirnya menabrak tembok dan tidak sampai pada sasaran.

Penulis: Ir. Alfred Sipayung, pengamat perkebunan 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun