Menangani perkebunan mungkin tidak membutuhkan anggaran sebesar pangan. Namun juga tidak dengan angka yang minimalis seperti beberapa tahun belakangan ini. Pasalnya spirit pengelolaan perkebunan hanyalah bersifat stimulasi dan membutuhkan model pengembangan yang efektif. Seperti halnya kelapa sawit. Sejak era reformasi perkebunan rakyat tumbuh hingga jutaan ha dalam 2 dekade dengan sedikit bantuan pemerintah, karena pola dan sistem yang dibangun memberikan insentif bagi masyarakat mengembangkan perkebunan. Kondisi perkebunan yang kita banggakan saat ini tidak lepas dari berbagai pola yang dikembangkan puluhan tahun lalu seperti pola UPP, PIR BUN, KIMBUN dsbnya. Sejak dulu kecerdasan para pengambil kebijakan di bidang perkebunan diukur bukan dari banyaknya anggaran yang digelontorkan namun dari pola yang dikembangkan dan berhasil.Â
Menariknya, terkait sumber pendanaan, Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan telah mengamanatkan tentang penghimpunan dana yang dapat dikembalikan kepada pengembangan komoditas. Sehingga pendanaan seharusnya bukan masalah. Â Namun butuh kemauan pemerintah untuk mengimplementasikan hal tersebut. Â
Jadi membangun perkebunan sesungguhnya hanya membutuhkan sedikit keperdulian dari pemerintah  dengan perspektif jika perkebunan itu penting. Sementara yang terjadi saat ini perhatian pemerintah hanya fokus pada pangan, sementara anggaran minim yang tersedia untuk sub sektor perkebunan disalurkan begitu saja dengan sekedar membagikan sarana pupuk, bibit tanpa dan menjadikan pemerintah muncul sebagai Megaloman. Jelas pendekatan ini kurang tepat dalam menangani perkebunan. Pembangunan perkebunan tidak bisa berlangsung secara instan dan membutuhkan upaya penguatan melalui strategi 1) Pengembangan kemitraan, 2) Pengembangan kawasan dan 3) Pengembangan kelembagaan petani
Namun kembali lagi berinvestasi pada aspek ini mungkin tidak bernilai secara politis karena terlihat tidak segera. Butuh waktu merasakan efeknya mungkin setelah rezim berlalu. Cilakanya  dengan dana terbatas lalu pemerintah memilih untuk fokus pada beberapa komoditas. Sebut saja 7 komoditas, kopi, kakao, pala, lada, cengkeh dan kelapa. Lalu bagaimana dengan teh, nilam, vanili dsbnya? Padahal komoditas tersebut juga memiliki potensi meningkatkan devisa negara jika ditangani dengan baik. Jadi menurut saya, fokus pada beberapa komoditas biar hasilnya "nendang", adalah paradigm yang keliru.Â
Ketika kita hanya fokus pada beberapa komoditas dalam konteks bagi-bagi bantuan, saya bisa pastikan tidak akan membawa kita pada hasil apa-apa. Namun saat ketika kita lalai memperhatikan beberapa komoditas semacam atsiri, mente, teh dengan dalih tidak prioritas, maka dalam 3 sampai dengan 5 tahun berikutnya komoditas tersebut sudah terlanjur porak poranda, ketika pemerintah baru mulai memberikan memperhatikan.
Membangun perkebunan bukan layaknya tukang reparasi. Menyelesaikan satu masalah lalu berpindah kepada yang lain. Seorang yang menangani perkebunan harus mampu  ber-aksi bak seorang composer. Ia harus memastikan semua alat musik mengeluarkan suara terbaik secara harmoni.Â
Ketika pemerintah abai pada sub sektor perkebunan, atau menyisihkan sedikit energi untuk  menangani perkebunan, dan memilih pendekatan grasak-grusuk dalam mengembangkan perkebunan, maka dampaknya serius. Resiko terburuknya goncangan fondasi ekonomi. Pangan adalah komoditas politis. Namun perkebunan adalah komoditas ekonomi. Mengurusi pangan dengan serius membuat masyarakat bisa membeli kebutuhan pokok, namun mengurus perkebunan dengan baik akan membuat masyarakat punya uang untuk membeli makanan.Â
Selain itu ada alasan lain mengapa perkebunan harus ditangani dengan serius. Ingat perkebunan merupakan arena pertarungan kekuatan ekonomi global. Ketika berpikir secara sederhana dalam menanganinya maka kekuatan besar itu akan menghancurkan dan menguasai aset kita yang berharga ini. Â Jadi ketika Anda dengan naif menyatakan bisa menyelesaikan masalah perkebunan dengan mudah, saat Anda belum memahami kompleksitasnya, maka itu diibaratkan orang bodoh yang melajukan kendaraannya dengan cepat di medan yang tidak ia kenali dan dianggap jalanan lurus dan mulus.
Jadi kembali lagi, kekalahan pasangan Jokowi Ma'ruf di sejumlah Provinsi sentra perkebunan seharusnya menjadi catatan dalam perbaikan kebijakan terkait sub perkebunan. Â Perkebunan harus menjadi prioritas. Â Pemerintah harus hadir melalui kebijakan yang oleh para pelaku perkebunan merupakan bentuk keberpihakan. Di sisi lain pemerintah harus hindari penyusunan kebijakan yang sembrono, sekedar cepat dan cepat. Namun akhirnya menabrak tembok dan tidak sampai pada sasaran.
Penulis: Ir. Alfred Sipayung, pengamat perkebunanÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H