Mohon tunggu...
Agustinus Sipayung
Agustinus Sipayung Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang konsultan di bidang pertanian

Blog ini saya khususnya untuk menceritakan orang-orang yang sangat menginspirasi saya oleh karena perannya terhadap masyarakat dan kemajuan bangsa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mari Belajar Kehidupan dari Dunia Malam

11 Februari 2018   06:27 Diperbarui: 11 Februari 2018   20:17 7939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu kali sahabat saya membawa saya ke dunia malam, tepatnya sebuah pub dan karaoke, dengan maksud "membaptis" saya seperti mereka. Ya, karena apa yang akan mereka tawarkan sorga dunia. Ada wanita cantik yang siap mendampingi saya bernyanyi yang bebas saya "apa-apakan". Minuman minuman beralkohol yang siap saya hirup dan memberikan sensasi yang luar biasa. Belum lagi puluhan lagu yang siap saya nyanyikan dan menstimulasi otak saya melepaskan kimia otak yang menghadirkan kebahagiaan.

Mungkin saya hampir saya ditahbis menjadi "anggota klub malam" malam itu ketika tangan saya mulai merangkul bahu seorang gadis cantik yang mungil. Wajahnya yang sangat menggoda hampir memaksa saja menempelkan hidung saya di pipinya, serta menempelkan bagian tubuh lainnya ke tubuhnya. Beruntung malam itu saya "tidak berubah" seperti apa yang mereka inginkan.

Tapi pengalaman itu sedikit memberikan pengalaman sangat berkesan. Penasaran, "kebayang-kebayang", dsb. Hal yang mendorong saya mengunjungi tempat itu lagi dan lagi. Sehingga tanpa terasa saya akhirnya menjadi salah satu pengunjung setia di tempat hiburan ternama di Surabaya tersebut. Saya menjadi salah satu pengunjung favorit karena saya tidak suka minum-minuman keras seperti Long Island atau Whisky. Hanya sebatas bir dan teh manis. Saya hanya menghisap beberapa batang rokok. Tapi pengalaman yang paling memabokkan ketika saya dapat duduk berdampingan dengan sejumlah wanita yang pasti mereka cantik-cantik.

Hanya saja hati saya terlalu lemah untuk menjadi seorang "pemain perempuan". Setiap kali saya berdampingan dengan seorang gadis berpakaian seksi dan berwajah menarik tidak serta merta darah kelaki-lakian saya mendesir. Saya kadang berlaku sebagai seorang saint yang kemudian bertanya kepada mereka, mengapa dan kapan kamu bekerja di sini?

Lalu terjadilah komunikasi. Terbangunlah relasi yang sangat manusiawi. Antara dua orang yang memiliki horison kesadaran. Setiap kali saya berbicara dengan perempuan di sebelah saya, seolah saya mendapatkan pengetahuan baru tentang hidup. Tepatnya sisi lain dari kehidupan saya.

Seorang perempuan bernama sebuat saja Meta, mengatakan bahwa ia sudah 3 tahun bekerja di dunia malam. Ia mengaku bahwa ayahnya mengetahui bahwa ia bekerja di sana. Saya kaget. Ini jelas dunia yang tidak saya kenal. Lalu bagaimana bisa?

"Iya, om, karena mami (germo) saya adalah teman ayah saya," katanya dengan polos.

Banyak dari gadis yang menceritakan kisah hidupnya membuat saya harus memutar logika saya. Karena ada yang dari mereka yang kedua orang tuanya merestui, bahkan ada salah satu gadis yang mengatakan jika ibunya lah yang mencuci pakaian seksinya yang kadang terdapat bercak-bercak yang tidak seharusnya.

Apakah mereka melakukan itu semata-mata dengan alasan ekonomi? Menurut pengamatan saya tidak. Makanya saya katakan saya harus memutar otak saya untuk memahami mereka. Ada dari mereka yang menurut saya bisa bekerja lebih baik meskipun penghasilan lebih sedikit, namun risiko pekerjaan yang lebih rendah.

Jika saya bertanya kepada gadis yang pernah saya rangkul soal pendapatan, mereka akan selalu berkata bahwa penghasilan mereka di dunia hiburan sangat mentereng. Sepuluh juta, sebelas juta, dst. Tapi pada saat-saat tertentu saya tidak jarang menerima SMS mereka meminta bantuan untuk anak mereka yang sedang sakit. Tidak jarang mereka mengirimkan video ketika mereka terbujur di kamarnya oleh karena penyakit maag akut, batu ginjal dan tidak bisa pergi ke dokter karena tidak punya uang. Lalu ke mana uang yang mereka katakan besar itu?

Hingga suatu titik saya akhirnya merasa iba. Mungkin juga bercampur dengan rasa bersalah mengapa saya ada di tempat itu. Saya pun tertantang membuktikan, bukan pada mereka, tapi pada dunia bahwa keajaiban hidup akan selalu ada ketika Anda bersedia melakukan dan berpikir hal yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun