Mohon tunggu...
Agustinus Sipayung
Agustinus Sipayung Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang konsultan di bidang pertanian

Blog ini saya khususnya untuk menceritakan orang-orang yang sangat menginspirasi saya oleh karena perannya terhadap masyarakat dan kemajuan bangsa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hoax, Bapak Rocky Gerung dan Pak Jokowi yang Bingung

31 Agustus 2017   22:56 Diperbarui: 28 Februari 2018   20:39 5602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya telah lama mendengar nama Bapak Rocky Gerung. Ia salah seorang dosen filsafat di Universitas Indonesia. Ya, itu sudah saya ketahui sejak puluhan tahun silam ketika saya masih sering modar mandir ke rumah tente saya di Depok. Hanya saja nama itu menjadi unik ketika saya menemukan akunnya di twitter, dimana ia salah satu pemikir filsafat yang sering menyampaikan twit-twit yang bersifat metafora. 

Ia dengan cerdas menggunakan kata kolam butek, kecebong, ikan dsb untuk membiarkan para followernya menafsirkan dengan liar. Tidak jarang ia mengambil posisi sebagai pengkritik pemerintah, dan seketika ia dibully habis-habisan. Saya juga menemukan, tanpa sengaja, sebuah video dimana sepupu saya yang tengah mewawancarainya untuk jurnal perempuan dan berbicara tentang laki-laki feminis.

Namun sosok ini juga mendadak mengelitik pikiran saya melalui komentar-komentarnya. Saya suatu kali menemukan video cuplikan ILC dimana sang pemikir diminta pendapatnya tentang hoax. Ia lalu mengatakan bahwa sesungguhnya pemerintahlah pelaku hoax yang sejati. Mengapa? Karena ia memiliki segalanya. Media. Dana.

Lalu pada ILC lainnya yang membahas soal Saracen, sang "filsuf" mengkritik upaya indoktrinansi pemerintah. Hoax itu tumbuh sumbur dalam masyarakat yang tidak kritis dan daya pikirnya lemah. Menurutnya hoax itu perlu diberikan tempat untuk mendorong masyarakat berpikir kritis melalui budaya literasi.

Ok, dari segi argumentasi, saya harus akui Bapak Rocky mampu membangun pendapatnya dengan baik. Well, itulah salah satu kelebihan para pemikir filsafat, berpikir didasarkan nalar. Alur pikirnya sistematis dan pendapatnya sangat masuk akal.

Pendapatnya sekilas mengingatkan saya akan sosok Jurgen Habermas, filsuf Jerman, yang memimpikan suatu masyarakat demokratis dimana masyarakat bisa saling bertukar perspektif. Melalui aksi komunikasi dalam relasi subjek dengan subjek hubungan saling pengertian dapat tercapai. Mengutip pemikiran dialektis, bahwa sejarah adalah proses dari pembenturan pemikiran, ide untuk mencapai diskursus. Dimana sejarah merupakan sebuah proses menjadi.

Sehingga dengan demikian orang yang menyebarkan hoax harus dipahami adalah sebuah bagian dari proses. Dimana ada komponen masyarakat tertentu  tengah belajar merefleksikan diri. Diharapkan melalui proses dialogis lebih lanjut kesepahamanpun terbangun dan peradaban bergerak ke arah konsolidatif.

Saya tidak tahu apakah pemahaman demikian bisa menggambarkan sisi lain dari Bapak Rocky. Saya juga tidak pernah mengetahui pasti apakah pemikiran Jurgen Habermas memberikan pengaruh kepada Bapak Rocky. Dan saya tidak memiliki kapasitas mengkritik pemikiran sang pakar, ketika saya hanya seorang praktisi di bidang pertanian.

Hanya kecenderungan dan fenomena yang terjadi beberapa bulan belakangan ini membuat saya bertanya-tanya tentang keberadaan hoaxker. Tentang seberapa bermanfaatnya kehadiran mereka bagi bangsa ini.

Sebagai seorang minoritas di Indonesia, membaca berita provokatif dan kabar-kabar yang tidak jelas kadang membuat saya gerah. Sejumlah berita beredar tentang adanya upaya kaum minoritas untuk mendeskritkan kaum mayoritas. Apalagi pasca perturangan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Informasi sempalan seperti seperti itu beredar bebas di media sosial dan kabar buruknya menjadi viral. Lalu di tulisan itu tidak jarang menjadi perdebatan dengan pendapat-pendapat yang kadang sangat kasar, tidak cerdas.

Lalu saya teringat pada tahun 2000 saat saya masih kuliah di Intitute Pertanian Bogor. Sebuah organisasi kemahasiswaan tertentu sengaja menempelkan tulisan di mading yang berisikan kabar menyedihkan dari Ambon. Di situ dipampangnya tubuh para korban pembantaian yang telah membujur dari kelompok masyarakat dari agama tertentu. Tidak lama kemudian beredar selebaran mengajak mahasiswa untuk melakukan tugas melakukan perang suci untuk membela saudaranya di Ambon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun