Saya sering prihatin dengan orang-orang yang hidup dalam lembah hitam. Saya beranggapan bahwa mereka melakukan itu karena ketidakberuntungan. Pada awalnya demikian. Hingga suatu kali saya mencoba menolong seorang wanita yang bekerja sebagai seorang pemandu lagu yang saya kenal dari sahabat saya. Dan pengalaman itu merubah persepsi saya tentang kehidupan para pelaku dunia remang.
Suatu kali saya bertemu dengan Intan. Ia seorang pemandu lagu di sebuah tempat hiburan di Jakarta. Ia lalu menceritakan betapa malang nasibnya. Ia tahu pekerjaannya yang ia lakukan tidak terhormat. Ia harus melayani seorang pria di room karoke dimana ia tidak jarang harus menjadi objek kepuasan birahi tamunya, Ia kadang dicium, digerayangi. Tapi ia tidak berusaha menolak namun menjaga agar tidak terlalu jauh. Karena hanya dengan demikian ia bisa mendapatkan tips yang lumayan.
Ia lalu mengatakan bahwa ia ingin bekerja di luar dan meninggalkan kehidupan demikian. Saya sedikit terpengaruh atas kisahnya, Sehingga sebagai bentuk simpati saya memberikannya uang. Saya juga terobsesi untuk menolongnya. Hingga suatu kali sahabat saya mengatakan bahwa ada sebuah pekerjaan yang menarik. Penghasilan yang lumayan.
Dengan penuh rasa percaya diri saya menawarkan kepada Intan. Saya sampaikan melalui telepon. Ia mengatakan siap dan akan datang pada hari yang ditentukan.
Saya berpikir akan menyelamatkan satu anak manusia dari dunia gelap. Saya menunggu kehadirannya dengan penuh antusias.
Tapi pada hari yang disepakati saya menunggunya dari pagi, hingga siang. Pada siang hari saat mencoba menghubunginya melalui telepon tapi tidak diangkat. Saya mulai merasa dongkol. Tanpa disangka-sangka pada sore hari ia membalas via WA dan mengatakan bahwa ia tidak jadi datang karena sesuatu alasan.
Saya benar-benar kecewa. Sementara saya sudah terlanjur janji kepada sahabat saya untuk mengisi posisi itu kepada seseorang yang saya jamin sangat bisa diandalkan. Saya  tengah mempertaruhkan reputasi saya. Apalagi yang saya masukkan adalah seorang eks PL. Tapi kini ia tidak datang dan saya kecewa.
Karena terlanjur malu saya berusaha untuk menemuinya. Dan akhirnya saya berjumpa dan ia dengan wajah sedih, tulus atau tidak, mengatakan bahwa ia ada alasan untuk tidak bekerja dengan saya. Salah satunya ia harus membiaya keluarganya setiap hari sebesar Rp. 200.000- sementara jika ia keluar maka ia kehilangan gajinya bulan ini sebesar Rp. 3.000.000,- .
Saya kaget. Bagaimana kamu mendapatkan uang demikian besar?"", saya bertanya.
Dari tips, jawabnya. Â
Oke, saya menantangnya bagaimana kalau saya bisa memberinya uang lebih besar dari itu?
Ia lalu bertanya soal pekerjaannya. Saya menjelaskan panjang lebar. Lalu ia sepakat jika akan datang ke kantor untuk bekerja dengan saya.
Sayapun menunggu. Dan…kembali lagi ia tidak hadir. Lalu saya bertemu lagi dengan dia dengan rasa kecewa berat. Tapi kali ini saya melihat satu titik wajah yang sepertinya tidak tulus. Saya menarik nafas. Saya sepertinya sudah salah mengerti,
Persepsi Saya Berubah
Saya tidak punya motivasi lain untuk membantu Intan selain untuk murni untuk menolongnya. Saya selalu berpikir bahwa orang yang bekerja di dunia gelap adalah korban situasi. Tapi pertemuan saya dengan Intan membuat saya merenung.
Pertanyaan saya mengapa Intan enggan bekerja di tempat yang baik saat ia ada kesempatan?
Sayapun menyadari bahwa Intan bertindak secara rasional. Meski mengindahkan etika. Ketika Anda bisa mengirimkan Rp. 200.000 per bulan dengan asumsi kerja 25 hari, maka pendapatan Anda dari tips saja adalah sebesar Rp. 5 juta. Sementara UMR Jakarta hanya 3 juta. Lalu ini belum termasuk gajinya sebesar Rp. 3 juta. Maka setiap bulan seorang PL (pemandu Lagu) seperti Intan mendapatkan income Rp. 8 juta. Angka yang fantastik. Melampau gaji seorang manajer di sebuah perusahaan menengah.
Dan ini adalah pendapatan untuk sebuah pekerjaan yang hanya membutuhkan keberanian untuk menurunkan standar moral. Tidak perlu  cerdas, cukup merayu, berani minum minuman keras, dll maka uang diperoleh dengan mudah. Anda tidak perlu harus dikejar target penjualan, diomelin oleh bos, kerja dari pagi hingga subuh.
Sementara itu Intan berada dalam sebuah komunitas tertutup yang setiap hari membicarakan pembenaran atas apa yang mereka lakukan, Mungkin saya menjadi salah objek olok-olok mereka sebagai laki-laki lugu yang telah terpengaruh oleh cerita sedih mereka. Lalu mereka tertawa. Mereka hanya menghargai seorang pria yang cukup kaya dan bisa memberikan mereka tips yang besar. Mereka juga bersedia meninggalkan profesinya jika sang pria berani membayar mahal setiap bulannya.
Lalu yang terpenting adalah konsepsi mereka tentang hidup. Hidup itu adalah untuk bisa happy, menikmati gaya hidup konsumerisme. Bisa beli baju bagus, terlihat wah di medsos, beli HP mahal, sesekali jalan-jalan. Meskipun kalau ditanya mereka selalu menjawab melakukan itu semua karena anak. Padahal mereka tidak pernah hadir untuk anak mereka, dan dengan pekerjaan lainpun mereka masih bisa menghidupi anak mereka.
Saya teringat saudara saya yang datang ke Jakarta dengan kondisi sangat miskin. Tapi hidupnya benar-benar ditujukan untuk keluarganya. Ia berjuang keras. Bekerja dengan halal dan hidup dengan sederhana. Ia menabung uangnya untuk sekolah. Ia berusaha mencari bea siswa untuk bisa kuliah. Dan kerja kerasnya membuahkan hasil. Ia meraih gelar sarjana, mendapatkan pekerjaan yang baik. Ia pun bisa melanjutkan ke pascasarjana dan kini ia telah meraih posisi penting di sebuah perusahaan. So, ia selalu meyakini sebuah hasil yang luar biasa hanya bisa diperoleh dengan kerja keras.
Sementara Intan dan rekan-rekannya berupaya mencari sesuatu yang mudah. Saya percaya mendapatkan rezeki yang terlalu mudah akan membawa kita kepada dunia hitam. Dan ketika Anda masuk ke dalam dunia ini, maka Anda akan terperangkap dengan mimpi bahwa Anda bisa mendapakan kekayaan dengan cara mudah dan semuanya akan baik-baik saja.
Lalu kapankah Intan akan merubah arah hidupnya. Untuk menjawab itu saya harus melirik kisah seorang gadis yang kehidupannya telah saya tuliskan ke dalam sebuah buku. Ia lepas dari dunia malam dan hidup dengan pekerjaan yang halal. Mengapa? Karena ia telah mengalami kondisi kesehatan yang sangat buruk dan tidak ada orang yang perduli dengannya. Termasuk para sahabatnya yang selama ini menjadi pendukungnya agar tetap bekerja di profesi yang sama. Ia berada titik ambang kematian, beruntung ia kembali pulih dan seolah mendapatkan kehidupan kedua.
Saya percaya bahwa hanya kondisi kritislah, penyakit, masalah dengan keluarga atau mendapatkan kekerasan oleh tamu akan membuat seorang PL seperti Intan meninggalkan dunianya. Demikian juga para perempuan yang memilih bekerja di dunia remang. Hanya saja ketika keluar tidak jarang mereka baru menyadari bahwa mereka telah mengorbankan banyak hal. Kesempatan untuk hidup normal. Kesempatan untuk mendapatkan suami yang baik. Dan kesempatan untuk kehidupan lebik baik yang diraih melalui kerja keras.
Jadi kesimpulannya, saya membenarkan pendapat para filsuf eksistensialisme. Lingkungan, kemiskinan bukan penyebab eksak dari kejahatan. Tapi karena Anda memilih untuk menjadi jahat. Seperti halnya Intan, ada jutaan orang di muka bumi ini yang hidupnya lebih tragis  daripadanya. Tapi yang berbeda Intan memilih jalan pintas sementara perempuan lainnya memilih berjuang dan tidak pernah mau menjual harga dirinya. Sejarah kehidupan Intan diciptakan bukan oleh takdir atau Tuhan melainkan karena keputusan yang ia lakukan setiap detik kehidupannya.
@Yulianto (penulis, Grogol)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H