Mohon tunggu...
Agustinus Sipayung
Agustinus Sipayung Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang konsultan di bidang pertanian

Blog ini saya khususnya untuk menceritakan orang-orang yang sangat menginspirasi saya oleh karena perannya terhadap masyarakat dan kemajuan bangsa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi yang Lari: Pengkritik vs Pelindung Rakyat

6 November 2016   17:39 Diperbarui: 6 November 2016   18:32 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sebenarnya enggan larut dengan hiruk pikuk perpolitikan beberapa hari terakhir. Namun dengan banyaknya berita-berita miring yang ditujukan kepada President Jokowi yang menurut saya telah mengarah pada fitnah dan menciptakan image public yang negatif saya tertarik membuat ulasan terkait fenomena tersebut.

Pasca kejadian ketiadaan President Jokowi di istana negara, saat massa melakukan demo untuk membela keyakinannya, mendadak ulasan dan kritikan tajam para pengamat berseliweran. Ada yang menyebut Pak Jokowi sebagai Presiden amatiran, presiden yang tidak mengerti luka batin masyarakat hingga ada himbauan agar president diturunkan. Mereka adalah pengkritik yang menyusun argumen dengan sangat baik dan menggungah emosi sehingga banyak anggota masyarakat menganggap hal itu benar dan turut membaptis mereka menjadi pengamat dadakan.

Melihat  fenomena tersebut saya teringat tentang cerita seorang pengkritik yang mendatangi sebuah desa yang dikenal dengan kebersihannya. Setiap rumah di desa itu bersih dengan taman yang indah. Pemimpinannya dikenal sangat dekat dengan masyarakat dan selalu mengajak mereka agar menciptakan lingkungan yang bersih.

Lalu si pengkritik berusaha mencari sesuatu yang janggal dan untuk mendapatkannya ia berburu hingga ke pinggiran desa. Hingga akhirnya ia menemukan satu titik kotoran di pinggir hutan, di daerah yang tidak ada penduduknya.  Mendapatkan “bukti otentik” tersebut membuatnya bahagia karena ia memiliki sesuatu untuk diekspos. “Sebuah ketidakkonsistenan”, pikirnya.

Besoknya ia mengundang para wartawan, blogger, dan para pendukungnya di sebuah balai desa yang bersih dan indah karena dirawat dengan baik oleh petugas desa. Ia lalu berdiri di depan para undangan dengan sikap yang tegap, penuh keyakinan dengan kaca mata yang menggantung di hidungnya.

“Saya menemukan sebuah kotoran. Dan ini menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dengan sistem yang dijalankan Pak Kepala Desa. Sesungguhnya ia tidak mampu menjalankan tugasnya secara baik. Bukankah  jalanan dipinggir hutan juga sering dilalui masyarakat, pasti mereka tidak akan nyaman dengan kotoran ini. Dan ini juga berarti kades melakukan diskriminasi karena orang di pinggiran  berasal dari suku tertentu dan pak kades tidak menjaga kebersihan di sana”,  teriaknya berapi-api sembari mengeluarkan sebuah titik kotoran dari kantungnya. “ Ini buktinya”, ucapnya penuh keyakinan. Seketika itu kilatan kamera mengisi  ruangan tersebut.

Keesokan harinya berita miring tersebut menjadi ramai menghiasi media massa.

Kepala Desa Gagal Menjaga Keberhasikan Desa Mentari.

Seorang pengamat meminta Kepala Desa mundur karena gagal menjaga keberhasihan hutan.

Lalu blogger menuliskan berita dengan judul yang lebih bombastis dan berita yang lebih parah.

Terbukti kalau Desa Mentari besih adalah kebohongan besar.

Kotoran bau busuk ternyata menutupi sebagian besar desa.

Rakyat ditipu oleh Kepala  Desa Mentari.

Sebagian para pendukung lalu menyebarkan foto kotoran dan berita mirin tersebut melalui media sosial dan menjadi tranding topic. Seketika citra sang kepala desa menjadi runtuh. Dan si pengkritik bangga karena tujuannya tercapai.

Mari analisa apa yang sebenarnya dilakukan oleh para pengkritik? Ia mengambil satu fakta kecil lalu membesar-besarkan. Menjadikan hal yang partikuler menjadi general. Lalu memanfaatkan kemampuan analisanya menjadikan hal kecil tersebut bermakna luas. Bukti kelemahan suatu sistem. Ketiadaan kinerja.  Seperti halnya seorang pengamat yang menjadikan ketiadaan perpustakaan menjadi indikator kegagalan sebuah pemerintahan menciptakan para pemikir. Serta merta menjadikan dirinya seolah pemilik formula yang lebih baik.

Sementara yang dilakukan sang kepala desa adalah sesuatu yang rill, bukan konferensi pers, dan tidak melibatkan blogger. Ia awali dengan sebuah perencanaan. Mendatangi masyarakat. Ia berjuang keras meyakinkan masyarakat merubah perilakunya. Dan ia merubah wajah desa.  Begitu banyak yang ia korbankan, waktu, tenaga, perhatian dan dana. Sementara seorang pengkritik hanya butuh sebuah titik kecil untuk menghancurkan sebuah pekerjaan besar. Jadi seorang pengkritik dapat meraih popularitas dan status orang orang bijaknya tanpa resiko sementara seorang pelaksana, seperti si kepala desa, menghadapi ribuan resiko, karena bisa saja programnya gagal, sehingga masyarakat menganggapnya menyia-nyiakan dana desa atau bisa saja penduduk desa tidak setuju dengannya karena kekotoran adalah bagian dari budaya mereka.

Itu jugalan yang sesunggunya terjadi pada pengkritik yang rajin menyerang  pemerintah. Mereka adalah pencari titik kecil lalu memblow up seolah menemukan hal buruk dari sang pemimpin  yang  menurutnya patut diketahui masyarakat, meskipun beberapa dari mereka pernah mendapatkan kesempatan yang sama dengan sang pemimpin untuk melakukan sesuatu. Mereka juga memiliki kekuatan untuk berbuat bagi masyarakat. Hanya, mereka lebih memilih menjadi pengkritik.

Ketika Presiden Jokowi tidak ada di istana negara saat ribuan masyarakat melakukan demonstrasi (4/11) dapat dijadikan satu titik untuk menunjukkan bahwa Presiden Jokowi tidak perduli rakyat. Para pengkritik dengan mudah memoles fenomena tersebut sebagai pembenaran, dan membuat banyak orang awam seperti saya percaya  dengan statementnya.

Tapi faktanya Presiden Jokowi tidak hanya menjadi presiden 150 ribu orang yang turun ke jalan tapi juga presiden 200 juta penduduk Indonesia yang mungkin tidak semuanya pernah bertemu dengannya.  Jika  menggunakan terminologi rakyat yang terluka  maka ada banyak masyarakat yang terluka batinnya karena selama puluhan tahun hidup terisolir, tidak dapat mengakses fasilitas pendidikan, sulit mendapatkan BBM, menjadi masyarakat kelas ketiga. Mereka adalah orang yang paling berhak mendapatkan kesempatan bertemu Pak Jokowi, karena sebagaimana menurut pengamat, negara memiliki dosa kepada mereka. Masyarakat yang terpinggirkan ini bahkan tidak sempat membela agamanya karena hidup mereka sudah sedemikian dinistakan.

Jadi ketika faktanya selama kepemimpinan Presiden Jokowi, orang luar Sumatera bisa  menikmati infrastruktur seperti di Jawa, saat  masyakat kecil bisa mengakses fasilitas rumah sakit mewah, masyarakat Papua akhirnya bisa membeli BBM sama dengan di Jawa, dan petani bisa menikmati panen lebih 3 kali karena irigasi sudah berfungsi, masyarakat Sulawesi bisa menikmati fasilitas kereta api, masyarakat di perbatasan mulai merasakan pembangunan maka Presiden Jokowi sesungguhnya memahami penderitaan hati masyarakatnya meskipun ia tidak bertatap muka dengan jutaan penduduk Indonesia.

Lalu apakah ini berarti Pak Jokowi tidak boleh dikritik?

Tentu boleh. Seorang pemimpin patut dikritik oleh pengkritik sejati.

Lalu siapkah pengkritik sejati? 

Menurut saya mereka diibarat komantan pleton yang berjuang hingga nyawanya dan prajuritnya terancam. Setelah perang usai ia lalu mendatangi seorang Jenderal untuk menyampaikan kritik. “Mohon maaf  Pak Jenderal, strategi yang dijalankan selama membuat kami di lapangan mudah menjadi sasaran empuk musuh. Kita harus merubah kebijakan dan strategi perang. Kami juga membutuhkan peralatan yang lebih lengkap”, sarannya.

Sang komandan melakukan kritik setelah ia melakukan bertempur hingga meradang nyawa bersama anak buahnya dan menemukan hal-hal yang perlu diperbaiki. Di sisi lain ia tidak hanya menyampaikan kekurangan namun juga memberikan solusi.

Jadi Anda ingin mengkritik? Mari lakukan dulu tugas Anda, bekerjalah membantu masyarakat  dengan kepintaran Anda, jika perlu hingga nyawa Anda terancam, setelah Anda mendapatkan gambaran utuh tentang masalah di lapangan, sampaikan apa yang salah dari pemerintah berserta solusinya bukti jika Anda memahami persoalan.

Hal ini penting. Jangan sampai Anda merasa membela rakyat yang tidak Anda kenal karena Anda hidup dibalik tembok. Sehingga ketidaknyamanan Anda seolah menjadi ketidaknyamanan masyarakat. Kebenaran  Anda seolah menjadi kebenaran Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun