Pertemuan saya dengan Margaret berlangsung cepat. Saya mengenalnya sebagai seorang gadis remaja munggil yang bewajah menarik dan cerah. Begitu ceria dengan nada suaranya yang manja. Wajar karena ia baru berusia 23 tahun. Senyumannya begitu merekah dan mengandung makna yang dalam.
Namun dibalik semuanya, saat saya mencoba mengenalinya lebih dalam, sayapun mengetahui sisi lain kehidupannya. Ternyata ia begitu rapuh. Ia adalah seorang remaja yang berlari tanpa arah dan hampir kehilangan harapan akan masa depan.
Hingga dalam sebuah pembicaraan ia menceritakan tentang ayahnya dengan penuh air mata. Tentang masa lalunya yang penuh luka dan memberikan bekas kepedihan mendalam. Ia tidak pernah merasa memiliki seorang ayah secara utuh, yang memilih hidup dengan orang lain. Sementara ia dibesarkan oleh mama dan kakek serta neneknya.
Lalu ia menceritakan salah satu pengalaman hidup yang getir, saat menyaksikan detik-detik akhir ayahnya berpulang kepada Yang Kuasa, memberiku sebuah pesan yang mendalam. “Satu hal yang ingin aku tunggu dari papa. Aku ingin mendengar ia berbisik ‘papa sayang padamu’”, katanya.
Namun saat ia bertanya kepada ayahnya menghadapi masa-masa kritisnya, jawabnya hanya sebuah butiran air mata dan getaran bibir sepertinya hendak mengatakan sesuatu. Hingga akhirnya sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya ia tidak pernah mendengar kata itu.
Lalu saya bertanya kepadanya, “Bukankah ayahmu meninggalkanmu dan tidak memberikanmu kasih sayang terbaik, mengapa engkah masih berharap demikian?”, tanya saya.
“Karena bagaimanapun dia, apapun yang telah ia lakukan padaku, tapi aku tetap menyayanginya dan berharap menyayangiku juga”, katanya, “Kadang aku merasa Tuhan tidak adil, karena tidak memberikanku kesempatan merasakan cinta ayah. Merasakan bagaimana papa mengucapkan selamat ulang tahun. Memelukku. Membelaiku. Hingga membisikkan harapannya padaku”.
Seketika itu saya membayangkan putri kecil saya. Mungkinkah Caca, putri kecil saya yang masih berusia 4 tahun, akan mencintai saya hingga dewasanya kelak tanpa syarat seperti Margaret?
Cerita Margaret yang pilu tersebut menyentuh hati saya. Tepatnya mengubahkan. Setelah pembicaraan yang begitu membekas bagi diri saya, ketika saya pulang ke rumah saya menghampiri Caca dan memeluk putri saya dengan erat. Ia melihat saya dengan tatapan lugu dan aneh. “Ada apa, papa?”
“Tidak apa-apa. Papa sayang Caca”, kata saya dengan lembut sambil menahan rasa haru dalam hati saya.
Apa yang dikatan Margaret menyadarkanku jika jika putri kecilku tidak pernah menginginkan uangku. Liburan yang menyenangkan, barang-barang mewah bukanlah hal yang paling ia harapkan dariku. Namun sebuah kata dan tindakan sederhana, dan ada banyak ayah lupa untuk mengatakan.
“Aku mencintaimu nak”.Sebuah dekapan. Ucapan selama tidur. Dan bisikan lembut, “Ayah percaya anakku orang yang hebat”.
Bagi Margaret pengalamannya tidak ada artinya selain sesuatu yang memilukan. Kehidupan terobang-ambing. Ia terperosok dalam ke dunia yang mungkin tidak ia pahami. Masa depannya hampir saja habis. Tapi ia berjuang untuk bangkit kembali.
Namun bagi saya ini kejujurannya dan kesediaan untuk berbagi cerita dengan saya, bak pesan dari Tuhan bagi saya dan para ayah. Ada banyak anak yang tumbuh dan kembang tanpa menikmati cinta seorang ayah. Mungkin bagi kami kebanggaan seorang ayah adalah karir dan kekayaan. Padahal kita tidak hidup hanya dari roti saja. Demikian putra-putri kita.
Sayup-sayup terdengar lau Glenn Fredly, “Malaikat tahu”. Saya menghayati salah satu syairnya,
Namun kau tak lihat terkadang malaikat. Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan. Dan saya percaya dalam hal ini, dia adalah Margaret.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H