Suatu ketika saya bertemu dengan seorang pebisnis untuk suatu keperluan. Lalu sampailah kami berdiskusi tentang kakao. Dan ia menyampaikan hal yang mengejutkan.
“Sepertinya, Anda sulit membayangkan bahwa ada kehidupan yang lebih baik bagi petani kakao”, ungkapnya sembari tersenyum miring yang saya balas dengan anggukan ringan dan tatapan tajam.
“Tentu ini hal yang konyol”, ungkapnya. “ Pasalnya petani Anda menjadi bagian dari sebuah bisnis luar biasa, Anda tahu?’.
“Ya, saya paham itu. Tapi, faktanya Anda bisa lihat sendiri. Petani kami tetap saja miskin”, jelas saya.
“ Tidak sampai Anda bertemu dengan para pemain coklat di Amerika. Mereka menggunakan Ferari hanya untuk membeli minuman kemasan di Supermarket. Mereka punya pesawat pribadi, mereka bercinta dengan pelacur terbaik dan menghabiskan uangnnya di meja judi Las Vegas”.
Mendengar itu saya mengangguk lemah, sembari menarik nafas.
“ Padahal, Anda tahu. Biji coklat dari negara Anda adalah awal dari megabisnis ini. Tidak ada biji coklat equal bisnis ini hancur”.
“ Tapi faktanya, kami selalu menjadi hal yang kalah”, jawab saya sedikit protes.
“Tidak ada yang kalah dalam bisnis. Yang ada adalah pihak yang tolol dan pihak yang cerdik”, ungkapnya. “ Petani, siapapun pelaku kakao di negara Anda terdiri dari orang idiot. Karena mereka tidak paham bahwa mereka memiliki senjata negosiasi yang lebih menakutkan dari rudak berkepala nuklir. Hanya , pemerintah Anda, saat gagal dalam negosiasi dengan sebuah perusahaan lalu merengek di hadapan pers. Karena mereka maju bukan dengan mental bos namun mental kacung”.
“ Jadi menurut Anda ini bukan karena sebuah hukum pasar?”, saya mencoba membantah dengan bertanya kritik kerasnya
“Harusnya petani Anda sejahtera ketika jutaan orang di Eropa bergantung pada biji dari negara Anda. Faktanya, para pemilik pabrik mengetahui bahwa biji coklat tidak selalu mudah didapat. Sayangnya, pebisnis di luar negeri Anda terlalu cerdas , sehingga ia berkuasa atas apa yang Anda hasilnya. Mengingatkan saya pada Belanda, sebuah negara kecil yang hampir tenggelam olah lautan, dengan VOC nya menjajah sebuah negara yang lebih besar”, jelasnya. “Saya membayangkan, jika Anda punya keberanian dan kecerdikan seperti negara-negara penghasilan minyak ditahun 80-an yang mengatur kuota minyaknya untuk menciptakan harga lebih baik dan memperkuat posisinya, maka kasusnya berbeda”.
“Mm”, saya kehabisan kata
“Sayangnya, pemerintah Anda dan masyarakat Anda tidak cukup cerdas untuk itu. Dan memang lebih suka menjadi orang miskin dan dikasihani”, jelasnya dengan sinis.
Saya sempat tersinggung dengan ucapannya yang ceplas ceplos. Saya menghentikan pembicaraan.
Tapi apa yang ia sampaikan tidak seluruhnya tudingan. Faktanya, kehidupan petani kami tidak lebih baik dari para pedagang di luar negeri tidak pernah menanam. Lalu apakah benar memang orang Indonesia sebodoh itu?.
Saya tidak tahu!
@Yan Sulaeman
Pelopor Sultra Bermimpi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H