Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Kkn Artikel Utama

Jadi Orang Marketing "Keakuan" Tidak Boleh Tinggi

5 Maret 2022   06:04 Diperbarui: 1 Juli 2024   22:46 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar Billionare Coach

Hallo Lohha semuanya. Pada tulisan kali ini saya mau berbagi sedikit perspektif tentang suatu hal. 

Jadi beberapa minggu yang lalu kantor kami yang ada di cabang Bandung kedatangan Nasional Sales Manager (NSM). 

Sebenarnya bukan hal baru sih, minimal setahun dua kali NSM kami ini memang selalu datang ke Bandung. 

Kalau beliau sudah datang, kami yang ada di cabang pasti tremor. Sebab orangnya memang galak. Seharian dia bisa punya energi hanya untuk marah-marah.

Tapi sebenarnya orangnya baik, marahnya cuman di atas meja. Begitu ke bawah untuk ngopi orangnya menyenangkan. 

Jadi marah-marahnya murni mengenai pekerjaan. Tapi untuk anak baru pasti kaget dan sakit hati kalau dengar omongannya, tapi bagi kami orang lama hal itu sudah biasa. 

Suatu kali NSM kami itu menguji kedekatan kami dengan customer-customer kami. 

Dia bertanya costumer A ulang tahunnya tanggal berapa, customer B nomor sepatunya berapa, hobinya apa, makanan kesukaannya apa.

Ternyata setelah ditanya begitu ada banyak hal mengenai customer kami yang belum kami ketahui. Maka pada posisi ini kami masih sekedar kenal, dan belum menjadikan customer kami sebagai seorang sahabat. 

Kami masih sekedar berteman dengan customer kami. Yang namanya berteman itu bisa cuman sekedar. Kita tidak perlu tahu banyak soal teman kita itu. Maka ada yang namanya teman kerja, teman main, atau teman nongkrong. Hanya teman untuk situasi tertentu saja. Sedangkan sahabat pasti punya pengenalan yang lebih dalam tentang sahabatnya. 

Mengenal lebih dalam, inilah perbedaan signifikan antara seseorang kita jadikan teman atau sahabat. Kita pasti tahu banyak tentang seseorang yang kita anggap sahabat.

Lalu NSM kami melanjutkan bahwa yang namanya seorang marketing, seorang tenaga penjual, keakuannya tidak boleh tinggi. 

Lalu dia mengetes pengetahuan kami tentang juara olimpiade (saat itu dia bertanya tentang Olimpiade Tokyo 2020). Negara mana yang jadi juara satu? Amerika dapat medali apa saja? China menang dicabang olahraga apa saja? Dan seterusnya. 

Ternyata banyak dari kami yang tidak mengikuti pemberitaan olimpiade dengan baik. Lalu NSM kami itu berkata, "Saya saja sebenarnya tidak suka olahraga, tapi biar nyambung dengan customer, mau tidak mau, suka tidak suka saya baca berita tentang olahraga, tentang olimpiade."

Sumber gambar Billionare Coach
Sumber gambar Billionare Coach

Itulah yang dimaksudkan NSM kami itu tentang keakuan yang tidak boleh tinggi. Artinya seorang marketing egonya tidak boleh tinggi, dia harus melebur dengan berbagai isu agar bisa terhubung dengan customer-nya. Tentu perspektif ini juga bisa diperluas pada kehidupan sehari-hari, juga dalam bidang lain. 

Dalam pergaulan misalnya, orang yang tidak update isu terkini tentu tidak akan bisa diajak ngobrol banyak hal. 

Dalam hal mengajar misalnya, guru yang update seputar TikTok serta tahu isu-isu yang tengah hangat di kalangan remaja seusia muridnya, tentu akan lebih relevan dalam mengilustrasikan contoh untuk mewarnai jam belajar.

Guru yang tahu siapa saja idola remaja saat ini, siapa saja seleb TikTok yang lagi hits, tentu akan lebih bisa menangkap keresahan para muridnya. Maka simpati timbal balik antara guru murid akan lebih mudah terbangun. 

Bandingkan dengan guru yang sama sekali tidak mau tahu, egois, keakuannya tinggi, dia hanya ingin murid-murid belajar hal yang sudah dikuasai, tapi dia tak mau belajar hal-hal yang disukai para murid, pasti akan didapati banyak kebuntuan dan keterpaksaan aktivitas di sana.

Keakuan tidak boleh tinggi, tentu bukan hanya bicara soal orang yang selalu up to date. No bukan soal itu saja. Di luar sana ada banyak jenis orang yang tahu banyak hal, tapi maunya bicara terus, maunya didengarkan terus, sehingga tidak ada orang yang mau jadi lawan bicaranya. 

Keakuan tidak boleh tinggi ini bicara di ranah filsafatnya, di ranah ilmunya. Maka untuk penerapannya harus terus belajar. 

Hei jangan dikira menurunkan ego, mempelajari hal baru, masuk pada hal-hal yang membuat tidak nyaman itu mudah.

Keakuan yang tidak tinggi juga bicara soal kehausan dalam mencari tahu, contohnya kasus kami di atas.

Saat NSM kami bertanya tentang customer kami, ternyata ada banyak hal tentang customer kami yang tidak kami tahu. 

Mulai dari hari ulang tahunnya, makanan kesukaannya, dan seterusnya. Untuk hal ini pun butuh keakuan yang tidak tinggi. 

Maukah kami berusaha lebih keras untuk mencari informasi yang jika dikaitkan dengan minat pribadi sangat tidak penting. Tapi agar bisa menjadikan customer menjadi sahabat, kami harus mau menurunkan ego, dan mencari informasi lebih seputar customer kami.

Tidak punya keakuan yang tinggi juga bicara soal mental kerja. Penjelasan sebelumnya sedikit banyak sudah menjabarkan tentang, suka tidak suka, sebagai seorang marketing kita harus mulai menyukai apa yang orang lain suka. 

Saat ini lagi populer istilah healing, terutama di kalangan anak muda. Guru besar bidang Ilmu manajemen, Rhenald Kasali pernah mengkritik anak muda yang saat ini selalu dikit-dikit bicara butuh healing. 

Menurut Rhenald Kasali, fenomena healing di kalangan anak muda malah akan menciptakan generasi yang lembek seperti bubur.

Tentu bukan karena Rhenald Kasali tidak perduli pada kesehatan mental. Tapi tentu sangat menjengkelkan mendengar keluhan seorang mahasiswa yang sampai butuh healing enam bulan hanya karena tugas dari dosennya. 

Maka menurunkan keakuan juga berlaku, bahwa ada banyak rasa sakit di dunia kerja sesungguhnya hanya sebatas kerja. 

Tugas kitalah untuk mengasah kekebalan, agar tidak mudah baper, tidak mudah sakit hati di kantor. Harusnya target perusahaan adalah pusat perhatian kita, bukannya kita yang memusatkan perhatian pada diri sendiri sembari mengeluhkan pekerjaan.

Tapi saya memandangnya dengan seimbang, hanya karena kamu mengeluh bukan berarti keakuanmu tinggi. 

Mengeluh itu wajar, tapi kalau setiap hari hanya mengeluh, karena pekerjaan, karena lingkungan, dan karena segala sesuatu di luar diri sendiri, maka itulah keakuan yang tinggi. Bisa disebut narsis bukan dalam persoalan cantik dan tampan, tapi narsis dalam memperlakukan diri, karena tidak mau membagi perhatian pada hal lain di luar diri sendiri.

Mungkin dengan menurunkan keakuan, kita juga tidak akan memandang sebuah masalah dengan aku versus kamu, benar salah, atau kamu yang jadi penjahat aku yang jadi pahlawan. 

Dengan menurunkan keakuan, mungkin ada banyak kekakuan bisa didialogkan untuk ditemukan jalan keluarnya, atau dicairkan situasinya. 

Dengan begitu kita mulai bisa berpikir secara komunitas, mulai mendahulukan kepentingan bersama, baru kemudian kepentingan pribadi.

Mungkin ini adalah satu kedewasaan yang bisa kita pelajari dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun