Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Di Dalam Gaji Kita, Sudah Termasuk "Dicaci-Maki" Atasan

4 Mei 2021   22:54 Diperbarui: 4 Mei 2021   23:20 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar pixabay

Beberapa waktu yang lalu saya menulis status di facebook, bunyinya begini," Di dalam gaji kita itu, sudah termasuk dimarahin dan dicaci maki atasan."

Padahal saya serius menulis status itu, saya tidak sedang bercanda.Namun respon beberapa teman tampaknya cukup unik.Ada yang memberi emoji tertawa, ada juga yang memberi komentar bahwa hal itu menyedihkan.

Tidak salah sih, hanya saja saya memang tidak menganggap kalimat saya itu sebagai sebuah lelucon.Saya juga tidak menganggap kalimat itu sebagai ungkapan bahwa hidup seorang pegawai ternyata begitu tragis.Bagi saya kalimat itu justru pencerahan yang selama ini saya cari-cari.

Semua berawal saat bos besar kami dari Jakarta akan datang ke Bandung untuk memberikan training.Biasanya judulnya saja training, faktanya kami akan disuruh mempresentasikan apa yang kami kerjakan selama ini, dan disitulah kami akan dibantai oleh bos kami dari Jakarta itu.

Kalau dia anggap ada yang salah dengan cara kerja kami, dia akan memarahi bahkan mencaci-maki kami.Tak jarang kami disuruh untuk mengundurkan diri.Orang baru mungkin akan kaget dan menangis, tapi bagi orang lama hal itu sudah sangat biasa.Sekalipun sudah biasa yang namanya dimarahin tetap saja tidak enak.

Namun dalam sharing kami sehari-hari di kantor, setidaknya ada tiga prinsip yang kami pegang, sehingga "dibantai" oleh orang pusat bagi kami adalah suatu hal yang wajar.

Pertama, sebagai tenaga penjual kami memang ditakdirkan untuk tidak pernah benar.Atasan saya di cabang selalu bilang, orang di lapangan itu kerja tidak ada SOP-nya (Standar Operational Prosedur).

Contohnya, saat training produk baru kami akan diajarkan keunggulan dan selling point dari produk tersebut.Kami juga diajarkan bagaimana opening hingga closing statement agar produk tersebut laku dan dibeli.

Namun seperti yang trainer kami sering katakan, apa yang diajarkannya hanyalah jurus-jurus saja.Ketika dilapangan kami akan berimprovisasi, sesuai dengan alur lawan bicara kami.

Sehingga nyaris tidak pernah kami menjual persis seperti yang diajarkan ketika training.Inilah contoh kecil bahwa orang lapangan itu kerja tidak ada SOP-nya (Dalam batasan tertentu).

Sehingga saat kami mempresentasikan proses kerja kami pasti selalu ada celah untuk "dibantai."Dalam hal ini kami belum tentu salah, tapi sebagai bawahan kami ya tidak perlu mendebat atasan kami, cukup ucapkan terimakasih atas masukan dan koreksi yang diberikan.

Ada yang namanya blind spot, kita tidak bisa lihat, tapi orang lain bisa.Itu kenapa orang sekelas Muhammad Ali masih butuh pelatih.Padahal kalau diadu, pasti Muhammad Ali bisa menjatuhkan pelatihnya dengan dua kali pukulan.

Oleh karena itu Muhammad Ali butuh seorang pelatih yang bisa melihat kekurangannya, dimana Ali sendiri tidak bisa melihatnya.

Kedua, "Di dalam gaji kita itu sudah termasuk dimarahin atasan." Inilah prinsip yang kami sepakati bersama di kantor.Ada begitu banyak orang yang kerja mau enaknya saja, tapi tidak mau bagian tidak enaknya.Padahal semua itu sudah satu paket.Seperti ada hak ada kewajiban.

Banyak orang bekerja kalau salah tidak mau ditegur.Harapannya kerja ya kerja aja.Melakukan suatu rutinitas, mengeluarkan tenaga, lalu pulang dan berharap tidak ada koreksi atas hasil kerjanya.Tentu ini adalah pola pikir yang keliru.

Walapun saat ini ada hak asasi manusia hingga peraturan ketenagakerjaan, sebenarnya secara terbatas kita harus menghidupi spirit budak saat sudah bekerja disebuah perusahaan.

Dalam arti begini, jaman dulu, yang namanya budak itu diperjual belikan.Saat seorang budak sudah dibeli, sang budak sudah tidak punya hak apapun dan hanya punya kepentingan untuk mengabdi pada tuannya.

Dalam hal ini sang budak akan bekerja untuk tuannya, akan dipukul, tidak dikasih makan, hingga dibentak jika kerjanya dianggap tidak becus.

Tentu ini adalah contoh yang ekstrim, itu kenapa saya sebut penggunaan ilustrasi ini ditarik maknanya secara terbatas.Hanya pada bagian bagaimana seorang budak punya pemahaman bahwa dia bukan hanya bekerja, tapi juga milik tuannya.

Disebagian makanan yang dilahap oleh sang budak ada jatah untuk dicaci maki sang tuan.Di sebagian upah sang budak ada nominal untuk diomelin sang tuan.Apa bedanya dengan kita yang bekerja di era modern seperti sekarang ini? Sama saja bukan.

Jangan dikira tulisan ini adalah pembelaan bagi mereka bos-bos yang tidak berperikemanusiaan.Tulisan ini juga bukan upaya positive thingking yang dipaksakan.

Tapi yakinlah, tidak pernah memikirkan hal baik itu, manfaatnya untuk orang lain lebih dulu, pertama-tama kita lah yang lebih dulu merasakan manfaatnya.

Kalau kita menerima dengan lapang dada bahwa dalam sebagian gaji kita itu memang untuk dimarahin atasan, untuk datang ke kantor setiap jam delapan, hingga pulang larut malam jika diperlukan, maka akan banyak hal tidak mengenakkan terasa wajar.Kalau sudah begitu kita bisa memilah mana yang perlu dikeluhkan dan mana yang sejatinya resiko pekerjaan.

Ketiga, atasan itu memang dibayar untuk marah-marah.Apalagi yang jabatannya sudah dalam level top management, juga sudah puncak pimpinan, pemilik perusahaan menunjuk orang-orang tersebut untuk memimpin pasti karena ada sebabnya.

Dalam beberapa perusahaan ada batas yang jelas antara jabatan level karir dan level politis.Level manager bisa dikatakan masih level karir.Seseorang yang bekerja keras dan punya prestasi bisa jadi mengisi posisi ini.

Tapi beberapa tingkat di atas manager mungkin sudah jabatan politis.Pemegang saham atau owner bisa saja menunjuk anak seorang yang berpengaruh, hingga anak sang pemilik untuk memimpin perusahaannya.

Dan orang dengan level demikian tidak dibayar untuk banting tulang, berkeringat di jalanan, hingga rapat hingga larut malam untuk memajukan perusahaan.

Mereka dibayar, ya untuk membuat kita sebagai bawahannya bekerja keras untuk memenuhi ambisi perusahaan.Dengan jabatan setinggi itu tugas mereka hanya memastikan bahwa roda perusahaan dapat berjalan dengan maksimal.

Maka hal itu tak jarang diekspresikan dengan kemarahan.Memang mereka dibayar untuk marah-marah.Siapa yang dimarah? Ya kita sebagai bawahannya.

Apa maksud dari semua ini? Maksudnya adalah mewajarkan apapun beban dan tantangan yang masih ada dalam konteks pekerjaan.

Kalau kita dimarahin dalam konteks pekerjaan itu adalah hal yang wajar.Sebab di dalam gaji kita sudah termasuk dimarahin atasan.Dan di dalam gaji para atasan sudah termasuk untuk memarahi kita sebagai bawahan.

Maksud tulisan ini adalah, agar kita memiliki perspektif yang lebih luas dalam memandang resiko pekerjaan.Salah satunya adalah meletakkan amarah atasan dalam spirit profesionalitas saja, tidak menaruhnya di hati terdalam agar tidak baper, sakit hati, hingga berujung dendam...

Sekian dulu ya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun