Kalau saya baca berulang-ulang (minimal untuk melihat apakah ada typo atau tidak) artinya tulisan itu ada harganya untuk saya. Sebab ada banyak juga orang yang habis menulis langsung publish tanpa memeriksa kembali tulisannya.
Ini bukan soal kesalahan teknis seperti typo ya, tapi lebih ke apakah yang nulis menganggap tulisannya sampah atau sesuatu yang ada manfaatnya, minimal untuk diri sendiri.
Kalau ada manfaatnya pasti dia akan baca lebih dari sekali. Bahasa puitisnya itu bukti bahwa dia mencintai tulisannya, jadi dia kunjungi berkali-kali. Kayak nyamperin gebetan gitu deh.
Dari sini dapat disimpulkan saya hanya menulis apa yang membuat saya betah untuk membacanya berulang-ulang, lalu ada manfaatnya minimal untuk diri saya sendiri, dan sudah pasti saya hanya akan menulis apa yang saya suka.
Mustahil orang yang tidak menyukai apa yang ditulisnya akan membaca ulang tulisannya. Yang ada malah pengen menghapus tulisan itukan kalau kita tidak suka.
Saya sendiri beberapa kali menghapus tulisan saya di Kompasiana karena tidak puas dengan hasilnya, saya tidak nyaman membiarkan tulisan saya itu ditemukan di internet.Â
Tulisan itu ibarat baju atau celana.Â
Kalau kita suka pasti kita pakai berulang-ulang, bahkan kalau perlu cuci kering. Karena kita merasa nyaman saat mengenakannya, makanya kita pakai berulang-ulang. Bukan hanya itu, kita juga akan mengenakan baju atau celana yang membuat kita terlihat keren.
Kita pasti menyingkirkan pakaian yang membuat kita tidak nyaman atau terlihat jelek. Tapi sederhana pun sebuah baju atau celana, kalau dia bisa membuat kita tampak anggun dan kita nyaman saat mengenakannya, pasti kita akan menyayanginya.
Kita akan mencucinya dengan hati-hati agar tidak luntur, kita jemur baik-baik, dan selalu kita lipat dengan rapi di dalam lemari.
Saya tidak tahu apakah sudah ada analogi seperti ini sebelumnya, tapi demikianlah hubungan antara penulis dengan tulisannya menurut saya. Seperti seseorang dengan pakaiannya.