Itu kenapa mungkin, hidup yang seimbang akan lebih berguna dibandingkan dengan hidup yang ambisius. Skala prioritas kita bisa berubah, bahkan mimpi pun bisa berubah dalam waktu sehari. Padahal itu mimpi tujuh semester Sis!
Saya dan teman-teman juga mungkin mengalami hal yang serupa. Pada saatnya impian remaja kita yang tak berumus akan luntur dengan pencapaian realistis yang mungkin bisa dicapai dengan perhitungan yang matang.
Saat masih remaja kita masih idealis, ingin kerja di perusahaan A atau B, tapi saat dewasa kita malah dengan bijak berkata, pekerjaan yang bisa menghasilkan uang itulah yang akan jadi passion kita . Tanpa bermaksud mengecilkan, Agnes Mo yang jadi ikon para pemimpi dengan slogan "dream  and  make  it happen" pun mungkin (mungkin ya) tak bisa mencapai mimpinya  untuk go international. Bukan tidak bisa, tapi mungkin belum, tapi terserah deh... apapun itu.
Tapi yakinilah dorongan untuk semakin realistis ini akan muncul saat kita mulai dewasa. Bisa karena sering gagal, sering dikecewakan, atau menyerah dengan tantangan yang ada. Makanya penting untuk bersikap was-was, apakah kita saat ini ternyata sedang berada di jalur yang pesimistis tapi merasa sedang melakukan hal yang realistis.
Ini hanya pandangan saya pribadi.
Belum Menemukan Tujuan Hidup Karena Tak Tahu Mau Jadi Apa
Tak semua yang berdiri di persimpangan remaja dewasa tahu ingin menjadi apa. Repot memang saat kita tak tahu apa yang kita mau. Hal ini wajar, karena memang masanya pencarian jati diri. Jangankan tujuan hidup, disuruh milih jurusan kuliah saja bingung kok. Saya lagi coba mikir bagaimana cara mengatasi kebingungan macam ini.
Nah saya dapat ide, coba libatkan keinginan keluarga, orang tua misalnya, mereka ingin anaknya jadi apa. Siapa tahu tujuan hidup kita memang harus keluar dari mulut orang lain. Karena kalau tidak tahu mau jadi apa, merembetnya bakal lari ke hal lainnya.
Seperti kuliah jurusan apa, setelah lulus mau kemana, dan lain sebagainya...
Nah, ini hanya sekedar berbagi pandangan saja.
Penikmat yang Bukan Pakar