Beberapa waktu yang lalu atasan saya membagikan sebuah artikel di group kantor. Pagi tadi saat baru tiba di kantor beliau menanyakan sesuatu kepada saya, sesuatu yang seharusnya sudah saya dan tim lihat sebagai suatu masalah yang harus diperbaiki, tetapi selama ini kami tak menganggapnya sebagai sesuatu yang harus segera dibenahi. Karena kejadian tersebut, sontak saya jadi teringat tentang artikel yang pernah dibagikan atasan saya itu di grup kantor. Artikel tersebut berbicara tentang blind spot (titik buta). Contohnya petinju, Semua petinju profesional memiliki pelatih. Bahkan petinju sehebat Mohammad Ali sekalipun juga memiliki pelatih. Padahal jika mereka berdua disuruh bertanding jelas Ali-lah yang akan memenangkan pertandingan tersebut. Kalau disuruh adu jotos, pasti babak belur tuh pelatihnya.
Kalau begitu tentu kita bertanya-tanya, kenapa Mohammad Ali butuh pelatih kalau jelas-jelas dia lebih hebat dari pelatihnya? Kita harus tahu bahwa Mohammad Ali butuh pelatih bukan karena pelatihnya lebih hebat, tapi karena ia butuh seseorang untuk melihat hal-hal yang tidak dapat dia lihat sendiri. Hal yang tidak dapat kita lihat dengan mata sendiri itulah yang disebut dengan "Titik Buta" atau "Blind Spot". Kita hanya bisa melihat "Blind Spot" tersebut dengan bantuan orang lain. Dalam hidup, kita butuh seseorang untuk mengawal kehidupan kita, sekaligus untuk mengingatkan kita seandainya prioritas hidup kita mulai bergeser.
Jadi tidak heran kenapa di Eropa sana, profesi pelatih, entah itu pelatih sepak bola, basket, dan berbagai jenis olahraga lain begitu berharga. Pelatih bisa dikatakan adalah profesi elit karena tanggung jawabnya yang memang tidak mudah. Tugas mereka adalah mencari, melihat dan menggali potensi yang bahkan kita sendiri tidak sadari. Mereka juga mampu melihat dan menunjukkan pada kita apa yang jadi kekurangan diri kita. Baik itu sisi positif atau negatif, keduanya berpotensi terhalang kabut hingga terjebak dalam ranah blind spot. Itu sebab pekerjaan mengenal diri sendiri adalah usaha seumur hidup. Apalagi di usia dua puluhan, saat kita hidup di persimpangan remaja menuju dewasa, dengan keinginan yang seabrek-abrek, kita sangat berpotensi hidup dalam blind spot yang dominan.
Dalam artikel yang berjudul, ”Atasan Itu Coach Untuk Melihat Potensi Diri,” saya coba menceritakan pengalaman sekaligus menjelaskan betapa pentingnya agar kita yang muda-muda ini memiliki “coach” untuk melatih diri kita. Coach di sini bukanlah pelatih dalam arti harfiah, sebab saya yakin kebanyakan dari kita tidaklah berprofesi sebagai olahragawan atau penyanyi. Maksud coach di sini adalah carilah panutan yang bisa kita dekati untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik. Orang itu bisa teman, pendeta, guru mengaji, atasan di kantor, hingga kalau perlu kita juga bisa bergabung dengan grup motivasi yang motivatornya bisa diajak tukar pikiran dan memiliki komunitas yang bagus.
Karena memang melihat kekurangan diri sendiri itu lebih sulit. Susah untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri. Akhirnya kita sulit menentukan mana yang harus dimaksimalkan dan mana yang harus diperbaiki. Tapi seperti kisah Mohammad Ali di atas, dia pun tak akan bisa jadi salah satu petinju terhebat sepanjang sejarah kalau dia tak mau “dimuridkan” oleh pelatihnya. Mau untuk dimuridkan bukanlah sesuatu yang mudah. Butuh kerendahan hati serta hati yang lapang untuk menerimanya. Seorang murid harus siap menjalankan dan tunduk di bawah instruksi gurunya. Sebab apa yang diperintahkan untuk kita lakukan adalah cara pelatih untuk mengganti “kacamata kuda” yang selama ini kita kenakan. Seorang pelatih mempunyai cakrawala yang lebih luas dalam memandang diri kita. Pertama-tama dia akan merubah paradigma serta kebiasaan lama kita.
Dia kemudian akan mengoreksi keyakinan-keyakinan lama kita yang salah. Lalu seiring berjalannya waktu, latihan yang diberikannya pada kita akan memunculkan potensi diri kita hingga kita jadi manusia yang lebih baik. Ingat bukan karena dia lebih hebat dari kita, tapi kita butuh orang yang lebih kompeten, bijaksana, dewasa, serta memiliki lebih banyak pengalaman hidup untuk melihat apa yang diri kita sendiri tak bisa lihat.
Dalam teori Johari Windows yang diperkenalkan oleh Joseph Luth dan Harrington Ingham. Kemampuan seseorang untuk memahami dirinya sendiri baik perilaku perasaan dan pikirannya terdiri dari empat bagian.
- Wilayah Terbuka (Open): Segala aspek dalam diri, seperti tingkah laku perasaan dan pikiran selain diketahui oleh diri sendiri juga diketahui orang lain.
- Wilayah Buta (Blind) : Segala aspek tingkah laku, perasaan dan pikiran diketahui orang lain tapi tidak diketahui diri sendiri/tidak disadari diri sendiri.
- Wilayah Tersembunyi/Rahasia (Hidden) :Kemampuan yang kita miliki tersembunyi tidak diketahui orang lain.
- Wilayah Tak Dikenal (Unknown): Aspek dalam diri yang tidak dikenal diri sendiri maupun orang lain. (Sumber klik di sini)
Lihat betapa diri manusia itu tidak terdiri dari hitam putih, terang gelap ataupun buta dan melihat saja. Masih ada sisi-sisi misterius yang harus dikenali. Seperti yang dijelaskan oleh teori Johari Windows di atas. Oleh sebab itu tak ada salahnya, jika selama ini kita coba berusaha sendiri dalam memahami diri, mulai sekarang cobalah membangun gaya hidup berkonsultasi pada mereka yang kita anggap mampu memahami diri kita. Tentu tulisan ini bisa sangat panjang kalau saya harus menjabarkan dengan detail, tapi secara maksud dan tujuan semua sudah terjelaskan pada paragraf pembuka di atas. Lagian nanti kalau kepanjangan jatuh-jatuhnya tulisan ini terasa kayak tugas kuliah yang membosankan. Sip!
(Besi menajamkan besi, manusia menajamkan manusia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H