Mungkin dalam beberapa kesempatan sering kali orang salah sangka pada kita. Niatnya baik ingin memperjelas sesuatu malah dijawab, “Sudahlah santai saja, rempong banget sih bro.” Padahal kita santai, tapi karena niatan kita itu, kita malah disangka tidak santai. Hal ini lah yang juga beberapa kali saya alami. Misalnya saat sedang bekerja bersama rekan, tentu agar pekerjaan tersebut dapat terselesaikan dengan baik harus dilakukan pembagian kerja.
Namanya juga tim, tentu kita tak bisa one man show. Itu sebabnya tiap orang harus tahu apa yang harus dikerjakannya. Tapi terkadang saat kita berinisiatif mengajak sesama rekan bicara untuk memetakan pekerjaan, dan melakukan pembagian tugas, bisa saja kita malah disangka hitung-hitungan dalam bekerja. Menurut saya ini adalah paradigma yang keliru, keliru banget!
Saya sudah perhatikan suatu pekerjaan yang tanggung jawabnya dilimpahkan pada sekumpulan orang pasti kualitasnya kurang baik. Contoh, misalnya sebuah toko serba ada yang mempekerjakan lima orang karyawan, di toko tersebut tak ada leadernya atau kepala tokonya, pokoknya status mereka semua sama, dan seisi toko menjadi tanggung jawab bersama. Saya yakin toko tersebut akan lebih rentan terkena masalah. Mulai dari kehilangan barang, kualitas pelayanan, kualitas kerja, dsb.
Kenapa bisa begitu? Itu karena toko tersebut dijalankan tanpa pembagian kerja yang jelas. Tanpa pembagian kerja, sebuah pekerjaan akan dijalankan dengan cara yang serabutan. Semua orang bergerak berdasarkan inisiatif, dan kalau nanti ada masalah santai saja kan tanggung jawab bersama. Itulah yang saya maksud, bahwa saat pembagian kerja dilakukan bukan berarti kita kerja hitung-hitungan. Pembagian kerja bukan soal keadilan, atau niat kita yang ingin mendapat porsi tugas yang lebih sedikit.
Pembagian kerja itu untuk kebaikan bersama. Walaupun ujung-ujungnya sebuah pekejaan ditanggung jawabi bersama, tetap harus ada orang yang bertanggung jawab secara personal lebih dulu terhadap pekerjaan itu. Melakukan pembagian kerja tak akan membuat kerja sama tim hilang jika diarahkan dengan cara yang tepat. Mentang-mentang pekerjaannya sudah dibagi-bagi, kita jadi tak mau tahu, tak mau membantu tentang segala sesuatu yang bukan pekerjaan kita.
Perusahaan yang diisi dengan orang-orang dewasa tentu punya rasa memiliki (sense of belonging) terhadap tempatnya bekerja. Sikap masa bodoh yang timbul hanya karena pembagian kerja semata bukanlah respon seorang pekerja yang mengaku profesional dan layak dibayar oleh perusahaan. Hal lain yang perlu dipahami, pembagian kerja itu adalah langkah dari proses management yang baik. Apa yang mau di-manage kalau siapa mengerjakan apa kapan dan di mananya saja kita tidak tahu.
Tentu saya tidak lagi menuliskan nasihat tentang cara menjalankan roda perusahaan dengan baik. Boro-boro, punya perusahaan saja tidak kok. Ini hanyalah pengamatan sederhana saya saja, bahwa “berpikir globalnya” seorang pekerja adalah berpikir dari sudut pandang owner, pengusaha, dan perusahaan. Jadi nasihat moralnya adalah jangan mudah kesal, merasa disuruh-suruh, saat ada rekan kerja yang mencoba mengajak kita berdiskusi tentang pembagian tugas dalam bekerja.
Ya kalau dia berlagak kayak bos, menyebalkan, dan bikin kesal itu lain cerita ya. Itu di luar konteks tulisan ini. Manfaat lain dari pembagian kerja yang jelas juga banyak kok. Saat saya bekerja di supermarket dulu, satu divisi itu dipercayakan pada beberapa orang pramuniaga. Di dalam divisi itu pembagian kerjanya tak dipecah lagi, jadi sering muncul konflik tentang “siapa yang paling capek dalam bekerja”. Yang satu merasa dialah yang paling rajin dan capek, sementara dia merasa yang lain kebanyakan santainya, kerjanya tidak serius. (Apalagi pramuniaga wanita, merasa paling benar sendirilah pokoknya, secara gitu loh wanita kan nggak pernah salah)
Tapi percayalah, di dalam pembagian kerja ada kemampuan yang dibangun. Akan terlihat mana yang kerja asal jadi, rata-rata, dan mana yang kerjanya total. Saat seseorang diberi tanggung jawab personal maka dia akan berpikir lebih keras, dan bekerja lebih keras juga tentunya. Contohnya pramuniaga baju bayi, jika baju bayi itu mulai dari A sampai Z dilimpahkan kepada satu atau dua orang pasti kedua orang tersebut akan memiliki product knowledge yang baik. Begitupun soal display, dia akan merasa takut kalau barang dagangannya terlihat berantakan.
Itu sebab waktu dulu saya jadi pramuniaga baju anak-anak, saya kurang hafal barang, saat ada konsumen nanya baju begini tapi nanya nomor segini dan warnanya begini ada nggak ya? Saya bakal kelabakan karena tidak tahu. Bahkan pernah suatu kali saat seorang konsumen nanya jaket jeans bayi --- saya karena malas mencari --- saya jawab dengan diplomasi dan lantang bahwa barang tersebut sudah kosong, sudah diretur dan bla bla bla, lalu saya pasang senyum yang meyakinkan.
Eh tapi tidak berapa lama sang ibu kembali sambil membawa jaket jeans bayi yang dimaksud --- aduh mati aku --- rasa maluku menjalar sampai ke ubun-ubun lalu menggunting urat maluku dan membentukku menjadi pramuniaga bermuka tembok, yang kalau bisa digaji tanpa perlu banyak bekerja. Kejadian begini sangat sering terjadi di antara pramuniaga. Tapi jauh berbeda dengan SPG (Sales Promotion Girl) atau SPB (Sales Promotion Boy) yang menjual produknya, yang bahkan berdiri di sebelah kami. Para SPG dan SPB itu sangat hafal produknya.