Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Diri Sendiri, Objek Riset Paling Dekat dan Tak Terbatas

3 Februari 2017   22:48 Diperbarui: 15 April 2019   14:33 1809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Radiolab.com

Belakangan ini saya sedang melanjutkan (menghabiskan) membaca biografi Sigmund Freud yang bukunya sudah saya beli beberapa bulan lalu. Sigmund Freud bukanlah tokoh favorit saya, sering mendengar namanya sih iya, demikian juga tentang teori psikoanalisisnya, saya sering dengar. Tapi jujur sampai saat ini, bahkan setelah membaca setengah biografinya saya masih belum memahami dengan jelas psikoanalisis itu bicara tentang apa.

Untuk mencari penjelasan singkatnya di Google saya pun masih belum tertarik. Satu-satunya alasan kenapa saya membeli buku tersebut adalah karena ukuran bukunya yang tebal. Saya suka buku tebal karena saat saya taruh di kamar, akan mengesankan kalau saya ini wong pinter, jadi ada faktor pencitraannya sedikitlah.

Menarik juga membaca kehidupan Freud dan pergumulan yang disebabkan ambisi keilmuannya. Freud tak menginginkan banyak hal, keinginan terbesarnya hanyalah menemukan sesuatu. Sekalipun bergelut dalam bidang medis, namun seiring perjalanan hidupnya, Freud berharap menemukan pengetahuan baru dalam bidang psikologis dari penelitian medis yang dilakukannya. Dengan kata lain Freud tak ingin hasil penelitiannya hanya berguna pada dunia medis dan kedokteran secara sempit.

Freud tertarik pada penyelidikan ilmiah sekaligus spekulasi filosofis. Itu sebabnya dia kurang menikmati pekerjaan sebagai dokter, dia lebih menikmati kesendirian di laboratorium untuk melakukan penelitian, atau kalaupun melakukan pekerjaan sebagai dokter, Freud mengobati sekaligus memanfaatkannya untuk menggali informasi dari pasiennya sebagai bahan untuk mengembangkan penelitiannya.

Sebab untuk memperoleh disiplin dalam kerja ilmiah orisinal juga dibutuhkan ruang bagi berkembangnya imajinasi, dan Freud membuktikan bahwa kemajuan lebih lanjut dalam ilmu pengetahuan membutuhkan pengembangan metode atau bahkan metode yang baru sama sekali.

Itu sebab hampir seluruh ide dasar penelitian dan penemuan Freud berasal dari pengalaman pribadinya, sekaligus dia menjadikan dirinya sendiri sebagai objek penelitiannya. Seperti awal kelahiran buku The Interpretation of Dreams yang ditulisnya, sebuah buku yang memaknai tentang mimpi. Freud berujar bahwa  mimpi lahir dari keinginan-keinginan yang tak terpenuhi. Ini hanyalah salah satu contoh, hasil penelitian yang memahsyurkan namanya, keren bukan?Semua hanya berawal dari sebuah analisis diri.

Nah ini hanyalah contoh saja, saya bukan ingin menceritakan kehidupan Sigmund Freud secara keseluruhan. Bahwa ternyata, diri kita baik secara fisik dan perasaan adalah lautan luas yang dapat dijadikan ladang riset yang tak terbatas. Mungkin mendengar kata riset disini kita langsung membayangkan laboratorium lengkap dengan berbagai zat di dalam botol, tapi tentu riset tak sesempit itu.Kalau kata “riset” terlalu sok ngilmiah, mungkin tepatnya diri kita sendiri dapatlah kita jadikan ladang observasi yang teramat luas.Karena tulisan ini bukan tips, melainkan hanya opini ngalur ngidul aja maka lebih rincinya dapat saya katakan begini:

Banyak Ide & Kreativitas Memang Lahir dari Keresahan Pribadi

Coba lihat buku-buku best seller, aplikasi yang solutif dan berbagai inovasi lainnya. Rata-rata semua itu lahir dari keresahan seseorang akan sesuatu. Itu sebab mereka yang sudah sukses di puncak kreativitas dan menjadi tenar banyak menganjurkan agar kita selalu jujur dalam menuangkan ide-ide kita. Bahkan keresahan itu bukan hanya menjelma menjadi ide, setelah menjadi ide dia bahkan akan menjelma menjadi dorongan, lalu dengan sedikit keberanian akan membuat kita berpikir out the box lalu melakukan sebuah terobosan dalam hidup.

Kadang kita berpikir itu biasa-biasa saja. Eh tapi ternyata begitu dilempar ke publik, orang-orang menyambutnya dengan sangat antusias. Tak disangka keresahan yang berasal dari diri kita ternyata mewakili juga kegelisahan banyak orang. Dengan sedikit olahan, segala kegelisahan kita ternyata dapat menjadi sebuah karya, bahkan masterpiece. Jadi kalau kita sudah mentok dan merasa tak menemukan ide di luaran sana, cobalah untuk menutup mata sejenak lalu lihat di dalam diri mungkin disana ada kegelisahan dan keresahan yang dapat dijadikan sebuah ide untuk dikembangkan.

Perasaan Kita Memiliki Konektivitas dengan Perasaan Orang Lain

Apakah Freud bisa membaca pikiran dan perasaann orang lain saat melahirkan teorinya tentang ego manusia? Tentu tidak bukan. Bahkan sekalipun dia membedah hati manusia, tak banyak pemahaman akan psikologi manusia ditemukan di sana. Masa kecil dan berbagai pengalaman hidupnya lah yang dijadikan Freud sebagai premis dalam penelitiannya.

Bagaimana rasanya sedih dan gembira? Sekalipun kita coba bersimpati dan berempati, mencoba merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, kalau kita tak punya pengalaman yang sama dengan orang tersebut rasa-rasanya sulit bagi kita untuk dapat merasakan seratus persen perasaan yang dialami oleh orang tersebut.

Namun sekalipun tak dapat merasakan perasaan yang sama, tapi bukankah kita tetap dapat mengucapkan nasehat yang tepat untuk orang lain? Semua itu tentu karena rasa simpati dan empati telah membuat kita dapat menyesuaikan sikap dan ucapan pada orang dengan berbagai macam situasi.

Semakin banyak pengalaman hidup yang kita alami semakin matang pula kita bersikap saat berhadapan dengan berbagai macam orang. Itu semua tak lepas dari analisis diri yang kita lakukan terhadap diri sendiri.

“Aku tahu kok rasanya gimana, sabar ya.” Begitu mungkin sikap kita saat menghadapi seorang pria yang hampir bunuh diri karena pacarnya dilamar partai politik lalu memutuskannya.

Bayangkan kalau kita tak melakukan analisis diri dan tak mencoba mengingat pengalaman masa lalu kita saat dulu diputusin pacar, mungkin kita bakal memberi tanggapan yang berbeda.

“Dasar cowok cengeng sana mati aja lu!” Tentu semua itu karena kita tak punya wawasan tentang patah hati dan tak pernah mengalami apa yang pria itu alami,jiahhhh.

Konteksnya dengan Dunia Tulis Menulis

Freud pun adalah seorang "pekerja" ilmiah. Dalam berbagai biografi ilmuwan yang saya baca, sudah kewajiban mereka untuk menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Sebab seorang ilmuwan atau katakanlah peneliti haruslah membuat makalah hingga artikel-artikel yang akan diterbitkan di berbagai jurnal yang diakui kridebilitasnya. Dengan  begitu pemikiran dan hasil penelitian mereka dapat dibaca oleh banyak orang.

Belajar dari kehidupan Freud, dapatlah kita mulai melakukan analisis diri atau setidaknya mencari ide dan inspirasi untuk dituliskan jika memang tak ada lagi ide di luaran sana yang bisa kita tangkap untuk kemudian dituliskan.Sekian, babay...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun