Di dalam dunia kerja tentu tentu setiap orang dan setiap divisi memiliki jobdesk dan tanggung jawabnya masing-masing. Jadi setiap orang yang ada di perusahaan ya akan bekerja berdasarkan pekerjaan yang memang sudah dilimpahkan perusahaan kepadanya. Sudah barang tentu ketika setiap orang mengerjakan jobdesk-nya dengan baik, hal itu sudah menciptakan kondisi ideal dalam sebuah perusahaan.
Tapi masalahnya kondisi perusahaan tak selalu berjalan mulus dan lancar, ada saja yang membuat situasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu bisa muncul dari sistem (IT dll), SOP (standard operating procedure), Sumber Daya Manusia, hingga berbagai insiden dadakan yang membuat aktivitas perusahaan menjadi pincang. Contohnya mungkin seperti adanya karyawan yang resign secara mendadak. Tentu ini adalah kondisi yang tak bisa diantisipasi.
Agar aktivitas perusahaan dapat berjalan dengan baik, sudah barang tentu harus ada orang yang untuk sementara mengisi (menghandle) posisi tersebut. Nah dalam keadaan seperti inilah terkadang ego manusia muncul. Ada yang mau membantu karena terpaksa, ada yang tak mau tahu, bahkan tak jarang ada saja orang yang menolak mentah-mentah untuk menolong.
Situasi mendadak seperti inilah yang saya dan divisi saya alami beberapa hari yang lalu. Saat kita sedang meeting, tiba-tiba masuk seseorang dengan maksud meminta bantuan kepada divisi kami. Beliau meminta bantuan dikarenakan sumber daya manusia pada divisi mereka belum mencukupi, atau katakanlah belum siap untuk melakukan sebuah pekerjaan rutin. Jadi harus mencari orang dulu, itu sebab beliau meminta bantuan kami.
Atasan saya tak keberatan untuk membantu, demikian pula dengan tim. Tapi ada satu celetukan atasan saya waktu itu yang membuat saya menulis artikel ini, padahal dia mengucapkanya sambil tertawa.
“Ya kita harus menjadi Negarawan, bukan lagi melihat divisi, tapi yang kita lihat adalah perusahaan.”
Kata negarawan inilah yang membuat saya cukup terperangah. Bagaimana tidak, bukankah kata Negarawan biasanya kita dengar hanya di ranah politik dan Negara yang melekat pada sosok-sosok tertentu saja. Tapi mendadak kata ini coba dilekatkan pada kami para pekerja yang notabene hanyalah orang kecil. Sungguh satu kata yang membuat saya, seperti dipaksa untuk berpikir, dan dipaksa untuk menjabarkan kata Negarawan ini dalam konteks dunia kerja.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Negarawan memiliki arti: ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.
Memang secara arti kalimat bahkan menurut kamus sendiri pun, kata Negarawan lebih cocok dibawa keranah Negara. Tapi saya yakin Negarawan itu bukan soal kata atau julukan untuk seseorang, melainkan soal spiritnya, yaitu memiliki suatu pandangan kedepan yang jauh diatas rata-rata pandangan orang pada umumnya. Serta mau melihat sesuatu dengan lebih utuh, tidak sepotong-sepotong, atau berdasarkan kepentingan pribadi dan kelompoknya belaka.
Hal inilah yang saya tangkap dari ucapan atasan saya saat berkata, “bahwa kita harus menjadi Negarawan.” Padahal kata itu dia ucapkan sambil bercanda, tapi dibaliknya ada sebuah pesan yang amat luar biasa.
Berjalan Dua Langkah Saat Diminta Berjalan Satu Langkah
Ada satu ungkapan menarik yang pernah dikatakan seseorang kepada saya. Sebenarnya saya sudah sering mendengar dan membaca kalimat itu karena memang kalimatnya tertulis dalam alkitab. Tapi sudut pandang yang berbeda terhadap ayat itulah yang membuat saya merunduk-runduk saat mendengar ucapan orang itu.
“Kalau di minta berjalan satu langkah, berjalanlah dua langkah. Itulah kunci keberhasilan.”
Awalnya saya tak paham, tapi setelah orang tersebut menjelaskan panjang lebar, barulah saya mengerti apa maksud perkataanya. Ternyata ayat itu dan perkataanya adalah tentang berbuat lebih. Berbuat melebihi apa yang diminta dan diperintahkan kepada kita. Sekarang baru saya mengerti kenapa dulu yel-yel perusahaan tempat saya bekerja selalu begini: atasan kami meneriak kan nama perusahaan, baru kami semua berteriak do more do more do more sampai tiga kali.
Pengertian ini sebenarnya sangat membantu kita di dunia kerja. Bukankah selama ini mentang-mentang kita ada pada divisi pakaian anak-anak, begitu ada konsumen yang kelimpungan mencari pakaian pria dewasa kita langsung melayani konsumen tersebut dengan ala kadarnya saja. Atau bisa jadi kita malah menghindar.
Padahal masih satu perusahaan, masih satu atap, lokasi pakaian anak-anak yang kita jaga dengan pria dewasa pun hanya berjarak satu meter saja. Nah disinilah pandangan “Negarawan” itu dibutuhkan. Kita tidak lagi memandang konsumen tersebut dengan semangat melayani yang terkotak-kotak. Toh tidak setiap saat kita harus mengerjakan sesuatu yang bukan jadi jobdesk kita, hanya pada waktu-waktu tertentu saja toh, ya kan?
Jadi tiap kali kita akan melakukan sesuatu yang kita lihat bukan lagi divisi per divisi ataupun orang per orang, melainkan perusahaan dimana kita bekerjalah yang menjadi gambaran utuh dan menjadi fokus kita. Jangan pikir ini hanya soal loyalitas, berbuat lebih ataupun menjadi Negawaran ditempat kerja. Sebab apa yang terjadi di luar pasti akan mempengaruhi apa yang ada di dalam diri. Kalaupun tidak, bukankah kejadian-kejadian seperti ini dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk tulus membantu orang lain?
Jangan dikira hanya kenaikan BBM yang punya efek domino, bantuan kecil yang kita berikan untuk orang lain atau perusahaan juga akan diperhitungkan. Kalau pun tidak, bantuan kita dapat menjadi tabungan dalam hubungan kita dengan orang lain, sesuatu yang akan mereka kenang dan ingat. Walau tak berharap balas budi, tapi ada saja jalan nya bahwa kita akan menerima kebaikan orang yang kita bantu suatu hari nanti.Segini dulu aja, takut melenceng kemana-mana.
Boleh setuju boleh tidak
Penikmat yang bukan pakar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H