Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kita Menjadi Seorang "Haters" Saat Diperbudak oleh Emosi

8 Januari 2017   20:31 Diperbarui: 15 April 2019   14:30 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi media sosial. GrowFast.net

Akhir-akhir ini media sosial, terutama Facebook benar-benar riuh dengan berbagai kritik sosial yang terkadang malah kebablasan. Baca blog liar sedikit langsung percaya, langsung share, dan langsung menambahi dengan status-status yang kebanyakan terasa emosional.

Contohnya mungkin mereka yang selalu mengkritik habis satu tokoh tanpa mau memperhitungkan sepak terjang positif yang telah dia lakukan. Ini bukan hanya subyektif, melainkan sudah terkesan membabi buta dan tidak adil. Bukankah Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, bahwa kita harus adil sejak dalam pikiran?

Memiliki perspektif yang membabi buta tidak akan pernah membangun apa yang kita pandang atau kritisi. Memelihara perspektif yang membabi buta juga tak akan menghancurkan apa yang kita pandang dan kita kritisi. Justru diri kitalah yang akan dihancurkannya. Percaya atau tidak, semua hanya soal waktu saja. Bagaikan rayap, dia akan menggerogoti kita dari dalam.

Memang jadi terkesan kritis karena kita bisa menemukan bukti-bukti, seperti literatur di internet misalnya, untuk mengkritik satu sosok. Tapi pada kenyataanya bukti-bukti tersebut kita kumpulkan bukan untuk mengkritik saja. Di sisi tersembunyi tanpa kita sadari diri kita telah diproses untuk membenci, untuk memupuk ketidaksukaan.

Dorongan inilah yang beberapa waktu lalu saya baca, bahwa manusia kini cenderung mencari informasi hanya sebagai bentuk affirmasi. Hanya sebagai bentuk informasi untuk meneguhkan keyakinannya. Jadi kalau kita membenci seseorang kita hanya akan membaca informasi yang mendukung claim kita bahwa memang dia pantas dibenci atau dikritisi.

Akhirnya menurut saya pribadi persoalan ini bukan hanya persoalan etika dan moral di media sosial. Kalau dilihat lebih dalam, persoalan ini sudah merembet pada persoalan psikologi manusia .Seperti kita tahu, psikologis adalah sisi terdalam manusia, bagian yang tak terlihat, tapi di sanalah jiwa, hati, dan pikiran bekerja dan mendominasi. 

Maka jika bagian dalam diri manusia yang mendominasi itu sudah rusak, sulit untuk menjamin bahwa manusia itu tak akan melakukan perilaku yang merusak juga.

Lalu bagaimanakah agar sebuah perspektif yang membabi buta tak menjadi gaya hidup bagi kita dalam memandang sesuatu?

Kita tak bisa memproduksi rasa benci dari dalam diri

Sebenarnya tidak ada yang namanya haters kalau kita sadar bahwa hati manusia tidak didesain untuk membenci. (Aduh kok saya kayak pendeta ini ya). Kalaupun ada yang harus kita benci, seperti korupsi dan berbagai tindakan yang melawan hukum misalnya, itu adalah perasaan yang menjaga kita agar tak melakukan hal yang demikian. Dan perasaan ‘benci’ yang begini tidaklah merusak.

Itu sebabnya kita harus kritis pada kritik yang kita sampaikan. Artinya untuk menjadi obyektif dan adil sejak dalam pikiran, bahkan kita harus mempertanyakan dulu apakah hal yang kita sampaikan itu adalah murni suatu kritik yang di dalamnya terdapat suatu saran yang membangun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun