Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Kerja Setengah Mati, Tapi Tak Dianggap Karena Laporan

11 Oktober 2016   12:53 Diperbarui: 15 April 2019   14:20 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah nggak kamu sudah kerja banting tulang, mati-matian, dan sampai jumpalitan tapi malah nggak dianggap sama atasan. Bukanya dipuji dan diapresiasi tapi malah dicap kerja asal-asalan, nggak becus, dan malah dituding begini-begitu, apes dah. Kalau pernah, tenang saja, kamu tidak sendirian kok, banyak juga pekerja mengalami hal yang demikian. Saya juga pernah mengalaminya kok.

Seperti biasa, tulisan ini hanya sekedar intermezzo, hasil observasi sederhana dan pengamatan sehari-hari saya saja. Nah salah satu faktor yang menyebabkan kerja kita tak dianggap padahal sudah total dan nunjukin loyalitas tanpa batas adalah laporan. Saya sih termasuk orang yang malas bikin laporan, apalagi kalau sudah berhadapan dengan excel, mending saya disuruh nulis sepuluh artikel dalam satu hari daripada harus input-in data.

Tapi karena kita pekerja ya mau nggak mau harus dikerjain. Jadi tanpa berpanjang lebar lagi saya bakal coba ceritain sedikit apa yang saya tahu, kok bisa sih kita sudah kerja mati-matian tapi malah tak dianggap hanya karena sebuah laporan. Teruslah membaca...

1. Mereka Jauh dan Bukan Orang yang Mengerti Lapangan

Saya nggak tahu apa hal begini berlaku juga buat pekerja lain. Tapi kalau buat orang lapangan kayak kita, terus punya atasan yang bukan orang lapangan, atau kasarnya tidak paham lapangan, maka mulailah perbaiki cara kita melaporkan sesuatu. Sebab, atasan dengan tipe seperti ini memang bukan pemain di lapangan, tapi mereka sangat rapi kalau sudah menyangkut data.

Saya pernah didamprat karena hal beginian. Kerjaan beres sih, bahkan kita sampai pulang malam. Masalahnya kan atasan kita tidak satu ruangan, jadi mereka tidak lihat kita pontang-panting, bagi mereka laporan itu adalah cerminan kinerja kita. Mereka tak mau berpikir lebih, bahwa kadang kita kelelahan sehingga tak sempat nginputin atau nyusun laporan.

Dalam konteks ini saya ceritain kemungkinan terburuknya, bahwa laporan itu penting. Apalagi jika dalam sebuah perusahaan, tak ada format baku untuk menyusun laporan. Jadi mulailah menaruh perhatian bahwa membuat laporan itu sama pentingnya dengan menyelesaikan pekerjaan.

Bahkan sekalipun di depan atasan kita terlihat sibuk, tapi pas baca laporan kita berantakan siap-siap saja dikatain "Loh kamu kelihatan super duper sibuk ngerjain apa aja sih?” Pasti tak enak di gituin kan. Apalagi atasanya ada di pusat dengan jarak ribuan kilometer, laporan bisa jadi satu-satunya cerminan kinerja kita.

2. Laporkan Setiap Hari Lewat Email

Untuk menghindari penumpukan, laporkanlah pekerjaan kita setiap hari dalam format harian. Kalau tidak ada inisiatif saja, bikin sendiri formatnya. Biasanya atasan bakal lebih senang kalau tiap hari dapat mengetahui apa saja yang kita kerjakan.

Setelah itu bikin rekapan mingguan dan bulananya. Tentu tak bisa dipukul rata, setiap perusahaan punya ketentuan masing-masing. Tujuan rekapan adalah untuk mempermudah yang di atas membaca laporan kita. Sebab setahu saya seorang atasan, apalagi seorang owner, pasti meminta rekapan sebuah laporan. Ya iyalah masa mereka disuruh merangkum sendiri.

Laporan harian juga berfungsi untuk mengantisipasi kalau-kalau terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Misalnya, dulu saya pernah bekerja ngurusin surat-surat kendaraan, kebetulan ada beberapa kendaraan yang kena tilang. Saya pun hanya menginput laporan itu untuk arsip saya. Sialnya di bagian pengurusan surat-surat kendaraan yang ditilang, tilangan itu tak kunjung beres.

Lalu si pemilik kendaraan pun mengadu ke atasan saya, akhirnya yang kena siapa coba? Hikss, SayaahhKenapa tidak melaporkan ke dia, biar dia bisa ngepush pada bagian yang mengurus surat-surat kendaraan yang ditilang itu, begitulah maksudnya.

Nah itulah gunanya laporan harian. Jangan sampai pada laporan bulanan atau meeting kita di‘bantai’ gara-gara di dalam laporan tersebut ada masalah yang seharusnya sudah selesai tapi tak kunjung kelar. Kalau di laporin tiap hari kan kita tenang, tak ada alasan menyalahkan kita, ada batasan yang memang membuat kita tak bisa menyelesaikan masalah tersebut. Kalau sudah dilaporkan, biarlah atasan atau bagian-bagian yang sudah ditunjuk yang mem-Follow up masalah tersebut sampai selesai.  

3. Laporan Harus Update, dan Jangan Lupa Nge-CC In Pada Mereka yang Harus Tahu

Nah saat kita mengirim laporan lewat email, usahakan jangan hanya dikirim pada satu bagian saja. Kalau memang dalam bagian itu harus ada pihak lain yang mengetahuinya, maka jangan lupa untuk di CC-in (Carbon Copy) pada pihak-pihak lain agar mengetahuinya. Selain itu kalau memang itu penting dan butuh di respon, biasakanlah untuk meng-capture resume atau menulis point-point penting di badan email. Sebab ada saja orang yang malas buka email, jadi kalau point penting nya terpampang di badan email setidaknya itu bisa membuat email kita di baca segera.

Misalnya kita perlu meminta sebuah langkah tindak lanjut pada sebuah divisi atas suatu kasus, kirim lah email pada orang yang di tuju lalu CC-kan pada atasan dia dan atasan kita (tergantung situasi). Tujuanya biar kita kelihatan kerja haha. Nggak,  gitu juga sih, jadi maksudnya agar kelihatan profesional dan resmi saja. Jadi kalau suatu saat di singgung, kita ada bukti resmi bahwa kita sudah tindak lanjuti, tunjukan saja emailnya sebagai bukti, jadi bukan hanya lewat omongan belaka. Kalau kita sudah lakuin ini, bila terjadi sesuatu di depan percayalah kita sudah tidak akan disalahkan.

Mengenai laporan yang dikirim ya usahakan valid, jangan sampai nanti pas di uji laporan kita itu tidak benar.Yang kena siapa?Ya kita yang  melaporkan dong.

4. Selalu Buat Bukti Serah Terima dan Rekapan

Seorang karyawan merasa sudah memberi surat izin, tapi atasan kita merasa belum menerima, tapi asli kita sudah ngasih ke dia. Kasus kayak gini sering kali terjadi. Tapi saat di perdebatkan kita cuman bisa mengelus dada. Sebab tak ada bukti serah terima. Oleh sebab itu entah apapun posisi kita ada baiknya menyediakan sebuah buku sebagai bukti serah terima terhadap suatu hal. Jadi di buku itu ditulis tanggal, nama, jenis barang yang diserah terimakan, plus tanda tangan yang menyerahkan dan menerima.

Sekarang sih tak ada masalah, tapi tunggu saja nanti begitu terjadi kehilangan atau kesalahan laporan (bisa pemotongan gaji, contohnya karena surat ijin tadi) barulah kita kelimpungan. Baik yang di atas maupun yang dibawah bukti serah terima ini perlu.

Contoh lain, jangan sampai kita sudah capek-capek mendata jumlah produk atau aset dilapangan, tapi datanya kita input dan kita jadiin  bacaan pribadi. Lebih baik data itu di print lalu cantumkan tanda tangan pihak-pihak terkait dibawahnya. Hal itu berarti kita lagi nunjukin kondisi atau kuantitas produk di lapangan lalu saat mereka tanda tangan berarti produk-produk itu beserta jumlahnya telah kita serah terimakan dengan pihak yang bertanggung jawab untuk menjaga produk atau aset tersebut (kepada security misalnya).

Dengan begini jika suatu saat terjadi apa-apa berarti hal itu bukan menjadi tanggung jawab kita lagi. Bukan berarti ini trik untuk lepas tangan ya, tapi kan memang semua bagian punya tanggung jawab masing-masing.

Point kelima ya kesimpulan dari tulisan ini saja kali ya. Jadi pada intinya kadang memang betul kita kerjanya bagus, loyal, dan habis-habisan tapi pihak yang membawahi kita bukan ingin mendengar drama jatuh bangun kita saat bekerja, mereka yang di atas kan juga butuh laporan untuk di laporkan ke bagian yang paling atas nya lagi. Nah semua itu mengandalkan laporan berantai, mulai dari yang paling bawah sampai ke yang paling atas.

Bahkan kalau ada kendala dalam proses pengerjaan hal itu pun dapat kita jadikan laporan. Intinya yang punya perusahaan tuh pengen tahu apa saja yang terjadi di perusahaanya, tentu semua itu bisa diketahui dengan membaca sebuah laporan.Jadi kalau di antara kamu, iya kamu, ada yang merasa sudah kerja 'mati-matian' tapi serasa belum di hargai dan di apresiasi coba cek cara kita melaporkan sekaligus bagaimana isi dari laporan kamu.

Tulisan ini lahir dari seorang yang malas bikin laporan.

Boleh setuju boleh tidak

Penikmat yang bukan pakar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun