Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Berdebat Panjang Lebar, Eh Ternyata Maksudnya Sama

10 September 2016   09:20 Diperbarui: 15 April 2019   14:12 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar (progralicious.blogspot.com)

Tentu kita tidak asing dengan yang namanya diskusi. Sebuah diskusi bisa terjadi di mana pun, pas ketemu teman di jalan, di warung kopi, di ruang keluarga, bahkan di mana pun kita bertemu seseorang, diskusi bisa terjadi sekalipun dalam bentuk nonformal. 

Ada lagi sebuah diskusi yang memang sudah direncanakan yang topiknya telah ditentukan. Contohnya, forum diskusi di televisi hingga meeting yang diadakan di tempat kita bekerja. Tapi yang namanya diskusi kan tidak selalu berlangsung hangat, ada saja yang namanya perdebatan, bahkan konfrontasi yang tak jarang lebih didominasi emosi, meledak-ledak lagi.

Saya sih bukan antiperdebatan. Justru perdebatan adalah aktivitas yang dapat mempertajam gagasan, bahkan melahirkan inovasi baru. Perdebatan dalam sebuah diskusi dapat mempertajam ide yang tadinya rata-rata menjadi sebuah pandangan kritis. 

Mengutip pernyataan yang tertulis di dalam Alkitab, mungkin inilah salah satu aktivitas dari ayat yang berbunyi, ”Besi menajamkan besi, manusia menajamkan manusia.”

Dalam sebuah perdebatan ada cakrawala yang diluasakan, ada perspektif baru dan diharapkan sih melahirkan solusi segar yang dapat memecah kebuntuan. 

Tapi dari hasil pengamatan dan pengalaman sederhana saya, dalam meeting di kantor misalnya, ada cukup banyak hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan dan dilakukan tapi terus di bahas, bahkan merampok topik utamanya. 

Belum lagi bicara masalah karakter, ada saja orang yang membuat diskusi diselimuti perdebatan yang mubazir dan tak kondusif. Saya suka prinsip less is more.

Pertama kali dengar prinsip ini saya juga bingung kok artinya apa. Kalau diartikan secara kata akan aneh kurang adalah lebih, apa sih nggak jelas banget, illogical

Nah, tapi menurut sumber yang saya baca disini, less is more itu memiliki maksud bahwa kesederhanaan (simplicity) dan kejelasan (clarity) akan mengarahkan kepada desain yang baik. Jadi, dalam arti lain begini, sebaiknya tidak perlu mengadakan apa yang seharusnya tiada. 

Dalam konteks manusia, seperti yang dibilang orang bijak, kita tidak perlu melakukan dengan sangat baik apa yang seharusnya tidak perlu dilakukan, karena itulah kesalahan terbesar kita.

Nah, dalam sebuah diskusi hal ini sering kali terjadi. Di mana beberapa orang malah memperdebatkan apa yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan. Ini hanya satu contoh, ada beberapa hal lagi yang dalam sebuah diskusi menurut saya harus kita perhatikan.

1. Tak Selamanya Pandangan Kritis Diperlukan

Dalam sebuah meeting hal model begini sering kali terjadi, terlepas dari diskusi itu terjadi dengan berbagai model karena ada kasta di sana. Misalnya kita sedang menerangkan sesuatu, pasti ada saja orang yang langsung menginterupsi dan memaparkan pandangannya. 

Bahkan parahnya terkesan tendensius. Saya sih tidak anti ya, saya juga awalnya di kampus hobi berdebat. Tapi makin ke sini saya sadar bahwa kurang tajamnya bahasa yang digunakan seseorang dalam menjelaskan sesuatu tidak berarti pemahamannya akan topik yang disampaikannya kurang. 

Boleh saja kita mempertajam atau memperjelas pernyataan orang tersebut, tapi jangan membuat kesan kalau dia kurang paham.

Karena tak semua manusia diciptakan pandai berbicara. Sama halnya tak semua orang diciptakan untuk pandai menulis puisi dan merangkai kata. Jangan dikira orang yang tak bisa bikin puisi itu tak tahu artinya rindu atau cinta atau apalah, jangan-jangan mereka lebih sensitif soal rasa, hanya saja sulit menuangkannya dalam bentuk bahasa. 

Sebab terkadang saat kita berbicara, kita selalu menggunakan perspektif kritis untuk mencari celah yang dapat menonjolkan serta membangun citra diri semata. Kita berusaha membuat orang gagal fokus dengan menyeret perhatian mereka.

Saya tak bilang berpikir kritis salah loh ya, tapi maksud saya lihat momennya. Agar saat kita mengutarakan pandangan, tujuannya memang untuk mempertajam dan menggali topik yang dijelaskan, bukan untuk mengintimidasi atau menjatuhkan. 

Itu sebab, ada kalanya kita perlu kayak yang Ariel Noah bilang tak perlu berpikir hanya perlu memahami hehe. Justru orang yang kritis, terkadang harus bisa menangkap sebuah maksud dalam pemaparan bahasa yang lemah.

2. Disuruh Bikin Pertanyaan malah Bikin Pernyataan

Pernah nggak ngelakuin yang beginian? Saya sih sering haha. Biar kelihatan pintar. Biasanya dalam sebuah diskusi kan ada tuh sesi buat bertanya, nah kadang-kadang kita tuh bukannya bertanya tapi malah menyampaikan pernyataan.

Nggak apa-apa sih kalau pernyataan yang disampaikan hanya untuk menjelaskan sedikit kronologis atau contoh agar pertanyaannya lebih tajam dan dimengerti. Mirip soal cerita dalam pelajaran matematika waktu kita SD lah.

Tapi kadang bikin risih juga kalau ada yang bicara tidak sesuai sesinya. Maksud saya sih biar kita nggak mempermalukan diri sendiri sih. Ya kalau waktunya bertanya ya bertanya aja, nah pas disuruh ngasih saran atau tambahan barulah di situ utarakan pernyataan-pernyataan kita. Jadi bedakan ya mana pertanyaan mana pernyataan hehe.

3. Berdebat “Berdarah-darah” Ternyata Maksudnya Sama

Kalau yang model begini nggak kehitung lagi sudah berapa banyak saya dengar. Ya mungkin inilah efek kurang memahami tadi. Kayak Stephen Covey bilang, mereka mendengar untuk memberi jawab, bukan untuk memahami. Jadi yang bermasalah di sini bukan lagi mulut, tapi telinga. Menurut saya untuk memahami sesuatu, kita harus berpikir seperti anak training kemarin sore. Tujuan mendengarkan ya untuk memahami, biar paham dan ngerti. Bukan untuk mengkritisi.

Mengkritisi atau berpikir kritis itu ada pada tahap analisanya. Bukan pas memahaminya. Jadi dipisahkan saja, inilah yang namanya pola pikir. Semua ada tahapannya kan. Jadi otak dan keinginan berbicara bisa di-manage sedikit. Tidak semuanya harus dikatakan saat otak kita tak bisa berhenti berpikir. Kan lucu kalau sudah berdebat panjang lebar yang lahir bukan gagasan baru, melainkan cuman kata “ohhh” ternyata itu toh maksudnya.

Lah ternyata sama cuman beda bahasa. Itu sebab memahami ngobrolan juga seperti belajar bahasa Inggris, dalam memahaminya kita tidak bisa mengartikannya kata per kata, ada kalanya harus memahami secara keseluruhan agar tertangkap maksudnya. Saya sih nggak ngajarin, ini hasil pengamatan sehari-hari saja. Kan tidak semua orang pandai berbicara.

4. Bicara Terlalu Panjang tapi Muter-muter

Kadang pasti kita pernah mendengar sebuah pemaparan yang panjang tapi miskin kebaruan. Bahkan miskin informasi. Si orang tersebut hanya berbicara dengan banyak pengibaratan yang berbeda-beda tapi artinya sama. Menurut saya ada kalanya hal ini membosankan. Memang sih tingkat pemahaman orang-orang itu berbeda, tapi dalam situasi tertentu ada kalanya seseorang lebih mudah menangkap penjabaran yang pendek tapi pas. Berbicara singkat bukan berarti pengetahuan kita kurang toh, iya kan?

Bukankah lebih baik waktu yang ada diberi ke orang lain. Misalnya mintai pendapat, pertanyaan, kritik hingga saran. Walaupun kemampuan kita jauh di atas rata-rata, tapi lebih asyik kalau semua terlibat berbicara. Namanya juga diskusi. Kalau yang bicara cuman satu orang itu namanya ceramah. Walaupun kita tahu banyak, tak ada salahnya juga sesekali menggantung argumen, agar yang lain terpancing untuk menambahkan.

5. Bawa Sifat Apa Adanya ke Forum, Jangan Dihambat Ekspresi

Serius kan nggak mesti menegangkan ya. Dalam meeting yang biasanya dihadiri oleh atasan, akan lebih nyaman kalau meeting tersebut dibuat secair mungkin. Alasanya, forum yang nuansanya menegangkan bisa menghambat otak dan mulut dalam berpikir dan berbicara. Sebab kita ada di bawah tekanan formalitas.

Tentu butuh orang-orang yang fleksibel untuk membangun suasana diskusi seperti ini. Yang tak jaim walau tak mesti ekspresif. Saya beberapa kali menemui seseorang akan salah mengambil langkah ketika bersikap akting, walau tidak over. Misalnya seorang direktur, dia berusaha bertingkah dan berekspresi sesuai dengan gelar yang disandangnya, dan bukan lagi dengan naluri manusianya. 

Jadi begitu ada yang bicara, dia langsung bertanya setajam-tajamnya, misalnya soal data. Setelah ceramah panjang lebar, si anak buah nyahut, ”Lah kan datanya sudah saya email ke bapak kemarin.” Aduh mampus dah.

Walau masih sebatas observasi belaka, tapi saya menemukan kesimpulan, ternyata mengatur-ngatur ekspresi dapat menghambat pola pikir kita. Tak sampai di sana, berusaha mengatur ekspresi sedemikian rupa dapat membuat kita menjadi orang yang lebih gegabah. 

Jangan menyetir respons natural dan sikap spontan dengan gaya untuk mencitrakan gelar yang disandang. 

Dari yang saya lihat, orang kayak gini malah sering keliru dalam berinteraksi saat diskusi. Dia hanya fokus pada style sorot mata dalam mendengarkan (biar kelihatan keren), tapi pikirannya terbagi antara mendengarkan dan memikirkan dirinya.

Mungkin hanya ini dari saya, kalau ada yang lain silakan ditambahkan.

Boleh setuju boleh tidak

Penikmat yang bukan pakar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun