Sebenarnya, kisah-kisah dalam FTV sendiri bisa jadi adalah bentuk kerinduan sebagian besar penikmat film. Misalnya, seorang yang hidup nya pas-pasan dan belum juga menikah, tentu dia berharap segera menemukan pasanganya. Nah kisah yang tersaji dalam FTV bisa jadi adalah puncak angan-angan andai saja hal itu terjadi dalam hidupnya.Â
Betapa romantiknya hidup saat seorang pria yang hidup pas-pasan diuber-uber gadis cantik anak konglomerat hanya karena pria itu jago bermusik contohnya. Bukankah begitu yang sering di tayangkan? Si wanita FTV tadi mencintai si pria karena kebaikan hati dan talentanya, yang membuatnya bisa menerima segala kekurangan si pria. Siapa yang tak terbuai dengan cerita hidup yang demikian. Apalagi semua FTV selalu berakhir dengan happy ending apapun judul dan siapapun pemeranya.
Kisah dalam FTV bisa jadi ialah obat dari kenyataan yang pilu. Sebuah kisah yang "berandai-andai." Tapi ada hal yang membuat saya terus berpikir, dalam cerita atau gagasan yang ditawarkan oleh video Ekspektasi vs Realita atau Film vs Realita ini sisi yang nggak enaknya selalu menjadi milik sosok yang sama namun hidup dalam realita.Apakah iya sebegitu flat dan bengisnya alur dunia nyata?
Pandangan saya sih begini. Bedanya film dan realita adalah, film menyajikan kisah yang sudah diracik oleh ahlinya. Mulai dari penulis skenario, soundtrack, pipi-pipi mulus artis, hingga kru yang membuat berbagai spesial efek,ya gitulah.
Ibarat kata nih, kita sudah disajikan makanan jadi tanpa harus memasaknya. Film membuat kita bisa jadi penikmat yang mudah, tapi realita membentuk kita menjadi seorang fighter hanya untuk menikmati hidup.Sama-sama hidup sih, tapi film mengesampingkan apa yang terjadi seharusnya demi keindahan sebuah cerita.
Bahkan, sesuatu yang harusnya jadi penderitaan atau pertengkaran dalam FTV pun dapat disajikan dengan kocak dalam balutan musik (cintaku klepek-klepek sama dia). Dalam dunia nyata hal tersebut menimbulkan luka dan beban yang nyata.Yang tak dapat ditanggung hanya dengan ekspresi nanar semata.
Film-film itu tak salah, karena bayangkan kalau dia menyajikan sesuatu yang senyata realita, mulai dari kisahnya, dialognya, hingga penyelesaiannya. Apa yang terjadi? Bukankah kita malah bosan dan malah terperangkap kenyataan. Memang yang indah-indah lebih banyak milik yang tidak nyata, tapi selalu menjadi kisah yang menakjubkan karena disanalah kunci kenikmatan hidup tanpa harus lari dari yang nyata.Â
Lalu bisakah suatu hari semua ini dibalik? Atau minimal seimbang. Jika dalam film kebahagiaan atau cinta tak memandang kasta, katakanlah suatu saat tak ada salahnya jika anak konglomerat menikah dengan penjual cilok di jalanan kota Bandung.
Di satu sisi, inilah kisah yang sering dikritik penonton tanpa melihat sisi positifnya. Kebanyakan dari kita begitu menghujat apa yang tak realita, misalnya ketika si gadis konglomerat tadi tergila-gila dengan tukang cilok yang hidupnya melarat.Â
Antipati kita langsung menghujam, ah nggak masuk akal, film indonesia kan memang gitu murahan, seolah secara tak langsung kita malah menghakimi bahwa dalam dunia nyata nggak ada yang begitu, bahwa pada kenyataanya seorang tukang cilok tak pantas di cintai anak orang tajir, dan hanya seorang wanita bodoh yang melakukan itu.
Seolah dalam dunia nyata, hal yang begini-begini menjadi tabu. Kita kehilangan optimisme bahwa siapapun memiliki kesempatan yang sama di hadapan yang realita dan bukan. Lalu benarkah di dunia nyata ada wanita kaya raya yang jatuh cinta dengan penjual cilok yang miskin?Â