Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Simbiosis Mutualisme Antara Menulis dan Berbicara

30 Juli 2016   16:42 Diperbarui: 15 April 2019   13:52 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar (menuliskreatif.com)

Beberapa hari yang lalu saya di beri kesempatan untuk jadi pembicara dalam sebuah perkumpulan rutin yang di adakan oleh perusahaan tempat saya bekerja. Jujur saya bukan orang panggung, itu sebab saya selalu mengalami demam panggung tiap kali di suruh bicara di depan umum. Tapi puji syukur kepada Tuhan yang maha kuasa, demam panggung saya sekarang sudah berkurang seiring putusnya urat malu yang saya miliki hehe (Jadi bukan karena jam terbang saya yang makin tinggi ya hehehe).

Karena temanya bebas dan ditentukan oleh pembicara, maka saya bingung ingin membicarakan apa. Tapi karena sudah di jadwalkan maka mau tak mau saya harus menyiapkan materi untuk nanti disampaikan. Sekonyong-konyong datanglah keajaiban, saya tahu harus menyampaikan apa nantinya. Keajaiban yang saya maksud disini tak bersifat surealis hingga butuh keahlian khusus untuk memahaminya.Keajaiban yang saya maksud bisa dilatih dan semua orang bisa melakukanya. 

Saya sendiri tidak tahu apakah materi yang saya bicarakan saat itu dapat di mengerti 100% oleh pendengar, saya juga tak menanyakan apakah cara saya menyampaikanya menarik atau tidak. Bisa tampil hingga selesai dan tidak pingsan  saja sudah syukur kok, hehe. Tapi tak usahlah dulu berbicara mengenai audiens, biarlah hal itu jadi pembahasan mereka yang ingin jadi pembicara profesional kayak om Mario Teguh. Mari kita bicara diri sendiri dulu.

Saya sendiri sadar kemampuan berkomunikasi itu sangat penting. Baik di kampus saat mempresentasikan tugas, atau di dunia kerja saat mempresantikan laporan kerja. Keduanya membutuhkan kemampuan komunikasi yang baik. Namun dalam prakteknya saya menemukan, bahwa pembahasan mengenai trik dan teknik berkomunikasi yang hanya membahas gesture, mental, dan tata bahasa masih sangat dangkal jika kita ingin lancar berbicara di depan umum.

Ada satu resep ajaib yang menurut saya dapat membuat kita lancar berbicara di depan umum. Resep ini baru kemarin saya sadari saat ditunjuk jadi pembicara (yang membawakan materi sharing). Cara ini tidak dangkal, tidak sekedar bicara tips-tips umum, melainkan jika dilakukan sesering mungkin dapat membangun kapasitas kita sebagai pembicara yang baik, bukan hanya untuk umum namun juga jadi pembicara hingga pendengar yang baik secara intrapersonal dan interpersonal.

Lalu apakah resep dan trik ajaib itu?

Menulis!

Materi yang saya tulis di buku saya untuk di sharingkan (dokumen pribadi)
Materi yang saya tulis di buku saya untuk di sharingkan (dokumen pribadi)
Kalian tidak percaya? Biar saya jelaskan bagaimana menulis dapat membuat kita menjadi pembicara yang baik.

1. BERBICARA TIDAK BISA SEKEDAR MENGANDALKAN BAKAT ALAMI

Pembicara yang baik belum tentu bisa jadi penulis yang baik, bisa menulis juga belum tentu bisa. Tapi penulis yang baik dapat dipastikan bisa menjadi pembicara yang baik juga. Apa sebab? Penyebabnya, karena menulis membutuhkan orisinilitas.

Bagi saya pribadi orisinilitas adalah salah satu gagasan yang mahal.Banyak membaca hingga mendengar sebenarnya sudah bisa jadi modal untuk jadi pembicara yang baik.Ini adalah bakat alami kita, yaitu mendengar dan melihat (membaca) sesuatu. Namun dengan hanya mengandalkan kedua hal ini, kalau kita tak cukup cerdas, takutnya apa yang kita sampaikan nanti hanya lah sebuah pengulangan, pembahasan umum, hingga sesuatu yang basi dan hanya diramu dengan bahasa versi kita sendiri.

Saya harap teman-teman dapat merespon dengan positif, bukan maksud saya mengatakan kalau menyampaikan sesuatu yang sudah pernah disampaikan sebelumnya itu buruk. Contohnya, bersih itu sehat. Bukankah ini adalah petuah purba yang sudah ada sejak dulu kala. Tentu ini adalah kalimat yang harus selalu di sampaikan pada generasi lintas generasi. Jadi bukan maksud saya agar setiap jadi pembicara kita harus membuat pendengar terkejut-kejang dengan bahasa kita yang bombastis karena bermaksud agar terdengar orisinil.

Tapi dari pengalaman kemarin saya belajar bahwa dengan rajin menulis, kita akan mampu meleburkan bahasa dalam konteks nuansa yang baru. Kalaupun topik nya sudah klasik tapi dengan rajin menulis, kita dimampukan menyajikan solusi,pengalaman, hingga pengertian yang baru di benak pendengar. Itu karena menulis membuat kita menjadi seorang "filsuf" yang merenung dan berpikir dan bukan menjadi seorang Mario Teguh yang cakap dalam berkata-kata.

Tiap kali menulis, kita menjemput ilham. Semakin hari semakin tajam. Dengan menulis kita mampu melihat apa yang tidak dilihat orang lain.Sama halnya, dengan menulis kita mampu membicarakan apa yang tak dapat di ucapkan oleh orang lain.

2. TARIAN JARI-JARI MEMBUAT OTAK TAK BERJUANG SENDIRIAN

Sebenarnya saat saya ditunjuk jadi pembicara waktu itu. Saya tidak hanya berbicara. Teman-teman yang sudah jadi pembicara dimana-mana mungkin tahu, bahkan sekalipun penyelenggara telah menentukan tema seminar, sang pembicara tetaplah harus menyusun materi. Tentu menyusun materi ialah sebuah aktivitas bolak-balik. Menyusun materi membutuhkan kemampuan menulis dan menulis membutuhkan kemampuan berpikir. Begitulah seterusnya...

Itu sebabnya otak tidak bisa bekerja sendirian. Otak membutuhkan jari-jari kita untuk menyusun tiap gagasan yang muncul agar tak bergerak liar di dalam otak. Fungsi jemari kita ialah menuliskan tiap ide agar tampil lebih elegan, sistematis, teratur, ciamik,berketeraturan, indah, dan berkaitan antara yang satu dengan yang lainya. 

Jari-jari kita menyimpan kenangan psikologis melalui tiap sentuhanya dengan pensil, kertas, keyboard, hingga layar monitor.Karena dengan menulis jari kita akan merasa kelelahan, dengan begitu ada perjuangan yang lebih melekat sebab ada proses kolaborasi di antara panca indra dan otak kita.

Kemampuan motorik jemari kita juga tak akan pernah mengalahkan kemampuan otak kita dalam berpikir.Ibaratnya otak itu adalah motor Valentino Rossi di sirkuit assen dan jemari kita ialah motor Ducati yang meluncur di trek berlumpur. Saat menggenggam pensil atau pulpen, hingga berada di atas keyboard, jari kita memiliki keterbatasan kecepatan. Hal itu mau tak mau membuat otak berpikir lebih lambat, sehingga otak kita diberi waktu untuk  berpikir serta merenung.

Tak sampai disitu, otak juga akan dibuat lebih teliti dalam menangkap detail-detail yang tercecer, mengumpulkan, mengembangkanya , hingga menciptakan gagasan baru untuk disampaikan saat kita harus berbicara sekalipun tak ditunjuk sebagai seorang pembicara.

3. KEKAYAAN KOSA KATA MEMBUAT TOPIK YANG SAMA BERCITA RASA BEDA

Memiliki kekayaan kosa kata bukan berarti langsung pandai dalam berbicara. Tidak pula langsung jadi pembicara yang baik dan handal. Karena konteks yang kita bahas adalah simbiosis mutualisme antara menulis dan berbicara, maka tak hanya kemampuan kata dan bahasa secara teknis yang dibutuhkan. Dalam tiap sorot mata yang menghujam ke arah pembicara,  adalah wajar jika nervous, karena  bagi yang masih amatir berbicara didepan umum memiliki sisi horor nya tersendiri.

 Tapi saya sendiri sudah merasakan, karena sering menulis, sekalipun ada dibawah tekanan, seperti saat disuruh jadi pembicara kemarin, saya tidak kehabisan kata-kata. Demam panggung hanya menggoncang persiapan dan materi yang sudah kita siapkan dan hafal. Tapi kalau kita sendiri yang menulis materinya, otomatis kita harus memilih diksi agar sesuai dan enak di baca sekaligus didengar.

Kita tak akan mati kutu, sekalipun kita lupa beberapa kalimat, namun dengan kekayaan kosa kata kita akan mampu mengembangkanya (improviasasi). Bukan hanya itu, kita akan mampu memberikan penekanan pada point-point tertentu dengan baik.

Inilah simbiosis mutualisme antara menulis-memilih kosa kata-mengingat-dan mengembangkanya.

4. MENULIS MEMBANTU KITA MEMETAKAN PEMBICARAAN MENJADI SISTEMATIS

Dengan banyak menulis kita dibuat mampu memetakan bahasa dan ide dalam sebuah topik. Tak berhenti sampai disitu menulis juga membuat kita lebih kritis. Percuma saja topik nya menarik, body language nya bagus, suaranya oke,percaya diri tinggi kalau bicaranya acak kadut.

Nah dengan terbiasa menulis kita dipaksa berpikir sistematis dan berpola sehingga dengan sendirinya gaya bicara kita pun teratur. Dalam menulis kita dipaksa  meletakan sebab akibat pada bagian yang tepat. Kita juga harus berpikir secara kronologis, runut dan menentukan bagaimana cara membuka suatu tulisan.

Kita di didik, kenapa harus menulis, apa yang harus ditulis, bagaimana menuliskanya, dimana akan di publikasikan, dan siapa target pembacanya.Di dalam diri, kita sudah di latih untuk peka terhadap hal ini, sehingga kita akan semakin bagus dalam mengekspresikan isi hati dan kepala dalam bentuk tulisan. 

Nah, karena sudah terlatih maka menuangkanya lewat mulut saat di suruh berbicara kita tak akan terlalu mengalami kesulitan. Kalaupun ada kita tak lagi mulai dari nol.

Dengan menulis kita sudah memiliki dasar yang baik dalam berbicara.

5. MENULIS MEMBUAT KITA MENJADI PEMBICARA YANG DINAMIS DAN PEKA TERHADAP AUDIENS

Satu hal yang selalu dilakukan penulis adalah belajar peka dan sensitif.Kalau tidak tentu dia tak akan bisa mengupas sebuah peristiwa baik secara keilmuan maupun dari segi pengalaman. Tanpa kepekaan menulis hanyalah sebuah kegiatan yang hambar.

Tak ubahnya dengan berbicara, kita juga harus peka pada sekitar.Terlalu dominan pun pasti salah. Terlalu serius juga salah, terkadang bukankah ditengah keseriusan harus ada humor yang dilemparkan? Tapi kalau pembicaranya tidak peka pasti akan terus bicara tanpa lihat pendengar sudah kasak-kusuk.

Dengan rajin menulis, bekal sensitivitas berarti sudah kita miliki, tinggal di aplikasikan saja dalam format yang berbeda.Menulis membuat kita banyak melakukan komunikasi intrapersonal, sebuah komunikasi dengan diri sendiri. Kegiatan ini mampu membuat cakrawala kita lebih luas, bahkan saat yang lain hanya melihat fakta kita bisa melihat suatu fakta di balik kejadian itu.Kenapa ? Karena kita peka!

Saya sendiri sangat terbantu saat harus presentasi tugas di kampus. Di bandingkan teman saya yang rata-rata jarang menulis, saya merasa bicara di depan umun tak terlalu menakutkan.Karena spontanitas saya sering di asah.Bukankah menulis hanyalah kumpulan spontanitas pikiran saja?

Adakah yang sedari awal sudah menyimpan  isi dari bab 1 dan bab 2  di dalam kepalanya? Tentu tidak bukan.

Dalam menulis kita mencicil, kata demi kata, ide demi ide , begitu seterusnya hingga sebuah karya utuh dapat terajut dan bisa dipahami orang lain. Tidak ada yang sekali jadi.

Kepekaan inilah yang saya gunakan saat menulis materi yang harus dibicarakan.Kepekaan ini membuat saya tahu, dengan status saya yang seperti ini, topik apakah yang pantas untuk saya sharingkan.

Karena menulis kita juga menjadi dinamis.Kita tahu kapan harus membuat pembaca senang, tertawa dan berpikir.Apa bedanya dengan berbicara?

Nah saat kemarin saya diberikan kesempatan untuk jadi pembicara, kekuatan menulis inilah yang saya gunakan.Jadi bagaimana apakah teman-teman mau mencoba?

Boleh setuju boleh tidak

Penikmat yang bukan pakar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun