Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Akhirnya Dia yang Meremehkan Pendidikan Itu Merana

1 Juli 2016   15:40 Diperbarui: 15 April 2019   13:48 2444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru beberapa hari yang lalu seorang sahabat lama yang tinggal di pulau Sumatera, mengirim sebuah pesan kepada saya. Bunyinya kurang lebih begini, "Ris tolong carikan aku kerja di sanalah, biar nanti habis lebaran aku langsung ke Bandung." Tentu sebagai kawan saya harus tetap merespon positif, "oke aku usahain ya" jawab saya membalas pesannya.

Tapi dalam hati ini lah yang ingin saya katakan, "memangnya kau kira cari kerja itu gampang, seenak udel mu aja ngomong!" tapi kalimat itu tidak keluar, karena bagaimana pun dia adalah seorang kawan yang lagi membutuhkan bantuan.

Tanpa bermaksud menjelek-jelekan kawan saya tersebut, ada hal penting, yang sedikit banyak harus saya ceritakan. Jadi begini, kami sudah berteman lama sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Sedari kecil kami sudah tergolong anak yang malas di kelas, tapi malas nya saya masih tergolong tetap niat bersekolah.

Berbeda dengan kawan saya itu, dia memang tak peduli mau sekolah atau tidak, tapi karena waktu itu masih kanak-kanak, maka tugas orang tua dan guru lah untuk membimbingnya (termasuk saya) agar giat belajar dan bersekolah.

Kami pun masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan lulus bersama. Seperti kata orang bijak, banyak hal terjadi ketika kita belum cukup dewasa untuk memutuskanya. Oleh karena itu, saya tak ingin mengorek-ngorek masa-masa ini. 

Mungkin ketika itu kami memang masih labil dan kekanak-kanakan. Sampai tibalah kami memasuki Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada masa ini saya yakin kalau kami sudah memiliki kesadaran untuk bertanggung jawab dan memilih jalan hidup sendiri. Karena pada usia ini, sekali pun mungkin belum bijak, tapi kami sudah memahami konsekuensi dari suatu pilihan.

Sebelumnya, orang tua kami (karena kami masih ada hubungan saudara) sudah sepakat akan menyekolahkan kami berdua ke Bandung setelah lulus SMP, karena katanya pendidikan di Bandung jauh lebih baik di bandingkan di Pekanbaru. 

Tapi naas bagi saya, karena ternyata saya gagal melanjutkan sekolah ke Bandung karena uang yang harusnya jadi biaya saya bersekolah malah harus menalangi kebutuhan dadakan yang memang di luar dugaan.

Dia pun sekolah di Bandung, meninggalkan saya yang harus melanjutkan SMA di Pekanbaru sambil menggerutu. Memang begitulah, saya yang sudah angan-anganya dapat cewek Bandung yang geulis-geulis jadi kesal karena gagal ke Bandung hahahahahaha.

Tapi di luar dugaan, belum sampai setahun kawan saya tersebut sudah kembali ke Pekanbaru, menurut info yang saya dapat dari ibu nya, dia malas dan tak betah di sana. (sekali lagi fokusnya adalah persoalan pendidikan bukan menjelek-jelekan siapapun)

Akhirnya dia pindah dan melanjutkan sekolah bersama dengan saya, bahkan kami satu kelas. Tapi apa hendak dikata, dia memang tak niat sekolah. Jadi dia banyak bolos, merokok di kelas, hingga tak sampai tiga bulan dia sudah keluar dari sekolah. Bukan karena di keluarkan tapi memang dia sendiri yang memutuskan untuk tidak datang lagi kesekolah. Akhirnya SMA pun dia tak tamat.

Itulah kenapa saya agak kebingungan untuk membantunya mencari kerja di Bandung, karena Ijazah SMA pun dia tak punya.Kalau dia mau jadi pengamen, atau jadi pedagang sih silahkan saja, saya mungkin akan menyuruhnya membawa uang yang banyak. Masalahnya dia tidak punya uang. Dia juga tak punya hardskill seperti otomotif, kelistrikan dll, jadilah dia nelangsa dan saya tak bisa berbuat apa-apa.

Saya yakin dia menyesal karena dulu memutuskan berhenti sekolah, hal tersebut juga pernah saya dengar terlontar dari mulutnya dengan bahasa yang lain tentunya, tapi itulah artinya: penyesalan!

Pada kenyataanya SMA (SMK sederajat) adalah standar rata-rata pendidikan untuk diterima bekerja di perusahaan saat ini. Itu sebabnya saya juga nggak ngerti kenapa Mahkamah Konstitusi menolak gugatan organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang pendidikan, saat mengajukan pengujian Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terkait wajib belajar 9 tahun ke Mahkamah Konstitusi.

Padahal hal tersebut sudah  tak relevan jika dilihat dari tanggung jawab Negara untuk menyelenggarakan dan menjamin pendidikan yang layak bagi rakyat nya. (Mohon dikoreksi kalau sudah ada perubahan)

Lalu seberapa pentingkah pendidikan itu saat ini? Berikut pandangan saya:

1. Albert Einstein; Sekolah Bukan untuk Mempelajari Banyak Fakta, Melainkan untuk Melatih Otak untuk Berpikir

Berkaca pada kasus kawan saya itu, dan mungkin anak-anak yang memilih untuk putus sekolah karena memang keinginan sendiri atau karena malas. Mungkin masalahnya adalah di masa itu, di usia yang masih muda, otak kita belum terlatih untuk meraba dan membaca masa depan. 

Kita belum sadar, bahwa pendidikan itu penting. Kalau pun sadar, hal tersebut direspon dengan tabiat khas anak muda: belum percaya kalau belum merasakan. Akhirnya putuslah sekolah baru sesal kemudian.

Saya pernah membaca biografi Einstein yang ditulis oleh Walter Isaacson, dalam buku itu dikisahkan bagaimana Einstein sangat menjunjung tinggi pendidikan. Bukan hanya itu, dikisahkan juga bagaimana negara-negara seperti Jerman, Swiss, Amerika, dan negara Eropa lainya amat mencintai ilmu pengetahuan dan karya ilmiah. Itu sebab mereka begitu maju.

Semangat ilmiah inilah yang mungkin lemah dalam pendidikan dan semangat belajar generasi kita (saya juga pernah ngalamin malas soalnya hehe). Dasar pemikiranya tentu saja karena, ocehan-ocehan motivator yang selalu bilang sekalipun kita tidak sekolah kita bisa sukses! 

Saya sepakat, kita bisa sukses sekalipun tidak sekolah. Tapi lihat konteksnya, kalimat tersebut akan sangat tepat ditujukan untuk mereka yang putus sekolah karena tidak mampu bersekolah, atau pun sebagai penyemangat bagi mereka (seperti kawan saya di atas) yang sudah terlanjur putus sekolah tapi ingin bertaubat dan berhasil.

Jadi wajib belajar tidak ada hubunganya dengan premis: bahwa tanpa sekolah pun kita bisa sukses. Menurut saya itu adalah dua hal yang berlainan. Sekolah adalah tempat untuk melatih jiwa, hati dan otak untuk berpikir, untuk menalar, dalam menghadapi hidup.

Seperti yang dikatakan oleh  Goenawan Mohamad "Mereka tahu hasil 2 + 2 = 4 tapi tak tahu mengapa 2 x 2 juga sama dengan 4."

2. Kalau tidak Punya Otak Sebrilian Bill Gates Jangan Coba-coba Drop Out dari Sekolah

Seorang Bill Gates saja yang notabene adalah orang terkaya di jagad raya, di dalam berbagai kesempatan, selalu menyarankan agar para pelajar tidak memilih untuk drop out seperti dirinya.

sumber gambar : http://startupbisnis.com/bill-gates-jangan-seperti-saya-yang-drop-out-teruslah-bersekolah/
sumber gambar : http://startupbisnis.com/bill-gates-jangan-seperti-saya-yang-drop-out-teruslah-bersekolah/
Sebuah pesan dan kata motivasi yang bagus dan menarik dari orang terkaya di dunia yang pernah berhenti di bangku kuliah: Raihlah gelar. Pendiri Microsoft, Bill Gates, menulis dalam blognya tentang pentingnya bersekolah, “Walaupun saya keluar dari universitas dan beruntung dapat sukses dalam karir saya di dunia software, mendapatkan gelar di universitas tetap merupakan jalan terpasti untuk dapat sukses,” katanya. 

Gates, yang pernah memutuskan untuk keluar dari Harvard University pada 1975, mendirikan perusahaan software besar, Microsoft, dan saat ini bernilai lebih dari ratusan triliun rupiah

Gates menjelaskan bahwa dengan mempunyai gelar, tidak hanya akan membantu para wisudawan mendapatkan penghargaan lebih dan gaji yang tinggi, tapi juga terutama akan membantu perekonomian Amerika. AS diprediksi akan mengalami kekurangan 11 juta pekerja terampil pada tahun 2025 di mana hal ini sangat membutuhkan para sarjana lulusan S1 untuk memenuhi kebutuhan ini.

Pendidikan juga bisa membawa Anda menjadi seorang pemimpin, Bill Gates percaya bahwa seorang pemimpin adalah orang yang bisa mengembangkan hal yang baik dari orang lain. Banyak orang-orang sukses di dunia teknologi memberikan inspirasi untuk berhenti sekolah. Namun menurut Gates, bukan begitu caranya. (Sumber klik di sini).

Lihat Bill Gates saja berkata demikian.  

Kasus Bill Gates dan para tokoh teknologi yang memilih keluar sebelum menyelesaikan pendidikanya  memang unik.Sekalipun mereka keluar dari lembaga pendidikan, tapi mereka adalah pembelajar yang giat. 

Bahkan dalam menulis program untuk Microsoft, Bill Gates sampai mengurung diri berbulan-bulan di kamar. Kebanyakan anak muda (seperti kawan saya) memilih keluar sekolah bukan untuk suatu alasan yang tepat, melainkan karena malas saja. Mungkin di Bandung atau kota-kota besar jarang ada anak yang seperti itu. Tapi di Pekanbaru, di kampung saya dulu tinggal, hal seperti itu banyak sekali terjadi.

3. Dalam Hal Tertentu, Ijazah adalah Batu untuk Melompat

Saya pribadi pun bercita-cita tak mengandalkan ijazah saya dalam mencari uang kelak. Mungkin mencari uang dengan mengandalkan keahlian jauh lebih menarik. Kalau bisa sih jadi pengusaha, pasti keren banget lah. Tapi masalahnya saya masih ada di kelas pekerja dan melakukan tugas-tugas manajerial, saya tak punya keahlian khusus untuk menghasilkan uang secara mandiri.

Kalau sudah begini, pasti saya cari kerja, yang diandalkan apa? Pasti ijazah kan? Nah itulah masalah yang dihadapi kawan saya itu. Kalau mau dia seharusnya ikut ujian susulan. Habis mau gimana lagi, skill nggak memadai hehe.

Sebenarnya sih ilmu ada di mana saja, saya dulu sering baca koran bekas di pasar, sampai tahu kalau Jack the Ripper adalah pembunuh berantai paling ditakuti di Inggris ya dari koran bekas itu.

4. Saat Orang-orang India Duduk di Pucuk Pimpinan Perusahaan Teknologi

Siapa yang tak kenal Google. Sejak perusahaan itu melakukan restrukturisasi dan menjadikan Alphabet menjadi induk perusahaan tersebut. Pendiri sekaligus pimpinan Google Larry Page dan Sergey Brin pun pindah memimpin Alphabet yang membawahi Google dan anak usaha lainya. 

Saat itulah Sundar Pichai, lelaki keturunan India duduk menggantikan pucuk pimpinan Google. Hal ini melengkapi kiprah bangsa India dalam memimpin kemajuan teknologi. Demikian pun Satya Nadella yang memimpin Microsoft, dan Shantanu Narayen yang memimpin Adobe.

Saya pernah membaca sebuah buku berjudul Sekolah untuk Kaum Miskin yang ditulis oleh James Tooley. Di sana diceritakan bagaimana di kampung kumuh di Hyderabad, India, sekolah-sekolah swasta lahir untuk menanggulangi kelemahan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan melalui sekolah Negeri.

Sekolah-sekolah swasta tersebut di buat murah agar dapat dijangkau oleh kaum miskin, bandingkan dengan Indonesia yang sekolah swastanya malah mahal dan tak jarang ditujukan hanya untuk-orang-orang tajir.Prihatin sekali saya dengan fenomena ini.

Pendidikan adalah kunci kemajuan masyarakat India, dan itu tak dapat dipungkiri.Lihatlah bagaimana bangsa India menyusul Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok  unjuk gigi dalam memainkan peran penting di dunia.

5. Tanpa Pendidikan Kita Mau Jadi Apa?

Tidak ada negara yang maju tanpa pendidikan yang keras kata wakil Presiden Jussuf Kalla. Lalu apakah Indonesia saat ini telah berusaha keras menyediakan pendidikan yang layak, pantas dan relevan terhadap anak bangsa ini?

Tapi bersyukur pemerintah telah menaikan anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar 20 persen yang di klaim telah sesuai dengan Undang-Undang Pendidikan.Paling tinggal penggunaanya saja di kelola dengan baik dan tepat sasaran, dan awas, jangan sampai di korupsi! Tapi kalau kelak bisa dinaikan menjadi 30 persen atau 40 persen kenapa tidak?

Finlandia saja, Negara yang banyak dikagumi dan di contoh Negara lain, konon sangat memanjakan para pelajar di Negaranya. Mulai dari gratis, hingga menyediakan transportasi.Bagaimana dengan Indonesia?Semoga sekolah-sekolah kita tidak hanya berkutat pada ganti seragam baru tiap tahun dan  jual beli buku pelajaran.

Kembali pada cerita kawan saya tersebut yang kini sudah menyesal karena dulu mencampakan bangku pendidikan, saya jadi sadar, ternyata bukan hanya manusia, Negara sekalipun kalau meremehkan arti penting sebuah pendidikan, tinggal tunggu waktu saja, maka di masa depan akan merana, mengemis-ngemis lalu kemudian menyesalinya...

Boleh setuju boleh tidak

Penikmat yang bukan pakar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun