Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Jangan Terintimidasi Kesuksesan Teman Anda

11 April 2016   12:12 Diperbarui: 15 April 2019   13:04 1684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya juga anak muda pasti jiwa kompetitifnya masih tergolong tinggi. Hal ini tak lepas dari ambisi yang menggebu-gebu. Ingin begini ingin begitu, lakukan ini supaya dapat itu, dan lain sebagainya dan lain sebagainya. 

Adalah wajar jika seorang muda memiliki ambisi untuk meraih berbagai pencapaian, kalau tidak memiliki keinginan yang demikian justru harus dipertanyakan 'kemudaanya.' Menjadi pribadi yang sukses adalah impian seluruh manusia, terutama kawula muda yang selalu ingin membuktikan diri bahwa mereka bisa, bahwa mereka mampu.

 Apa lagi kalau sering ditolak wanita, beuhh! Biasanya obsesi untuk menjadi orang sukses, mapan dan kaya raya akan hidup sebagai cambuk yang selalu memberi energi untuk banting tulang: Lihat saja kau bakal nyesal karena udah nolak aku! Mungkin begitulah cambuk yang menjelma dari rasa sakit hati itu jika diterjemahkan ke dalam kata-kata.

Apapun motivasinya, jika hal tersebut bisa membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik, saya rasa tak ada masalah. Namun tak jarang motivasi untuk menjadi sukses ini ditumpangi oleh beban moral yang tak seharusnya. 

Dosen character building saya dulu pernah bilang begini: nanti saat kita reunian, bakal kelihatan mana yang sukses dan gagal. Yang datang reunian berarti sudah pada sukses dan yang nggak sukses kemungkinan besar tidak akan datang.

Di sini saya tak akan memperdebatkan definisi sukses atau gagal, atau mencoba memperjelas batasan antara orang yang sukses dan gagal. Alasan pertama, karena saya sendiri belum merasa sukses, namun tak juga merasa gagal. 

Kedua, saya mencoba merespon positif perkataan dosen saya tersebut. Dipikir-pikir benar juga ya, bayangkan saat nanti usia kita telah menginjak empat puluh tahun, namun status kita masih pengangguran dan belum nikah-nikah lalu datanglah sebuah undangan untuk reuni dari kampus. Bagaimana kira-kira? Akankah kita datang? Kalau saya, terlepas dari datang atau tidak, yang jelas saya tak bisa langsung mengiyakan untuk datang, saya mesti mikir dulu.

Memang masalahnya apa sih?Jujur ajalah..ya Karena malu. Teman-teman kita dulu yang sering kita debat di kelas dan selalu kalah argumen sudah menjadi direktur sebuah BUMN. Eh kita yang dulu paling aktif dan bermulut besar di kelas malah belum jadi apa-apa, dan bukan siapa-siapa. Tentu merasa malu adalah wajar, walaupun dengan berbagai argumen dan nasehat moral juga tak dapat dibenarkan.

Jika kasusnya demikian, maka rasa malu itu dapat dikatakan wajar. Nah masalahnya terkadang beban kesuksesan tersebut diikuti dengan perasaan yang bukan sekedar malu, tapi juga mengintimidasi! 

Jujur saya juga pernah mengalami hal ini, ketika itu karena masalah ekonomi saya harus bekerja dulu selama dua tahun sehingga tidak bisa langsung melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Padahal saya sangat ingin kuliah.

Hal yang mengintimidasi saya muncul dari Facebook. Saat itu saya melihat status serta foto-foto teman SMA saya, ada yang sudah kuliah di sana ada yang sudah kuliah di sini. Nah secara tak langsung saya yang sangat ingin kuliah pun seperti merasa diintimidasi. 

Kenapa mereka bisa begini, kok mereka sudah mencapai itu ini sementara saya belum.

Perlu diketahui perasaan ini berbeda dengan iri hati. Ada batasan yang jelas di antara keduanya, kalau iri hati itu kita tidak suka dengan keberhasilan orang lain, tapi kalau 'terintimidasi' kita merasa gagal karena belum mencapai apa yang orang lain sudah gapai. 

Saya tidak tahu apakah pemilihan kata intimidasi sudah tepat untuk mewakili perasaan semacam ini. Namun yang jelas saat melihat keberhasilan, katakanlah teman kita, maka akan muncul penghakiman yang kita lakukan terhadap diri sendiri. 

Si A kok udah bisa jadi pembawa acara di TV sementara aku masih menganggur, kok si B bisa buka usaha sendiri sementara aku masih kerja dengan orang lain.

Dalam batasan tertentu, perasaan ini bisa dikatakan wajar, namun akan sangat salah jikalau direspon dengan tidak bijak, seperti:

  1. Menjadi minder 
  2. Menutup diri
  3. Pesimis terhadap diri
  4. Merasa masa depan suram
  5. Menjauhi teman
  6. Merasa sudah ditakdirkan jadi orang gagal
  7. Dll

Untung saja saya tak pernah larut terlalu lama dengan perasaan yang mengintimidasi tersebut. Lalu bagaimana cara saya lepas dari perasaan yang menuduh bahkan terkadang bersikap seperti hakim dan menjadikan saya sebagai seorang kecil dalam kungkungan tirani yang merusak gambaran diri tersebut?

Pertama, menyadari bahwa jalan hidup setiap orang itu berbeda. Ini adalah pintu masuk dan menyadarinya adalah kunci yang dapat membuat kita bisa melihat diri dalam realita yang benar. 

Saya dan kamu tentu lahir dari keluarga yang berbeda, serta menghabiskan masa hidup dalam ruang yang berlainan. Setiap kita disokong oleh kemampuan finansial yang berbeda pula; ada yang mapan ada yang pas-pasan. 

Ada yang harus bekerja setengah mati baru bisa membayar semesteran dan ada pula yang dengan menjentikan jari saja biaya kehidupan langsung masuk kedalam rekening dengan nominal yang edan-edanan. 

Ini adalah pola pikir orang dewasa yang dipengaruhi dengan rasa optimisme yang tinggi. Tentu kita tak bisa menjadikan waktu keberhasilan orang lain menjadi waktu bagi keberhasilan kita .Lebih tepat jika kita menjadikanya sebagai motivasi. Awalnya mungkin terasa mengintimidasi tapi percayalah dengan sikap yang benar serta pikiran terbuka hal tersebut malah akan memacu kita untuk berhasil pula. Nah inilah pemikiran yang benar.

Kedua, jangan menjauhi teman yang sudah lebih dulu sukses.Tak ada alasan untuk menjauhinya, apalagi hanya karena malu. Justru bukankah jika teman kita sudah lebih dulu di atas maka dia dapat mengulurkan tanganya untuk mengangkat kita. 

Kita tak akan dianggap seorang opurtunis atau parasit hanya karena meminta bantuanya, apalagi jika hanya sekadar menimba ilmu darinya. Oleh karena itu selagi masih muda tak ada salahnya memperbanyak teman, karena menurut saya koneksi terbaik adalah teman. 

Jangan terlalu mudah membenci dan memusuhi seseorang. Siapa tahu di masa depan mereka dapat kita jadikan mitra bisnis atau pemodal bagi usaha kita. Dengan sikap begini perasaan terintimidasi tak akan menyerang. Karena kita bisa melihat keuntungan dari keberhasilan mereka.

Ketiga, bersikap apa adanya. Bukankah banyak anak muda karena ingin terlihat sukses lalu melakukan banyak pencitraan di media sosial? Contohnya dengan meng-upload foto-foto yang terkesan glamour. 

Misal berfoto dengan mobil BMW milik orang lain lalu mengaku-ngaku milik sendiri. Kalau untuk lucu-lucuan sih tidak apa-apa, lah kalau niatnya memang untuk berbohong biar kelihatan keren kan repot. Begitu juga saat ditanya kerja di mana? Lalu biar terdengar keren ngaku-ngaku kerja di sebuah perusahaan BUMD yang bonafit. 

Percayalah kebohongan seperti ini malah akan mengintimidasi. Kita bakal was-was dan tak tenang. Misal, sebenarnya kita bekerja sebagai kasir di mini market namun karena sudah ngaku kerja di BUMD lalu secara tak sengaja bertemu teman lama yang sedang berbelanja, apa nggak akan malu? Muka mau ditaruh di mana? Oleh karena itu bersikap apa adanya saja, jadi pribadi yang jujur dan lurus-lurus saja. Dengan begitu hati kita pasti tenang.

Keempat, sadarlah tujuan setiap orang itu berbeda. Saya memiliki beberapa orang teman yang sebagian sudah jadi perawat, guru hingga pegawai negeri. 

Namun karena sudah menyadari dan menerapkan langkah-langkah di atas ya saya merasa biasa saja. Toh saya tidak ingin jadi seorang perawat atau pun guru. Nah hal ini pun harus kita sadari agar kalaupun mau melakukan perbandingan dengan teman yang sudah sukses, perbandingan kita tidak membabi buta. 

Oleh karena itu dari pada sibuk melirik pencapaian orang lain lebih baik fokus pada tujuan diri sendiri. Ingat setiap orang punya panggilan hidup nya masing-masing.

Kelima, ingat bisa saja teman kita bohong. Tak semua yang ditampilkan di media sosial itu benar, bisa saja bohong. Oleh karena itu jangan silau dengan apa yang ditampilkan orang lain, bahkan teman kita. 

Apalagi jika yang membuat kita terintimidasi adalah kebendaan hingga profesi yang melekat pada teman kita: name tag di leher dengan tulisan 'direktur', kalung, gelang di tangan hingga sepeda motor yang jadi tunggangan. 

Bukan bermaksud skeptis terhadap pencapaian orang lain, melainkan kalaupun kita melirik kesuksesan mereka perjuangan serta cara untuk menjadi suksesnya lah yang menjadi fokus dan bukan semata hasil nya saja. Beginilah orang dewasa, apalagi kaum intelek berpikir.

Terlepas dari itu bukankah kesuksesan untuk setiap orang memiliki definisi yang berbeda. Jangan terlalu banyak melihat hasil nanti kita jadi terintimidasi, sesekali tengoklah prosesnya biar kita tahu bahwa apa yang dicapai orang lain belum tentu dicapai dengan mudah. 

Berbekal pengertian ini sudah seharusnya kita tak merasa malu apalagi terintimidasi kesuksesan teman kita.

Boleh setuju boleh tidak

Penikmat yang bukan pakar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun