Orang Jawa terutama yang sudah tua banyak mengenal makanan ini, Â tetapi kalau dilanjutkan pertanyaanya bagaimana sejarah makanan madumongso belum banyak yang mengetahui. Dalam tulisan ini akan dikupas bagaimana nasib produk asli khas Jawa ini pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Madumongso berasal dari kata madu dan mongso. Madu menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah cairan yg banyak mengandung zat gula pada sarang lebah atau bunga (rasanya manis). Mongso bisa berasal dari bahasa Jawa dimongso artinya dimakan. Mongso bisa berasal dari kata rumongso yang berarti menyerupai. Mongso bisa berarti waktu/masa. Jika dilihat dari asal kata madumongso maka banyak pengertian yang bisa diperoleh.Â
Madumongso bisa diberi pengertian : makanan yang mengandung bahan cair yang rasanya manis seperti madu dan siap untuk dimakan atau bisa diartikan bahwa madumongso merupakan makanan yang rasanya manis karena adaya cairan seperti madu, dimana cairan itu terbentuk mengikuti waktu yang tepat. Halini mengandung pengertian timbulnya rasa manis akibat proses fermentasi yang waktunya harus tepat. Jika disimpulkan pengertian madumongso adalah makanan yang mengandung cairan yang rasanya manis menyerupai madu dibuat melalui proses fermentasi dan setelah diolah siap untuk dimakan. Â Â
Madumongso pada masa lulu Â
Berdasarkan cerita Mas Hendri pemilik dan pembuat madumongso sejak tahun 1985. Dia adalah  masyarakat Rejowinangun, Kabupaten Blitar yang kebetulan telah memproduksi madumongso secara turun temurun dan dimulai sejak tahun 1985. Beliau bercerita bahwa makanan madumongso ada sejak jaman Mataram kuno,bahkan sudah ada sejak jaman pemerintahan Raden Wijaya. Hal ini diperkuat oleh adalanya peninggalan Candi Simping di Wilayah Desa Rejo Winangun.Â
Konon Desa Rejowinangun dulu berupa hutan belantara. Setelah hutan dijadikan pedesaan makin lama makin ramai. Menurut cerita turun-temurun desa tersebut semakin ramai danmasyarakat mulai membangun sehingga disebut Desa Rejowinangun  yang artinya masyarakat banyak/ramai (rejo),  Winangun berarti membangun. Madumongso dan Jenang ketan adalah makanan elite bagi para Raja dan punggawa kerajaan pada masa itu, karena terbuat dari ketan yang mana tanaman tersebut adalah tanaman yang dianggap masih langka dan mahal. Madumongso dan Jenang ketan selain untuk makanan Keraton juga digunakan untuk acara-acara ritual kerajaan.Â
Betapa elitenya kedua jenis makanan tersebut pada masa itu. Â Desa Rejowinangun termasuk wilayah kecamatan Kademangan kabupaten Blitar. Di Kecamatan ini ditemukan berbagai macam benda bersejarah seperti arca Ganesha, Kekunaan jimbe, ditilik dari sejarahnya, Situs Jimbe sudah eksis sejak zaman Kerajaan Singasari di bawah kepimpinan Raja Kertanegara. Hal ini berdasarkan sebuah batu berangka tahun 1208 saka atau 1286 Masehi yang berada di dalam Situs. Dalam "Kakawin Ngarakrtgama" disebutkan bahwa Situs Jimbe pernah dikunjungi Raja Hayam Wuruk setelah dia berdoa di Candi Palah (Candi Penataran). Sehabis dari Palah, Hayam Wuruk mengunjungi Lawang Wentar (Candi Sawentar) kemudian diteruskan ke Situs Jimbe.Â
Sehabis dari Jimbe, Hayam Wuruk melanjutkan perjalanan melintasi hutan--hutan di Lodaya (Wikipedia,2017).Berdasarkan fakta sejarah tersebut desa Rejowinangun termasuk desa yang sudah ramai pada masa itu. Diduga masyarakat yang sudah ramai tersebut mulai mencoba membuat makanan yang diminati oleh para prajurit kerajaan ataupun masyarakat. Sejak itulah diduga makanan madumongso mulai dibuat oleh masyarakat sehingga tidak terbatas pada kalangan kerajaan saja.Â
Timbulnya keinginan membuat madumongso akibat dari pembuatan tape ketan hitam yang tidak tahan lama sehingga masyarakat mulai mencoba untuk diolah lebih lanjut dengan cara digongso. Siapa yang pertama kali melakukan halt ersebut belum ada referensi yang bisa menjelaskan. Namun kalau dilihat dari fakta sejarah madumongso sudah ada sejak jaman Mataram kuno.
Masa sebelum Merdeka
Perkembangan Madumongso selanjutnya pada masa sebelum merdeka perkembangan makanan olahan termasuk madumongso jelas sangat terhambat. Madumongso adalah makanan khas Indonesia dan merupakan makanan tradisional. Pada masa penjajahan untuk makan sehari-hari saja susah, tidak mungkin akan bisa mengembangkan produk makanan tradisional.Â
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap peta komoditi tanaman pangan. Mereka bangsa Eropa rupanya lebih tertarik untuk membeli komoditi berupa rempah-rempah yang harganya cukup tinggi di Eropa. Kondisi ini berpengaruh terhadap perkembangan komoditi pangan yang bergeser ke tanaman rempah-rempah terutama  lebih condong ke Kawasan Indonesia yang cocok untuk tanaman rempah rempah.
Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru
Mengenai diversifikasi tanaman pangan sudah dipikirkan di era Presiden Soekarno dan era Presiden Soeharto. Program swasembada beras, Panca Usaha Tani, Lumbung Pangan menuju Â
percepatan pencapaian swasembada beras pada tahun 1974 sudah digalakkan bahkan Indonesia bisa mencapai swasembada pangan. Kondisi ini memicu kegiatan masyarakat untuk mengembangkan bidang pengolahan pangan termasuk  jenang dan madumongso, tidak heran makanan tersebut termasuk makanan pavorit pada saat ada hajatan, hari raya Idul Fitri dan hampir semua orang mengenalnya.
Paska kejatuhan Soeharto di tahun 1998 akan menjadi penanda babak baru kebijakan di sektor pertanian. Liberalisasi di sektor pertanian sudah mulai resmi diterapkan sejak tahun 1998. Harga-harga kebutuhan pokok pangan diserahkan kepada mekanisme pasar. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator atau mengatur tata kelolanya, tetapi tidak memiliki kewenangan lagi untuk mempengaruhi secara langsung atas harga-harga kebutuhan pokok. Â
Disinilah awal tantangan bagi para pembuat makanan khas Indoesia atau khas daerah seperti madumongso dan jenang. Membanjirnya berbagai jenis makanan olahan import dan yang modern membawa dampak terhadap kegemaran anak-anak muda terhadap makanan khas asli Indonesia. Saat ini anak-anak muda sudah banyak yang tidak mengenal apa itu madumongso,jenang trembelek, tiwul, gatot, cenil, lepet dan makanan tradisional lainnya. Kondisi ini sungguh memprihatinkan kita semuanya. Mengenal saja tidak apalagi mengkonsumsinya.
PadaEra Masyarakat Ekonomi ASEANÂ (MEA)
MEA yang sudah berlaku  mulai 1 Januari 2016 tidak hanya menjadi tantangan, tetapi juga peluang bagi pelaku usaha makanan tradisional. Pada masa saat ini semua produk pangan tradisional harus memiliki standart, dan mengikuti regulasi yang telah ditetapkan. Bagaimana dengan Madumongso dan Jenang ketan tradisional. Berdasarkan penelusuran penulis produsen makanan tersebut sudah mulai tahu, namun yang langsung action masih sangat terbatas. Disinilah kita semua tertantang untuk ikut menyelamatkan produk pangan tradisonal tersebut sesuai dengan tantangan perkembangan jaman. Semoga jaya produk pangan asli Indonesiaku dan bisa eksis di pasar Dunia.  Amiin ya Robbal Alamin (Sukamto, 2017).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H