Mohon tunggu...
Rikardo Marbun
Rikardo Marbun Mohon Tunggu... -

Jurnalis ecek-ecek dari timur Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ceritaku Bertahan di Jakarta

17 Juni 2012   10:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:52 1596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi/Admin (Shutterstock)

Saya, perantau dari Tapanuli di Jakarta. Kuliah di salah perguruan tinggi swasta di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, sejak September 2001. Sejak berangkat dari kampung, saya sudah rancang akan kuliah sambil bekerja yang tidak mengganggu jadwal belajar. Singkat cerita, memasuki bulan ketiga, saya pilih jadi loper koran saja sebagai pekerjaan pengisi waktu luang kuliah. Pagi jadi loper koran, jelang siang melipir ke kampus untuk kuliah. Setelah tanya sana-sini, termasuk kepada loper koran yang sudah lebih dulu ada di jalanan, dapat informasi ada agen koran di stasiun kereta api Lenteng Agung. "Langsung datang saja. Subuh, pukul 5," kata Tagor, salah satu loper koran. Tagor, aku kira sesama orang Tapanuli. Ternyata, Betawi asli. :D Saya lupa kapan persis mulai menjadi loper koran. Yang saya ingat, sekitar Januari 2002, salah satu koran yang terbit hari itu memuat foto halaman depan dengan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung bertelanjang dada. Menjadi loper koran, berarti harus rela bangun sebelum pukul 5 pagi. Jadi, sebelum pukul 5 pagi, sudah harus hadir di agen koran. Lewat sedikit saja, habislah jatah koran diambil loper lain. Jual koran, ya, dengan jumlah seadanya saja. Nasibmu, Nak. :) Biasanya, bawa Koran Kompas (10 ekslempar), Pos Kota (10), Rakyat Merdeka (5), Lampu Merah (5), Warta Kota (1), Berita Kota (3), Republika (1), Sinar Pagi (1), Tabloid Bola/Nova (2). Bawa Media Indonesia dan Koran Tempo juga, tapi tak begitu laku. Dua koran terakhir lebih banyak laku di kereta api, sementara saya jual koran di jalanan yang macet. Koran boleh diretur kalau tak laku sebagian, kecuali Pos Kota, Media Indonesia, dan Koran Tempo. Jual putus. Hitungan untung jual koran begini: setiap satu Koran Kompas (dulu harga Rp2.000) yang laku, dapat komisi Rp700 dari penjualan (setor Rp1.300). Dari penjualan Tabloid Bola atau Nova per ekslempar, dapat komisi Rp1.000. Sementara koran lain, hanya Rp250-300 saja. :) Makanya, jangan datang telat ke agen kalau mau dapat jatah Koran Kompas yang banyak. Kompas laku banyak, duit juga banyak. Alamat makan siang dengan paha ayam goreng atau opor ayam. :)) Jadi begini, sepanjang jalan Lenteng Agung, selalu macet sejak pagi sampai jelang siang. Mudah ditebak, persis pukul 6 pagi, sepanjang jalan itu mulai padat dan merayap. Setiap hari. Nah, saya dan loper lainnya akan berdiri dan berjalan di sisi-sisi mobil yang berjalan merayap tadi sambil menjajakan koran. Yah, seperti yang sudah jamak terlihat di Jakarta. Sesekali, saya naik ke bus patas AC meski tahu sebenarnya sudah ada satu loper yang merasa paling berhak jualan di bus-bus yang melintas. Tapi, saya cuek saja. Naik, meski sering diprotes loper itu. Saban Senin sampai Jumat, saya berdagang koran di sepanjang (macet) jalan Lenteng Agung. Kadang sampai lampu lalu lintas Tanjung Barat kalau macet di Lenteng Agung sudah terurai. Sementara, kalau akhir pekan (Sabtu), saya jualan di lampu lalu lintas Pasar Minggu (Lenteng Agung lancar, macet pindah ke Pasar Minggu). Biasanya, jatah koran pada Sabtu (sengaja mengosongkan jadwal kuliah) akan lebih banyak dibanding hari lain karena pembelinya lebih banyak. Akhir pekan sama dengan panen (Minggu libur. Istrahat). Mungkin seperti saya saat ini, beli koran setiap akhir pekan saja. Sementara hari lain, baca koran langganan kantor. Namanya dagang, tak selalu mulus setiap hari. Saya pernah juga sepi pembeli, padahal sedang bawa jatah koran yang banyak. Boleh sih diobral saja seperti pedagang koran di kereta api, tapi nggak sreg saja rasanya. Jadilah, pas retur keesokan pagi, diomeli agen. "Serius dagang nggak, sih, Cok," kata Anen, agen koran. Dia panggil saya "Ucok", panggilan khas orang Tapanuli. Hahaha, namanya Anen. Lucu benar. Anen baik. Sesekali, pas saya sampai di lapaknya, dia sudah siapkan jatah koran. Jadi, tinggal jalan saja dan sampai ketemu besok pagi saat retur dan setoran. Tapi, kadang saya harus menunggu agak lama apabila sehari sebelumnya saya telat atau tidak dagang. "Saya kira kamu nggak dagang, Cok," kata dia sambil asyik menyiapkan jatah loper koran. Saya pasti dapat jatah terakhir kalau sudah begitu. Tahan hujan, tahan panas. Tahan malu juga kepada teman-teman sesama mahasiswa karena saya hilir mudik berdagang koran di jalan di depan kampus. Saya menjadi loper sekitar dua tahun. Selama dua tahun menjadi loper koran, saya juga berkenalan dengan banyak sopir dan kondektur bus atau minibus. Tahu sendiri, sebagian besar dari mereka juga berasal dari Tapanuli seperti saya. Kondektur dan sopir paling saya kenal adalah yang mengoperasikan minibus jurusan Depok-Pasar Minggu. Nah, suatu waktu, harga koran harus naik dan praktis menurunkan minat beli pembaca. Dagang sepi, pendapatan pun seret. Saya langsung ambil keputusan cepat. Saya sudahi saja menjadi loper koran dan beralih menjadi kondektur (bukan sopir karena tak bisa menyetir). :p Akhirnya, saya berlabuh di Terminal Depok, Jawa Barat. Saya dekati beberapa kondektur dan tentunya yang saya tahu berasal dari Tapanuli. Saya sampaikan minat ingin seperti mereka: kondektur. Mereka menerima dengan tangan terbuka. "Nongkrong di sini saja. Nanti, ada saja sopir yang cari-cari kondektur karena kondekturnya sakit atau berhalangan," saran mereka. Benar saja, tak lama kemudian, ada sopir yang tanya sana-sini ke kondektur yang sedang istrahat. "Siapa yang mau 'narik' bareng?" tanya dia. Tak ada yang merespon. Saya kemudian menawarkan diri dan jujur beritahu bahwa saya pendatang baru. Dia tak ada pilihan lain, "Angkut." :)) Mulailah hari itu (kuliah sekitar semester V) saya menjadi kondektur minibus "Miniarta" jurusan Depok-Pasar Minggu PP. "Minggu, Minggu, Minggu. Lenteng Agung, Minggu," saya teriak begitu kalau meluncur dari Depok. Sebaliknya, "Depok, Depok, Depok. Lenteng Agung, Depok," kalau arus balik ke Depok. Harus cekatan "menggunting" penumpang. "Menggunting" istilah untuk menarik ongkos dari penumpang. Di awal-awal menjadi kondektur, harus mulai juga menghafal gang-gang sepanjang Depok-Pasar Minggu dan sebaliknya. Kalau tidak, penumpang bisa salah turun dan menyasar. Kalau sudah begini, siap-siap deh diomeli penumpang. "Anak baru, ya? Masa' nggak tahu nama-nama gang," kata mereka. Selain itu, menjadi kondektur juga menjadi navigator sopir. Kapan bus dijalankan dengan kecepatan sedang dan kapan harus mengebut. Bus akan jalan sedang kalau bus di belakang belum kelihatan menyusul. Tapi, kalau kepala bus lain sudah kelihatan di belakang, langsung teriak, "Rapatttt." Hahaha... Jreng... Tancap gas. Harus sigap. Kalau ada bus lain yang menyalip karena lupa memperhatikan ke belakang maka siap-siaplah disemprot sopir. "Woi, matamu lihat yang benar. Jangan duit saja yang kamu pelototi. Lihat belakang," omel si sopir sambil mulai asal-asalan mengerem atau mengegas. Astaga. Awalnya, saya menjadi kondektur setengah hari saja. Sengaja ambil jadwal kuliah pagi, ketemu siang langsung meluncur ke Terminal Depok. Asyik dan lumayan juga. Bisa dapat upah dan bawa uang pulang sekitar Rp 30-35 ribu rupiah. Uang itu sisa dari biaya bahan bakar, cuci mobil, dan makan yang dibagi dua dengan sopir. Biasanya, sopir lebih banyak Rp5-10 ribu. Lama-lama, apalagi pas libur kuliah, "narik" seharian bahkan dua hari berturut-turut. Kalau sudah begini, kantong bakal tebal. Minimal Rp100 ribu di tangan. Libur sehari, kemudian kerja lagi dua hari. Begitu seterusnya. Seperti ini urutan kerja jadi kondektur atau sopir. Malam sebelum "narik", tidur di pangkalan (dalam bus). Bangun pukul 4 pagi. Siap-siap, memanaskan mesin, kemudian setengah jam kemudian sudah ada di terminal. Jam penumpang mulai pukul 5 sampai 10 pagi. Penumpang beragam. Ada yang mau belanja, mengantor, dan sekolah. Setelah pukul 10, biasanya mulai lengang sampai makan siang. Pas makan siang, bus diberi kepada "sopir tembak". Setelah itu, kerja lagi sampai sore dan malam. Total, 10 rit. Kembali ke pangkalan (setelah isi bahan bakar, cuci mobil, dan makan) biasanya sekitar pukul 11 malam. Eits, sampai di pangkalan, belum bisa langsung istrahat. Stel rem dulu. Ban depan dan belakang. Capek, deh. :( Paling tak enak saat menjadi kondektur adalah kala berhadapan dengan calo. Huh, kalau ditotal, bisa melayang Rp10-20 ribu begitu saja ke tangan mereka. Sialnya, uang itu dipakai buat beli minuman keras. Alamak. Saya pernah digebuki calo karena hanya beri lima ratus rupiah saja untuk seorang penumpang yang naik dituntun calo. "Lho, mau berapa? Seribu rupiah? Sama saja bohong, dong. Ongkosnya saja seribu rupiah. Itu malak namanya." Hadeuh... Menjadi kondektur, cukup dua tahun saja. Tahan panas, tahan hujan. Tahan malu juga karena rute bus saya pasti melewati kampus tempat kuliah. Bahkan, suka "ngetem" lama di depan kampus. Hahaha... Memasuki semester terakhir, saya putuskan mulai bekerja dengan otak saja. Tidak dengan otot lagi seperti ketika menjadi loper koran dan kondektur bus. Lamaran kerja mulai saya kirim ke beberapa kantor, umumnya radio dan koran. Sial, tak ada yang tembus. Sampai akhirnya ketemu sebuah koran terbitan terbaru. Koran olahraga. Busyet, akurasi koran tersebut sangat jelek dalam penulisan berita dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saya pun lamar bekerja di koran itu menjadi korektor bahasa. Saya terima saja tawaran gaji yang hanya Rp500.000 per bulan. Dengan modal hobi membaca (koran) dan pelajaran bahasa Indonesia masa sekolah dasar sampai kuliah, saya mulai coret-coret dan koreksi hasil penulisan berita jurnalis yang telah lulus strata satu dan berpengalaman menulis beberapa tahun. Seru. Hanya satu toleransi saya bagi mereka yang tak akurat menulis berita dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar: tenggat waktu. Di koran tersebut, saya bekerja sama membantu redaktur pelaksana yang saat itu dijabat salah satu komentator sepakbola di salah satu televisi swasta. Sayangnya, jelang Piala Dunia 2006, koran olahraga itu tutup. Hanya bertahan enam bulan saja. Tiga bulan di antaranya saya habiskan tanpa digaji sepeser pun. Hiks... Bagaimana dengan kuliah? Nggak usah ditanya. Saya tetap serius kuliah. Itu kan prioritas merantau ke Jakarta. Durasi kuliah lima tahun lebih dari cukup bagi saya untuk menjadi sarjana. Setelah sarjana, saya melanjutkan #bertahandiJKT sebagai jurnalis. Sebagian besar dan sampai hari ini saya habiskan menjadi jurnalis radio. :) Salam dari Timur Jakarta, Jay :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun