Saya adalah anak jati Riau, lahir dan dibesarkan di Riau, salah satu kota yang menjadi kebanggaan saya adalah Pekanbaru. Saya menganjakkan kaki pertama kali dari Riau saat masuk ke bangku perkuliahan. Meninggalkan bumi lancang kuning yang menjunjung nilai melayu, menuju kota budaya di seberang pulau sana, Yogyakarta. Saat menginjakkan kaki pertama kali ke Yogyakarta,Â
saya langsung merasakan perbedaan. Perbedaan yang membuat saya merasa asing di keramaian, perbedaan yang membuat saya terpaku sepersekian menit. Letak perbedaan tersebut berada pada apa-apa yang tidak saya sangka. Perbedaan perilaku yang dilakukan secara kolektif: Budaya antre. Â
Terkesan lebay sih saya untuk mengatakan perbedaan budaya antre sangat mencolok antara Pekanbaru dan Yogyakarta. Tetapi, hal tersebut bukan tanpa alasan. Saat saya sampai di tilam rebahan, beberapa ingatan tentang pahitnya antrean diserobot selalu bermain di kepala saya. Rasa tidak ikhlas begitu membludak. Di saat seperti itu, saya hanya bisa terdiam dalam, terpaku kaku. Bercita-cita ingin mengubah konstruksi sosial di Pekanbaru, tapi tentu itu rasanya sangat sulit, saya urungkan dan memilih bercerita pahitnya antrean diserobot melalui tulisan ini.
Pertama, saya ingat betul saat bulan Ramadhan tahun lalu, saat senja di Pekanbaru dihiasi mentari yang begitu syahdu, ketika itu saya memilih membeli nasi padang yang dibungkus agar bisa dibawa ke rumah. Saya ngidam nasi padang di rumah makan yang cukup familier di telinga masyarakat Pekanbaru.Â
Saat saya sampai di parkirannya, saya berjalan masuk ke dalam guna mengambil baris antre. Namun, ketika sampai di pintu masuk, Subhanallah! suasananya seperti nonton sirkus. Sorak "Nasi ayam bakar duo! Nasi gulai ikan tigo!" Terdengar sana-sini. Tidak memandang umur, suku, ras, dan agama, semua meneriakkan pesanannya, menyorakkan keinginannya, menyerukan nafsunya. Alhasil, saya finish sampai rumah di 2 Menit sebelum beduk maghrib, tentunya tanpa nasi padang.
Kedua, saya mengingat kembali saat mengantre di sebuah rumah makan di Pekanbaru. Saat itu saya berada di rumah makan dengan baris antre yang awalnya tertib, tua-muda baris bersama, saya berada di baris ke-empat. Namun, ketika saya mengantre sambil bertelepon dengan orang tua, saya sudah berada di baris antre ke-lima,Â
sadar ada yang mengganjal, saya menegur seseorang yang menyerobot antrean, remaja tanggung. Saya hanya bisa tertawa apes saat teguran saya direspon cuek, lebih apes lagi yang nyuekin itu satu rumah makan. Miris sekali pikir saya, di usia 14-19 Tahun, sudah biasa saja dalam merampas hak orang lain.
Dua pengalaman pahit di atas hanyalah sepenggal saja, masih ada lusinan, puluhan, bahkan ratusan lagi tragedi antrean diserobot di Pekanbaru. Di akhir cerita ini, saya menyadari bahwa buruknya budaya antre di Pekanbaru merupakan kesalahan kita bersama, kolektif. Saling membiarkan dan mempraktikkan merupakan akar dari persoalan klasik ini.Â
Atas pengalaman pahit saya di atas, maka saya himbau wahai umat Pekanbaru: Pertama, jika anda abai dengan penyerobotan antrean, maka akan ada masanya antrean anda juga diserobot. Kedua, jika anda menyerobot antrean, maka akan ada do'a yang naik ke atas langit, pastinya berisi umpatan kepada anda.Â
Ketiga, jika anda cuek dan mempraktikkan penyerobotan antrean, maka generasi selanjutnya akan asing dengan diksi antre, termasuk keturunan anda sendiri. Terakhir sekali, marilah kita mulai budaya antre, cerminkan budaya melayu yang kita sebut beradat betul.
Ditulis oleh: Toibul Hadi (Mahasiswa FISIP UPN "Veteran" Yogyakarta