Mohon tunggu...
Tohir Markum
Tohir Markum Mohon Tunggu... Guru - wiraswasta

Bergiat dalam perintisan pembenahan eschatologic spiritual qoutient afterlife oriented yang mempunyai ranah conscience suara hati, perasaan dan logika common sense.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Puasa adalah Untukku

17 September 2022   14:21 Diperbarui: 17 September 2022   14:29 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hadits qudsi adalah rincian dari Quran, tentunya adalah benar,  yakni rincian eksplisit, namun pula, apakah ada yg tak secara eksplisit sebagai penjabaran dari Quran tsb? Nah, di sinilah pentingnya hadits, yakni, pertama sebagai penjelasan langsung, misalnya tentang wudhu, sholat, pelipatgandaan pahala seperti dalam.hadits yg Gus kemukakan, dsb, yg kedua adalah untuk menjelaskan secara implisit baik dari isi Qurannya langsung yg lengkap, ataupun dari intisari Quran.  Intisari Quran, dan Quran yg lengkap ini,  tentunya mencakup yg muhkamat dan mutasyabihat, dan ketika menjadi intisari, maka adalah eksplisit, kemudian inti yg eksplisit ini, dan Quran yg lengkap tadi ,  banyak yg diterangkan lewat hadits misalnya tauhid, hanya bertujuan untukNya, ridho rahmatNya yg hanya didapat melalui banyaknya pahala, dan lillah karenaNya/ tak riya suma'h, disamping sekaligus ada tujuan dunianya, dsb. 

Alhasil, untuk butir kedua ini, intinya adalah adanya penjelasan "implisit" dari intisari Quran dan dari Quran secara lengkap, singkatnya adalah ada banyak  hadits yg berupa " penjelasan implisit dari Quran". Adapun ihwal implisit dan eksplisit ini, tentunya adalah sama2  mutlak kebenarannya/kesesuaiannya dengan apa yg dimaksudkan dari sebuah pernyataan. Misalnya tentang hadits bahwa di surga tak ada nenek2, ini adalah implisit menerangkan hakikat surga  yg tak seperti hukum alam sekarang/entropi, dll. 

Adapun contoh keseharian, adalah ketika" eksplisit diterangkan bahwa harus patuh pada ortu untuk sholat, dst," maka ini adalah" implisit untuk menjalankan rukun Islam, dst", yakni bukan" implisit sedang menerangkan sejarah", yg mana dalam ihwal " implisit sejarah ini", untuk yg eksplisitnya adalah misalnya " memaparkan perang dunia, proklamasi,dsb", alhasil, ihwal " implisit" ini adalah tak menyimpang, tak diluar yg dimaksudkan,dsb, seperti dalam contoh tadi, ketika eksplisit "harus patuh pada ortu", maka ketika implisitnya disebut " menerangkan sejarah __  yg eskplisitnya adalah memaparkan perang dunia", tentunya adalah bukan disebut implisit. katena implisitnya adalah " patuh menjalankan rukun Islam". 

Demikian juga halnya, ttg hadits qudsi : puasa itu untukKu. Secara implisit menerangkan bahwa, pertama : puasa itu tak mungkin riya/ untuk yg lain. Maka disebut untukKu. Kedua adalah, ttg besarnya pahala, beda dengan amalan yg lainnya yg telah ditentukan besarnya. Alhasil, bukan ada "yg lain" yg memberikan pahala, namun adalah : , untuk amalan2 yg lain, adalah, telah ditentukanNya, dan kita dapat mengetahuinya, namun untuk puasa, hanyalah untukNya yg menentukan besarnya pahala/ untukKu :  " untuk Aku berikan pahala sekehendakKu", seperti dalam az Zumar 10, : memberi pahala tanpa batas.  Alhasil, hadits qudsi itu sudah pasti shahih, dan lewat Jibril, diperintahkan untuk disebut sbagai firmanNya, dan maha kehendakNya untuk tak dimasukan dalam Quran, dimana Quran itu merupakan palig sempurna, yg secara teorinya, wallahua'lam, adalah akan mengubah susunannya, keindahannya,dsb. 

Alhasil pula, semua hadits itu, adalah untuk menjelaskan Quran _ baik menjelaskan intinya ataupun menjelaskan  dari ayat 2 Quran keseluruhannya__, sesuai dengan hadits, kuranglebih, : telah aku tinggalkan dua perkara, Quran dan sunnahku, yg takkan tersesat jika dipatuhi keduanya, dimana kendati bahwa sunnah itu, adalah telah terjadinya dahulu kala, namun tentunya,  bahwa "makna sebagai bekal hidup" itu, tentunya adalah "harus ada nyata sampai akhir zaman", dan dengan selalu disertai bekal sunatullah dalil aqli dan naqli, yakni khauf khosiyah, dan dalil keyakinan atas maha pencipta,maha kuasa, dsb, maka sebagai maha pencipta trilyunan bintang ini, dsb, tentunya pula tak dibiarkan tanpa.bekal hidup yg lengkap selama sribulimaratus tahun, dan untuk ini, harus dikedepankan husnudhon, yakni " tatkala agak kurang sesuai, ataupun kurang sesuai dengan logika, maka dilihat mudhorotnya, apakah besar ataukah sedang,  kecil, dan tentunya u tuk maslahatnya, semua hadits ini adalah pasti maslahatnya besar semuanya. Juga dalam ihwal mustholahul haditsnya, kita kedepankan husnudhon, kendati tak salah untuk tetap kritis dan sunatullahnya juga adalah untuk perkembangan ilmu, dst, diantara hikmahnya adalah , tak perlu waktu mengulang dari awal,__ kendati ada ketakpuasan logika,__berdasar dalil serahkn pada ahlinya, semua hal ada ilmunya, dst, . 

Dalam hal ketakpuasan logika ini, idealnya adalah seyogyanya memverivikasi sendiri secara akurat, logis dan lengkap, semua kitab yg ada yg disebut shahih, namun boleh juga cukup dengan dalil keyakinan padaNya, bahwa tlah dijamin diberi pedoman lengkap. lalu dapat juga berusaha menguasai dasar2 mustholahul ini_ muta'alimin, sebelum menjadi mua'lim khusus hanya dalam dasar2nya_ bukan mua'lim dalam ilmu2 lainnya, karna boleh jadi, seseorang tlah menjadi mualim dibidang2 lainnya, insya Allah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun