Gambar 3 menampilkan peta Indonesia yang menunjukkan jumlah peserta KB (Keluarga Berencana) di berbagai provinsi. Warna yang berbeda pada setiap provinsi mengindikasikan jumlah peserta KB yang terdaftar, dengan kisaran jumlah peserta yang diwakili oleh warna tertentu.
Provinsi dengan jumlah peserta KB tertinggi berada di kisaran 781.355, yang ditandai dengan warna oranye, di beberapa provinsi. Salah satunya kemungkinan adalah provinsi di pulau Jawa yang memiliki populasi besar. Provinsi dengan jumlah peserta KB lebih rendah, seperti yang berada di angka 45.908, terlihat diwarnai abu-abu.
 Provinsi-provinsi ini mungkin adalah provinsi dengan populasi lebih kecil atau tingkat partisipasi KB yang lebih rendah, kemungkinan di Indonesia timur. Papua dan sekitarnya tampaknya memiliki jumlah peserta KB yang jauh lebih rendah, ditunjukkan oleh warna yang lebih terang seperti abu-abu dan hijau muda, dengan jumlah peserta di kisaran 45.908 dan 170.536.
Dari peta ini, dapat disimpulkan bahwa jumlah peserta KB di Indonesia bervariasi secara signifikan antara provinsi-provinsi, dengan daerah-daerah berpenduduk padat seperti Jawa dan Sumatera memiliki lebih banyak peserta, sedangkan daerah-daerah yang lebih terpencil atau dengan penduduk lebih sedikit, seperti Papua, memiliki peserta yang lebih sedikit.Â
Meskipun pemerintah telah menggalakkan program keluarga berencana dan meningkatkan akses terhadap kontrasepsi, masih ada kesenjangan yang besar, terutama di daerah-daerah terpencil.
Tingkat pendidikan yang rendah sering kali berkontribusi pada rendahnya kesadaran tentang pentingnya mengatur kelahiran. Di samping itu, di banyak budaya tradisional, memiliki banyak anak masih dianggap sebagai simbol kekuatan dan status, bahkan di tengah kondisi kemiskinan.
Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa dalam beberapa kasus, tingkat urbanisasi yang tinggi dan meningkatnya beban hidup di kota sebenarnya bisa menekan angka kelahiran di kalangan keluarga miskin. Di kota-kota besar, biaya untuk membesarkan anak menjadi jauh lebih mahal, mulai dari biaya pendidikan hingga kebutuhan hidup sehari-hari.Â
Dalam kondisi ini, keluarga miskin di perkotaan cenderung berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk memiliki banyak anak. Mereka sering kali lebih fokus pada upaya bertahan hidup di tengah kondisi ekonomi yang sulit daripada memperbesar jumlah anggota keluarga.
Namun, pandangan ini juga memiliki kekurangannya. Banyak keluarga miskin di perkotaan hidup di dalam lingkaran kemiskinan yang sulit ditembus, di mana akses terhadap kesempatan ekonomi yang lebih baik sangat terbatas.Â
Meskipun beban hidup tinggi, mereka tidak selalu memiliki akses terhadap alat-alat kontrasepsi atau informasi kesehatan reproduksi yang diperlukan untuk mengurangi angka kelahiran. Kondisi ini membuat siklus kemiskinan dan pertumbuhan penduduk tetap berlanjut, bahkan di wilayah-wilayah perkotaan.