Mohon tunggu...
Togi Simanjuntak
Togi Simanjuntak Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Rohaniawan, Aktivis Sosial & Kemasyrakatan serta pengajar skill Pementoran (Mentoring)

Lahir di Bandung, Remaja pindah ke Singapore menyelesaikan S1 di Ilmu Komunikasi USU Medan. Menyelesaikan S2 dibidang Kepemimpinan Kristen Institut Teologia Kalvari Jakarta (MA) Pernah bekerja sebagai penyiar di Radio Roris FM Medan dan outdoor event craetive (1990-1194) Terlibat sebagai relawan dan aktivis sosial dan kemasyrakatan. Penulis buku antara lain "The art Of Mentoring" Sekarang menjadi Rohaniawan Kristiani

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Covid-19, Apa yang Tabu Menjadi Tidak Tabu

13 April 2020   13:04 Diperbarui: 13 April 2020   16:53 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

3. Konten media akan menjangkau banyak orang bahkan menjangkau orang seluruh dunia tanpa dibatasi ruang dan waktu. Bayangkan jika saya harus melayani sebuah gereja dan gereja tersebut berada diluar kota atau diluar negeri. Maka anggaplah saya melayani di lima kali ibadah hari Sabtu sekali ibadah dan hari Minggu empat kali ibadah dan mungkin di hari Sabtunya seminar satu hari atau KKR. 

Kalau secara jumlah pendengar (jemaat) yang saya bisa jangkau paling banyak anggaplah kalau gereja tersebut cukup besar, paling maksimal saya bisa efektif menjangkau 3000 pendengar dan setelah itu mereka tak bisa berinteraksi dengan saya. Coba bayangkan jika saya membuat konten dengan khotbah yang sama maka khotbah saya akan bisa didengar dengan orang yang berpariasi baik usia, strata sosial, lokasi tempat tinggal, dsb. Khotbah saya bahkan bisa menguatkan orang yang sedang stress, sakit parah, yang mau cerai, mau bunuh diri, dsb sehingga menguatkan iman mereka dan kalau khotbah saya dimasukkan ke youtube, facebook, instagram, dsb maka jumlahnya bisa jadi akan melebih 3000 pendengar atau viewer.

4. Media sosial akan menjadi trend untuk mengoptimalkan proses pementoran maupun pemuridan berjalan dengan mudah, simple dan efektif yang dilakukan oleh Gereja. Seperti kita ketahuai bahwa pandemi Covid 19 menyebabkabkan bahwa kebanyakan Gereja diseluruh dunia mengadakan aktivitas penatalayanan dari rumah. Para gembala dan pemimpin rohani melakukan khotbah dan arahan dari rumah melalui berbagai aplikasi media sosial, hal itu justru mengoptimalkan proses pemuridan dalam gereja karena salah satu yang dilakukan dalam pemenetoran maupun pemuridan adalah para Mentee (murid) mendengar arahan dari Mentor atau Guru nya. 

Tetapi kali ini agak berbeda karena Mentor dan Mentee memiliki perhatian yang lebih dan bersungguh-sungguh. Mentor mempersiapkan arahan atau khotabha yang diberikan atau janjian untuk berdoa syafaat bersama-sama secara serentak lewat aplikasi Zoom atau Whatsapp. Mentee (murid) akan standby sesuai waktu yang telah dijanjikan lewat aplikasi Zoom atau whatsapp untuk langsung berkomunitas dengan Mentor nya dan para Mentee yang lain. 

Mungkin saja ikatan emosi dan batiniah antar si Mentor dan para Menteenya atau Gembala dengan jemaatnya kadarnya lebih dalam dibandingkan dengan hanya berjumpa takala ibadah di hari Minggu atau saat berkomunitas sel karena itu tadi seperti yang sudah dijelskan diatas sifatnya personal dan lebih dekat secara emosianal karena tatap muka langsung walupun lewat media sosial. 

5. Dengan pandemi Covid 19 ini injil begitu sangat terbuka untuk diberitakan kepada seluruh dunia lewat media sosial, bukankah hal tersebut yang dikehendaki oleh Gereja Tuhan dimuka bumi bahwa jika Injil sudah dapat diberitakan atas seluruh bangsa maka kedatangan Tuhan Yesus kali kedua akan terjadi. 

Maka Gereja Tuhan justru harus memakai media sosial sebagai tools yang efektif untuk penginjilan dunia (Amanat Agung Universal). Hanya memenag kontennya harus memperhatikan etika komunikasi, etika jurnalistik dan etika SARA. Konten tidak boleh berisi hoax, tidak boleh memecah Tubuh Kristus, tidak boleh bersinggungan dengan SARA dan tetap menjaga harmonisasi keragaman agama serta persatuan bangsa dan negara
 
6. Kita berharap tak akan ada lagi bencana yang akan terjadi atas penduduk dunia, tapi hanya Tuhan yang tahu, kita hanya bisa berdoa dan berharap senantiasa. Kalaupun sekiranya mungkin suatu hari nanti akan ada bencana lagi, minimal Gereja yang mau peka dan belajar dari pandemi Covid 19 ini akan sangat diuntungkan karena telah membangun dan memanfaatkan media sosial dari sekarang untuk tetap berkomunitas (koinonia) bersama jemaatnya atau orang-orang yang dipimpinnya sehingga semua tetap kuat, utuh dan tak tercerai berai.

Yang terpenting yang harus dijaga dalam memanfaatkan dan menggunakan media sosial adalah bahwa nilai-nilai kebenaran Firman Tuhan atau Alkitab dan kekudusan gereja harus tetap dijaga dengan sungguh-sungguh, sehingga gereja benar-benar memanfaatkan teknologi bukan teknologi yg memanfaatkan gereja! Seperti statement yang sering saya khotbahkan "Be live in the world but don't live like the world"

Togi Simanjuntak

Rohaniawan, Jurnalis, Aktivis Sosial & Kemasyarakatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun