Mohon tunggu...
Tofik Pram
Tofik Pram Mohon Tunggu... Jurnalis - Warga Negara Biasa

Penulis dan editor konten lepas http://tofikpr.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mizan

26 Oktober 2020   13:55 Diperbarui: 26 Oktober 2020   15:03 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Logika manusia satu dimensi--kebanyakan manusia saat ini--keterlaluan jungkir baliknya. Masa', memakmurkan bumi dianggap sama dengan eksploitasi ugal-ugalan terhadap alam? Dan dari eksploitasi itu, yang dijanjikan adalah kemakmuran materiil-kapitalistik. Keadilan? Minggir dulu, yang penting "makmur". Keseimbangan jadi persoalan yang tidak lagi penting.

Peradaban manusia sudah sangat egois. Manusia merasa sebagai pusat segalanya. Abai terhadap makhluk lain ciptaan Tuhan. Tidak adil pada perasaan makhluk lain. Walhasil, manusia menafikan keseimbangan--di mana keseimbangan itu baru bisa tercipta ketika manusia, alam, dan seluruh makhluk saling membangun harmoni.


Dan kini, keseimbangan di salah satu bagian Indonesia, di NTT, bakal dijomplangkan. Wilayah konservasi komodo jadi sasaran penjomplangan itu.

Biasanya, orang datang dari berbagai penjuru dunia untuk melihat komodo di habitat aslinya. Mereka datang untuk melihat perangai orisinil salah satu spesies purba paling awet itu. Komodo adalah binatang penyendiri, yang berkumpul hanya ketika makan saja. Mereka tidak suka jadi tontonan. Bagi yang pernah berkunjung ke wilayah konservasi itu, tentu tahu jika untuk bisa melihat komodo hanya bisa di saat-saat tertentu, tidak bisa sewaktu-waktu. Karena itu juga, komodo tidak pernah jadi hewan sirkus. Ia bukanlah tipikal makhluk yang suka jadi tontonan.

Hingga akhirnya datanglah Jokowi dkk. dengan gagasan "10 Bali Baru", "wisata premium", dan membangun "Jurassic Park".  Komodo mau dijadikan tontonan bertiket. Wilayah konservasinya dimanipulasi untuk keperluan itu. Habitat alamiahnya diobrak-abrik. Keseimbangan alam dicabik-cabik. Dalilnya: Pengembangan potensi wisata untuk 'kemakmuran' dan devisa negara.

Proyek Pulau komodo hanyalah satu poin perusak keseimbangan di negeri ini--yang dulu pernah sangat baldatun thayibatun wa rabbun ghafur. Banyak poin-poin lain yang juga diamuk ketidakseimbangan: Hutan tropis Papua yang dibabat untuk jalan bebas hambatan, hutan-hutan di Sumatra dan Kalimantan yang diganyang untuk sawit dan tambang, terumbu karang yang dicerabut untuk diekspor, dan masih banyak lagi--yang mana panji-panji yang diusung untuk teror perusak keseimbangan itu adalah "investasi pembangunan" dan "kemakmuran negara". Apakah untuk makmur harus merusak? Apakah kemakmuran harus melahirkan ketidakseimbangan?  

Ketika satu makhluk (manusia) mengeksploitasi makhluk lainnya (hewan, tumbuhan, tanah, air, dsb), saat itulah keseimbangan alam musnah. Dan apa yang terjadi ketika neraca itu jomplang? Tuhan telah mengingatkan kita tentang kisah kaum Madyan yang curang dan suka memain-mainkan timbangan. Suka merusak keseimbangan. Dan mereka hancur dihajar petir dahsyat.

Bila hanya merusak keseimbangan berat benda saja--sebagaimana dilakukan kaum Madyan--begitu dahsyat siksanya, bagaimana mahadahsyatnya siksa jika yang dirusak adalah keseimbangan alam?

Ini orang-orang pada ndak mikir apa ya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun