Menikah adalah proses menyatukan dua kepala, dua pemikiran, dua keinginan menjadi satu dalam sebuah ikatan yang sah di mata agama dan negara. Selain untuk memperoleh keturunan, menikah juga membentuk keinginan kedua belah pihak ingin memperoleh kebahagiaan dari pada ketika berstatus single.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu terkadang apa yang diidamkan tak sesuai dengan kenyataan. Banyak kerikil yang harus dilalui. Banyak fakta-fakta yang terkadang tidak mengenakan sepanjang perjalanan pernikahan. "Oh ternyata suamiku aslinya seperti ini. Oh ternyata istriku wataknya seperti ini," dsb.
Banyak hal yang bisa menjadi pemicunya. Ada yang bilang karena terlalu cepat memutuskan untuk menikah sehingga belum benar-benar mempelajari karakteristik pasangan hidup. Di lain orang ada yang merasa karena terlalu lama pacarana sehingga hubungan pernikahannya menjadi membosankan.
Hal itu jelas tak bisa dihindari, mengingat kita menikah dengan manusia yang tak pernah benar bisa dijangkau dalam hatinya.
Salah satu permasalahan yang cukup serius adalah ketika kita merasa kesepian dalam sebuah pernikahan. Komunikasi tak lagi banyak dan hangat. Suami dan istri sibuk dengan perannya masing-masing sehingga tak lagi punya keinginan dan waktu untuk berbincang tentang hal-hal yang menyenangkan.
Saya dan suami adalah pasangan yang menjalani masa pra pernikahan dengan hubungan Long Distance Relationship (LDR) dan kami menjalaninya cukup singkat yakni hanya 2 bulan saja. Setelah menikah pun kami tak punya banyak waktu untuk tinggal bersama, karena setelah satu tahun usia pernikahan, saya mendapat tugas dinas luar kota.Â
Tentunya kami sangat berharap memiliki waktu kebersamaan seperti pasangan lainnya. Namun apa mau dikata? Kondisi kami memang belum memungkinkan untuk melakukannya. Walau begitu kami tetap merasa dekat, karena hampir setiap hari kami berkirim kabar baik melalui text atau video call.
Sampai akhirnya kesempatan itu datang setelah kami memiliki anak kedua. Saya dan suami memiliki komitmen untuk tidak lagi menerima tawaran kerja yang membuat salah satu dari kami berjauhan dengan keluarga.
Namun, ketika sudah dijalani, ternyata rasa kesepian itu justru ada. Saat kami sudah tinggal di bawah satu atap, kami malah kurang sekali berbincang satu sama lain. Kami hanya punya waktu untuk anak-anak. Hal itu memang kami anggap perlu mengingat kami nggak mau anak-anak sampai merasa kurang diperhatikan oleh kedua orang tuanya.
Rasa kesepian ini sempat membuat keresahan untuk saya pribadi, saya berpikir seharusnya suami saya begini, seharusnya suami saya begitu. Saya coba untuk komunikasikan keadaan ini pada suami. Namun ternyata dia menganggap tidak ada yang berubah dengan kondisi saat ini.